Tanggal 25 Oktober 2003 malam adalah merupakan
malam yang penuh bahagia sekaligus ujian berat bagiku. Sari salah
seorang mantan pacarku waktu di SMP sebagaimana telah kuceritakan tempo
hari mengenai pertarunganku dengan dia di atas selembar papan penyangga
meja belajarnya sewaktu kami belajar bersama di rumahnya. Kemudian kami
aku lanjutkan bersama mamanya di lantai cucian sumur tua di tengah
sawah. Hampir 10 tahun sudah, aku tidak pernah mengetahui kabar
beritanya, apalagi berhubungan dengannya.
Jantungku terasa hampir copot dan pikiranku tiba-tiba terasa kacau
ketika aku menerima telepon sewaktu kami sekeluarga sedang menyantap
hidangan ayam, malam itu.
"Halo, betul ini rumahnya Pak Aidit dan bisa bicara dengannya?" katanya lewat telepon.
"Yah betul, dan saya sendiri. Siapa ini yah?" jawabku dalam telepon.
"Ha ha ha, rupanya Kak Aidit ini sudah lupa denganku yah atau sudah
sombong karena sudah tenang kehidupannya sekarang?" tawanya menyindir.
"Maaf aku tidak pernah miliki watak seperti itu, lalu anda ini
siapa?" kataku benar-benar bingung dan tidak tahu bicara dengan siapa.
"Okelah, jika memang kamu sama sekali tidak mengetahui siapa
diriku, aku akan jelaskan. Masih ingatkah peristiwa 20 tahun yang lalu
ketika kita belajar bersama di rumahku, lalu kita.." belum ia sempat
selesai mengingatkanku, aku tiba-tiba mengingatnya peristiwa yang
dimaksud.
"Oh yah, aku hampir lupa. Lalu peristiwanya sudah lama sekali"
kataku sambil mengurangi volume suaraku dan aku tiba-tiba tersentak
ketika.
"Dari siapa itu Kang dan peristiwa apa yang dimaksudkannya"
istriku tiba-tiba bertanya padaku sambil tercengang mendengarkan
pembicaraan kami lewat telepon.
Tapi aku tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan aku terus
melanjutkan pembicaraan kami di telepon, sambil kuangkat sebelah tangan
mengarah ke istriku agar ia sabar sebentar.
"Di mana kamu sekarang?" tanyaku sama Sari biar cepat jelas.
"Saya ada di Wisma Mariana kamar no.7 kutunggu sekarang, ada
sesuatu yang penting saya bicarakan dengan kamu dan.." jawabnya, lalu
saya tutup telepon sebelum ia selesaikan bicaranya.
Setelah aku duduk kembali meneruskan makan di depan istriku,
nampaknya istriku sudah tidak sabar lagi ingin mengetahui penelpon dan
peristiwa yang dimaksud tadi. Bahkan ia sempat menghentikan makannya
sejenak.
"Siapa itu tadi Kang, mau apa dia dan apa urusannya denganmu?"
tanya istriku serius sekali, bahkan nampak ada rasa cemburu di
wajahnya.
"Oh, itu tadi teman lamaku yang baru pulang dari Jakarta. Katanya
ada program bisnis baru yang akan ditawarkan padaku. Jadi ia minta aku
datang ke rumahnya karena kangen sekali denganku sekaligus membahas
soal program bisnis baru itu" jawabku berbohong agar ia tidak curiga.
"Teman wanita atau pria?" tanyanya penbuh kekhawatiran.
"Masa sih teman wanita mengajak ke rumahnya malam-malam begini" kataku.
"Tapi kedengarannya tadi di telepon suara wanita Kang" kata istriku.
"Oh, memang suaranya dari dulu begitu. Seperti suara wanita"
lagi-lagi aku berbohong sama istri biar dia tidak melarangku
menemuinya.
Sehabis kami makan, aku mengganti pakaian setelah duduk sejenak,
lalu pamit sama istri untuk menemui penelpon tadi. Istri nampaknya
sudah tidak ada rasa cemburu dan curiga lagi setelah aku jelaskan tadi.
"Kang, jangan terlalu larut malam pulangnya yah" pinta istriku ketika aku mulai stater motor vespaku.
