Ita, waktu itu berusia 23 tahun. Aku mengenalnya sejak SMP. Tubuhnya 163 cm/49 kg. Ita ini hobinya makan dan tidur. Karena itu berat badannya sangat fluktuatif. Pertama kali kenal, Ita adalah seseorang yang cukup padat tubuhnya dengan berat 55 kg. Pernah pula aku bertemu dengan Ita yang gemuk sampai 65 kg.
Jika kalian para wanita merasa tidak percaya diri dengan berat badanmu, tirulah Ita. Dia tidak pernah minder atau rendah diri. Senyumnya selalu mengembang. Orangnya ceria sekali, bertolak belakang dengan Ria. Di samping itu, Ita sangat tangguh dalam mengejar berat badan ideal. Karena itu, aku sempat sangat terkejut menemukan Ita yang langsing.. hanya 49 kg! Sebuah usaha yang patut mendapatkan penghormatan dariku.
Karena sifatnya yang mudah bergaul plus wajahnya yang cantik, sejak SMP Ita sudah mengenal pacaran. Sampai kemudian di SMU, kami satu sekolah juga. Jumlah cowok yang mengisi hari-hari Ita semakin banyak. Naik kelas 2 SMU, kami satu kelas. Karena aku dianugerahi IQ yang tinggi (151), pelajaran yang oleh sebagian besar teman-temanku sulit dicerna terasa mudah bagiku. Karena itu tak heran jika PR-ku sering dicontek teman-temanku. Aku memang dengan bebas mempersilakan siapa pun belajar dariku, kecuali waktu test. Teman-temanku sering mengganti istilah ‘menyontek’ dengan ‘belajar waktu test’. Ada-ada saja. Tetapi aku agak ‘pelit’ untuk yang satu ini.
Ita adalah salah satu teman wanita yang minat dan kemampuannya kurang di pelajaran eksak. Karena rumahnya tidak jauh dari rumahku, maka Ita adalah salah satu teman yang paling rajin ke rumahku. Keluarga kami saling mengenal dengan baik. Jadi kehadiran Ita di rumahku sudah seperti keluarga sendiri. Ita bebas keluar masuk rumahku, kecuali keluar masuk kamar tidur tentunya.
Bahkan sampai kuliah, walaupun berbeda jurusan, kami tetap satu universitas. Ita semakin modis dan cantik. Rambutnya disemir kecoklatan plus ion dengan busana yang mengikuti trend. Benar-benar tipikal gadis yang mengikuti perkembangan jaman. Waktu itu aku ingat Ita baru putus dari pacarnya sebulan yang lalu. Aku tahu karena aku beberapa kali menjadi teman curhatnya. Suatu sore, Ita meneleponku.
“Boy.., gue ditembak Yudha kemaren.. Wuih.. Gak nyangka anak kuper begitu seleranya tinggi amat..” cerocos Ita cerewet.
“Hah? Maksud lo.. Anak yang suka ama lo berarti seleranya tinggi. Gitu?” tanyaku keheranan dengan kepercayaan dirinya. Over confident nggak ya, kira-kira?
“Lha iya, lah! Gue kan cantik, baek, sexy, lembut dan bersahaja..”
“Hehe..” aku tertawa.
“Lho.. Kok diketawain? Bener kan, Boy?” Ita nggak terima ditertawakan.
“Hm.. Iya deh, Ita memang cantik dan sexy. Baik juga ama Boy. Tapi kalo lembut.. Hmm.. Gimana ya.. Agak kurang pas deh..”
“Waah, ngeledek lo! Aku kan lembut..!!”
“Apanya yang lembut, Ita?” tanyaku pelan sambil agak berbisik.
“Ada deh.. Boy mau tahu aja..!” jawab Ita membuatku bertanya-tanya.
Aku yang tadinya tidak berpikir macam-macam ?alias murni bercanda-, sekarang jadi curiga.
“Ya boleh dong Boy dikasih tahu kelembutannya Ita..” jawabku makin berbisik.
“Hii.. Merinding aku dengar suaramu!” kata Ita agak keras. Kami tertawa bersama.
“Tapi aku nggak naksir Yudha, Boy..” kata ita kemudian.
“Oh.. Pasti naksir Boy, kan?” godaku. Kalau betul, wah, lumayan.
“Yee, GR! Pengen laku yah?” ledek Ita.
Waduh.. Kok sepertinya aku jelek sekali sampai Ita bicara seperti itu. Tapi emang sih aku masih jomblo..
“Trus naksir siapa, Ita? Kamu boleh cerita ama aku kalau kamu mau..”
“Hm.. Itu, si Hendra. Anak angkatan atas.. Dia cakep, bodynya keren.. Sexy! Dan bibirnya.. Ugh.. Pengen kucium sepuasnya!” Ita mulai ceriwis.
Dia tidak sadar aku mendengarkannya dengan terkejut. Wah.. Anak ini.. Tapi memang sasaran Ita si Hendra anaknya cakep.
“Lho, Ita.. Aku kan tingginya nggak beda jauh ama Hendra? Body-ku juga pas kan? Bibirku juga sexy. Kenapa lebih memilih Hendra?” godaku lebih jauh. Aku tiba-tiba ingin tahu posisiku di matanya. Padahal.. Aku sama sekali tidak menyukai si Ita.
“Tau ah! Pokoknya Hendra! Gimana Boy.. Aku mau kirim surat ke Hendra nih!”