"Namanya saja teman yang lama sekali tidak ketemu, tentu banyak hal
yang kami bicarakan, apalagi soal bisnis tawarannya itu. Jadi kita
lihat saja nanti. Kalaupun pembicaraanku panjang lebar dan belum
selesai hingga larut malam, maka silahkan dikunci pintunya, sebab
mungkin kami tidur bersama di rumahnya untuk saling melepaskan rasa
kangen kami" penjelasanku pada istri biar ia tidak meragukanku lagi.
Setelah aku tiba dan menanyakan kamar Sari di Wisma itu, aku lalu
diantar oleh salah seorang pelayan laki-laki Wisma itu. Kamar Sari
ternyata tidak tertutup menunggu kedatanganku.
"Hei, jam berapa kamu tiba di kota ini dan ada urusan apa sampai
ngingap segala di Wisma ini. Nampaknya ada urusan penting yah? Kenapa
tidak langsung ke rumah saja?" serentetan pertanyaan itu aku lontarkan
pada Sari ketika aku sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
Ia nampak kebingunan menjawabnya satu persatu, sehingga ia hanya
tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku memanggilku masuk.
"Mari masuk Kak, aku sangat merindukanmu. Sudah lama kucari
alamatmu dan ingin bertemu denganmu, tapi baru kali ini aku sempat.
Maklum daerah tempat tinggalku terlalu jauh dari sini, sehingga sulit
sekali kita saling bertemu" katanya sambil tersenyum seolah gembira
sekali.
Aku langsung duduk di tepi rosban yang dilapisi kasur empuk,
sementara sambil ia teruskan pembicaraannya, Sari berjalan ke arah
pintu lalu menutup serta menguncinya dengan rapat seolah ia tidak
membiarkan aku kembali dengan cepat atau mungkin ia inginkan aku
menemaninya terus dalam kamar itu sampai segala urusannya selesai.
"Tadinya aku ragu dan takut meneleponmu karena jangan sampai
istrimu marah dan curiga, sehingga malah menghalangi pertemuan kita.
Tapi tetap aku coba siapa tahu bisa berhasil, ternyata betul berhasil"
katanya sambil duduk sekitar 30 cm dari tempat di mana aku duduk.
"Akupun tadi kaget dan merasa takut ketahuan istri ketika kuterima
teleponmu. Untung aku masih bisa buat alasan yang bisa yakinkan dia"
kataku menceritakan kegiatan kami di rumah saat ia menelpon tadi.
"Kamu betul-betul bersifat ular dan masih licik seperti dulu.
Kukira kamu sudah insaf dan banyak berubah karena sudah beristri yang
cantik, malah sudah punya 3 orang anak lagi. Ternyata sifatmu tidak
banyak berobah, meskipun usiamu sudah lanjut. Apa jadinya kira-kira
jika istrimu tahu soal pertemuan kita di wisma ini. Aku tidak mau
nanggung resikonya dan tidak tega melihat rumah tanggamu hancur seperti
yang kami alami saat ini" komentarnya panjang lebar sambil mencubit
pinggangku lalu sedikit bersedih, bahkan sempat keluar air matanya.
"Maaf Sari, aku tidak dapat dan tidak mungkin melupakan peristiwa
bersejarah kita yang penuh kenikmatan 20 tahun yang lalu itu. Sayang
nasib yang memisahkan kita sehingga kita tidak berjodoh. Tapi sudahlah
semua itu adalah takdir yang harus kita terima. Sekarang kita lupakan
saja semua itu, kita memikirkan dan menikmati pertemuan kita ini".
"Kak, aku sangat merindukanmu. Jauh-jauh aku datang dari
Banjarmasin tempat aku berdomisili saat ini hanya untuk bertemu
denganmu" katanya sambil merapatkan tubuhnya ke tubuhku, bahkan
bersandar di bahuku.
"Aku juga demikian sayang. Makanya apapun resikonya, aku tetap
berusaha menemuimu di tempat ini. Aku sama sekali tidak bisa merasakan
kebahagiaan dan kenikmatan yang sama ketika kita belajar bersama di
rumahmu tempo hari" sambungku sambil memeluk tubuhnya, malah membelai
rambutnya yang agak panjang dan terasa harum.
Ia tidak hanya bersandar dibahuku, tapi kali ini ia berbaring di
atas kedua pahaku, sehingga aku mengelus-elus pipi dan kelopak matanya
yang terasa sedikit basah. Entah karena sedih atau bahagia, tapi yang
jelas air mata itu terasa hangat. Untuk membuktikan kasih sayang dan
kerinduanku, aku mencoba mengecup pipinya yang putih bersih itu,
sehingga ia menarik kepalaku lebih rapat lagi seolah ia tidak ingin aku
menarik kecupanku itu.
"Kak, aku telah mengetahui seluruh keadaanmu sekarang ini dari
mamaku di kampung, termasuk no. teleponmu. Apa kamu tidak ingin atau
tidak mau ketahui keadaanku saat ini Kak?" tanyanya tiba-tiba sambil
mengangkat kepalanya dan menatap wajahku.
"Oh yah, sempat kudengar tadi dari ucapanmu bahwa kamu tidak ingin
melihat rumah tanggaku hancur seperti rumah tanggamu. Kapan kamu
berumah tangga dan apa memang kamu kurang harmonis?" tanyaku padanya.
"Itulah Kak nasib buruk yang menimpaku. Tak lama setelah kuketahui
bahwa kamu telah beristri, akupun frustrasi dan bergaul dengan banyak
lelaki. Hingga akhirnya seorang lelaki seusiamu melamarku lalu aku
terima menjadi suamiku. Tiga Bulan kemudian kuketahui bahwa ia ternyata
sudah memiliki istri sebelumku, malah sudah punya seorang anak. Aku
tinggalkan dia dan menuntut cerai, tapi ia tetap tidak mau ceraikan
aku. Aku lalu ke Banjarmasin dan tinggal di rumah sepupuku. Enam Bulan
kemudian, tanpa bekal surat cerai aku menerima lamaran seorang pria
yang usianya jauh lebih mudah di bawah usiaku" ulasannya panjang lebar.
Aku sangat tertarik mendengar pengalamannya itu, sehingga belum aku
sempat mengomentari penjelasannya itu, ia terus cerita pengalamannya.
"Sialnya Kak, belum cukup satu tahun perkawinan kami itu, pria
yang jadi suamiku itu kawin lagi dengan wanita Banjar sesukunya karena
dipaksa oleh keluarganya dan tidak direstui perkawinannya denganku. Aku
sakit sekali dan ingin rasanya bunuh diri, tapi tiba-tiba aku teringat
dengan kebahagiaan yang pernah kualami 10 tahun lalu bersama Kak,
sehingga aku bertekat untuk menemui Kakak dengan harapan kalau-kalau
kebahagaian dan kasih sayang itu masih bisa kunikmati kembali sebelum
aku meninggalkan dunia yang fana ini. Itulah yang mendorongku ke sini
Kak" ceritanya panjang lebar sambil meneteskan airmata di pangkuanku.
"Sabar sayang, jangan putus asa. Masih banyak kebahagiaan dan
kenikmatan hidup yang bisa kita alami jika kita masih hidup. Semua itu
adalah ujian yang tak bisa dihindari. Buktinya kan aku ini masih
menyayangimu, mencintaimu, merindukanmu dan.." belum aku selesaikan
ucapanku, ia tiba-tiba menutup mulutku dengan tangannya, lalu
"Jangan diteruskan Kak, aku takut menyakiti hati istrimu dan
merusak kebahagiaan rumah tanggamu. Biarlah aku yang mengalami nasib
buruk ini" katanya menyadarkanku kalau aku selama ini hidup rukun
bersama istri.
"Kalau memang tujuanmu satu-satunya ke sini hanya untuk bertemu
denganku, maka bersyukur dan berbahagialah sekarang karena kita sudah
ketemu dan marilah kita saling melepaskan kerinduan kita mumpung masih
sempat dan masih pagi" kataku sambil membelai tubuhnya dan mengangkat
kedua kakinya yang terjulur ke bawah lalu membaringkannya di atas kasur
yang empuk, kemudian aku berbaring di sampingnya sambil memeluk
tubuhnya dalam satu bantal dengan tetap meneruskan pembicaraan kami.
Entah siapa yang memulai, tapi kini kami sudah saling merangkul dan
berciuman dan bermain lidah, malah tanpa kusadari pula siapa yang lebih
duluan, yang jelas tanganku sudah mempermainkan dua buah dada yang
terselip di balik baju dan BH yang dikenakan Sari, sementara tangan
Sari sudah meraba-raba dan menggocok-gocok sebuah rudah yang berdiri
tegak di balik CDku, padahal kami sama-sama masih berpakaian lengkap.
Tanpa terdengar suara sepata katapun, tangan kami sangat aktifnya
mempermainkan alat vital yang dulunya pernah kami permainkan.
"Aku buka bajunya yah sayang, biar aku lebih leluasa menikmati
seluruh tubuhmu yang pernah jadi pusat kenikmatanku" kataku berbisik
sambil mempreteli baju dan celana panjang yang dikenakannya. Ia hanya
mengangguk, namun tanpa minta izin ia juga ikut membuka kancing bajuku
satu demi satu yang diteruskan dengan membuka ikat pinggang, resteling
dan melorotkan celana panjangku.
Kini kami berpelukan dan berpagutan dalam keadaan setengah bugil
sambil bergulingan. Kadang Sari berbaring di kiri dan di kananku,
bahkan di atas dan di bawahku. Kami sudah sama-sama sangat terangsang
sehingga tanpa aba-aba lagi, aku langsung melepas BH-nya, sehingga
nampak di depan mata saya dua benda putih tergantung yang tidak terlalu
besar tapi montok, halus dan sedikit menonjol akibat rangsangan
meskipun tak semungil ketika pertama kali kupegang dulu.
Kujulurkan ujung lidahku keputingnya yang mulai agak keras dan
warna coklat. Kujilati seluruh permukaannya, kuhisap dan kadang sedikit
kugigit. Ia nampak menikmatinya, bahkan untuk mengimbangi kenikmatannya
itu, ia bergerak menggelinjang, lalu memutar tubuhnya sehingga arah
kami berlawanan. Dalam keadaan menyamping, ia mendorong CD-ku hingga
turun sampai ke lutut, lalu meraih isinya yang sedang mengacung itu dan
memasukkannya ke dalam mulutnya dan memainkan dengan lidahnya, bahkan
memutar-mutar dalam mulutnya, sehingga aku terasa mau muncrat.
"Terus Kak, aku nikmat sekali auh..uhh..aahh..usstt.." katanya
sambil berdesis dengan nafas terputus-putus ketika aku memainkan
lidahku dengan cepatnya ke dalam lubang vaginanya yang basah dan masih
mulus tanpa bulu selembarpun seperti ketika pertama kali aku jamah di
rumahnya tempo hari. Iapun seolah mengikuti gerakan mulutku dengan
mempercepat gocokan mulutnya pada rudalku yang terasa hampir muncrat.
"Aduh, aku sudah tidak mampu lagi menahan sayang, aahh..uuhh" kataku sambil mendorong kepalanya agar ia menghentikan gocokannya.
Bersamaan dengan itu pula, Sari tiba-tiba berdiri dan segera
mengangkangi tubuhku yang terbaring terlentang di bawahnya. Nampaknya
ia sudah tidak sabaran lagi. Ia dengan cepatnya membuka kedua bibir
vaginanya sehingga kulihat sedikit menganga dan nampak berwarna merah
pada kedua bibirnya, lalu menurunkan pantatnya sehingga lubang
kemaluannya pas ketemu dengan ujung penisku yang memang sejak tadi
berdiri. Tanpa dipegang dan diarahkan, penisku itu dapat masuk dengan
mudah ke lubangnya meskipun tidak langsung amblas seluruhnya melainkan
setelah kami bantu dengan beberapa kali gerakan pinggul ke kiri dan ke
kanan seperti orang ngebor.
"Hmm..aahh.." itulah suara kecil bersama nafas keluar dari mulut
kami secara bergantian ketika Sari berpegangan di atas kedua pahanya
sambil mempercepat gerakan pinggulnya ke bawah dan ke atas seiring
dengan gerakan pinggulku. Bahkan saking keras dan lamanya gerakannya
itu, sampai-sampai ia capek dan berhenti sejenak lalu kedua tangannya
bertumpu di atas dadaku lalu di atas kasur kemudian dengan leluasanya
menggerakkan pinggulnya yang menyebabkan terdengarnya bunyi
"Ciprat..ciprot" secara berirama dari persenggolang kelamin kami.
"Aku mau keluaar sayang, berhennti duluu" kataku ketika terasa ada lahar panas mulai mengalir dari dalam batang kemaluanku.
Karena permintaanku itu, Sari berhenti bergoyang sejenak, lalu
terlentang di sampingku dengan membuka kedua pahanya. Akupun mengerti
maksudnya, lalu aku yang mengangkanginya dan dengan mudah menusukkan
kembali rudalku ke lubangnya dan menggocok-gocoknya terus.
Sambil aku gocokkan penisku ke dalam vaginanya, Sari meraih bantal
guling dan mengganjal pinggulnya lalu membuka lebar-lebar kedua pahanya
sehingga batangku bisa masuk lebih dalam, bahkan terasa kedua biji
pelerku masuk ke lubangnya, sehingga suara dan bunyi khas itu sulit
dihindari, malah kali ini semakin besar dan ribut. Tidak puas dengan
gaya itu, Sari mendorong pinggulku ke atas lalu mengangkat kedua
kakinya tinggi-tinggi hingga ujungnya menyentuh bahuku. Akupun
menekannya dengan keras dan memompanya secepat mungkin, terutama
setelah ada tanda-tanda Sari juga sudah hampir mencapai puncak seiring
yang kurasakan.
Ternyata benar, dalam posisi terakhirku itu, kami secara bersamaan
memuntahkan lahar panas tanpa izin dari siapa-siapa dan tanpa aba-aba.
Hal ini amat terasa ketika aku muncrat ke dalam vaginanya. Saripun
memelukku erat sekali, malah sedikit mencakar punggungku dan menarik-
narik rambutku yang ditandai pula dengan denyut-denyut yang menjepit
ujung penisku.
Lalu kami secara bersamaan lemas lunglai sambil berbaring dengan
nafas yang terputus-putus tanpa suara, gerakan dan pandangan yang
berartri lagi. Kami bagaikan mayat telanjang yang terbaring
berdampingan di atas tempat tidur. Kami baru sadar jika kami
betul-betul sempat tertidur sekitar 30 menit setelah terdengar ada
orang yang mengetuk-ngetuk pintu kamar dari luar. Kami secara bersamaan
bangkit dan merapikan pakaian lalu kubuka pintu, ternyata petugas Wisma
mau tanya apa aku mau bermalam atau mau pulang, sebab ia mau kunci
pintu pagarnya.
Hampir bersamaan kami menjawabnya dengan kata "iya" setelah melihat
jarum jam dinding sudah menunjuk pukul 12.30, lalu petugaspun berlalu
dan aku kembali mengunci pintu. Setelah itu kami berbarik sejenak
sambil berpelukan lalu melepaskan pakaian masing-masing secara total
seperti sedia kala lalu kugendong Sari masuk ke kamar mandi untuk
membersihkan badan, terutama tentunya bekas cairan dari mulut dan
kemaluan kami.
Sesampai di kamar mandi, kami saling menyirami dan menggosok
seluruh badan, sehingga gairah dan nafsu sex kami kembali bangkit dan
ingin rasanya melanjutkan ronde kedua di dalam kamar mandi biar gaya
dan kesannya agak lain lagi. Kami memang sempat melakukan dengan
bermacam-macam posisi, gaya dan metode sex di kamar mandi itu sehingga
kami sempat mencapai puncak kenikmatan 3 kali, bahkan kami lanjutkan di
atas tempat tidur hingga menjelang pagi. Kami tidak mampu lagi
menghitung berapa kali kami muncrat selama pertemuan kami dalam kamar
wisma itu.
Pertemuan kami di kamar wisma itu, betul-betul suatu pertemuan yang
luar biasa berkesan. Seumur hidupku mungkin sulit kami alami kembali
pertemuan seperti itu. Kerinduan kami selama 10 tahun betul-betul
terobati malam itu, bahkan kami mencetak sejarah hidup yang sulit
terlupakan lagi. Sayang Sari hanya sempat bermalam 1 malam di kotaku
karena takut menimbulkan masalah baru pada rumah tanggaku, sementara
aku masih siap menemaninya selama beberapa malam sekiranya ia mau
bertahan. Oh Sari sayang, kapankah kita bisa lagi mengulangi pertemuan
seperti itu. Mungkinkah hal ini bisa terulang sebelum ajal kita
dicabut. Alangkah nikmat dan bahagianya perasaanku malam itu. Rasanya
aku tak mau malam itu berlalu dengan cepat, tapi itulah hidup dan
fitrah yang harus diterima oleh setiap insan.