“Ya.. Terserah lo aja, Ita. Mau kirim surat ya kirim aja. Lo kan pede orangnya. Masa ginian aja nanya ke aku?” jawabku sekenanya.
*****
Besok siangnya, sepulang kuliah aku santai di ruang keluarga. Papa mamaku belum pulang kerja. Adik-adikku sedang tidur siang. Pembantuku juga tidur mungkin. Aku sedang mengotak-atik komputer saat itu. Seingatku waktu itu aku sedang membuat mini games dengan Turbo Pascal. Kudengar pintu pagar terbuka disusul suara anjingku yang menggonggong menyambut tamu yang rupanya sudah dikenalnya. Ita.
“Hai Boy.. Lagi ngapain?” Ita segera duduk di sofa sambil melihat ke komputerku.
“Lagi nyoba bikin semacam game petualangan. Tokohnya seekor anjing yang berusaha mengumpulkan benda-benda untuk menyelamatkan anak-anaknya yang diculik penjahat.”
“Hm.. Ngeganggu ya? Aku mau curhat boleh?” Tanya Ita.
Tentu saja boleh. Game computer bisa kubuat kapan pun. Segera aku simpan pekerjaanku dan kumatikan komputerku.
“Tentang si Yudha atau si Hendra?” tanyaku menebak.
“Hendra. Aku nggak nyangka dia seperti itu.”
“Emangnya ada yang salah dengan Hendra? Kamu jadi mengiriminya surat?”
“Aku memutuskan untuk bicara langsung dengannya. Kalau ditolak, tidak masalah. Yang penting tidak ada bukti tertulis aku pernah menyukainya. Kalau dia sok banget lalu cerita ke teman-temannya, aku bisa menyangkalnya.”
“Wah.. Kamu cerdas juga..” komentarku. Emang bener sih.
“Hendra menerimaku, Boy. Tapi langsung aku putus lagi dia. Brengsek tuh anak.”
“Lho, ada apa? Kamu menyukainya. Hendra menerimamu, kenapa batal?”
“Ya emang bener kita saling menyukai. Tapi si Hendra ternyata nafsu sekali. Masa begitu kami jadian, dia langsung kiss aku, Boy!”
“Hm.. Gak masalah kan jadian lalu kissing? Bagimu terlalu cepat ya?” tanyaku mencoba memahami Ita.
Aku banyak mendengar cerita dari teman-temanku yang langsung kissing pada hari jadian mereka. Jadi, aku menganggap hal itu biasa terjadi.
“Ya bener nggak masalah. Tapi masa kissing belum apa-apa, tangannya sudah mau menjelajahi tubuhku. Meremas payudaraku. Wah.. Cowok apaan tuh? Emang pacaran buat apaan? Nge-sex?” protes Ita. Kali ini kuakui Hendra memang terburu nafsu. Tapi aku ingin memancing Ita lebih jauh lagi.
“Lho.. Kan nggak harus diputus? Beri kesempatan dong. Lagian, seingatku, kemarin kamu memuji keseksiannya. Bibirnya yang menarik.. Kok sekarang begini? Wajar kan cowok begitu? Salah sendiri kamu cantik dan sexy, Ita?” tanyaku lagi.
“Bener aku cantik dan sexy menurutmu, Boy?” Tanya Ita. Suaranya terdengar agak berat. Menurutku dia mulai ingin menangis.
“Ya, kamu cantik dan sexy.. Wajar kalau Hendra ingin menyentuhmu..” aku agak nekat berkata seperti ini. Perkataanku kali ini keluar dari jalur empatiku terhadap Ita. Resikonya Ita akan berpikiran aku seperti hendra. Tapi ternyata Ita agak memerah mukanya. Aku belum berani mengartikan perubahan warna mukanya.
“Kalau Boy.. Apa ingin menyentuhku?” bisik Ita.
Kali ini aku seperti disambar petir. Sungguh di luar dugaanku. Sekian detik aku berusaha mencerna maksud kalimatnya. Merekonstruksi kejadian telepon kemarin, kisah Yudha, dan Hendra. Aku punya dugaan, tetapi aku belum yakin. Tiba-tiba darahku berdesir. Aku tegang memikirkan kata-kataku selanjutnya untuk memancing apa maksud Ita.
“Hm.. Ita terlalu berharga untuk sekedar di sentuh..” bisikku. Kali ini aku menyelidiki matanya. Eyes never lies. Pupil matanya mengecil. Ita menyimpan sesuatu.
“Lalu apa yang ingin cukup berharga untuk Boy lakukan terhadap Ita?” tanyanya kemudian.
Dugaanku semakin kuat. Aku hampir melonjak kegirangan ketika menemukan kesimpulanku. Tapi aku bukan pria yang gegabah. Aku masih membutuhkan tambahan informasi untuk dugaanku. Kurasakan penisku ereksi. Entahlah, kalau otakku lagi menaikkan kinerjanya, seringkali penisku ereksi.
“Kalau aku.. Aku akan membuat Ita melayang. Menembus awan, terbang ke langit merasakan kebebasan. Ya.. Boy mungkin akan jauh lebih berani dari Hendra..”
Aku berdebar menantikan reaksi Ita. Aku berharap pembaca mengerti. Dalam dugaan di pikiranku saat itu, cerita tentang si Hendra adalah rekayasa Ita. Aku sudah pada satu kesimpulan bahwa Ita menyukai dan menginginkanku. Dan Ita memancingku untuk mengetahui seberapa berani aku terhadapnya. Tetapi memang dugaanku ini menyisakan kemungkinan untuk salah. Jika ternyata Ita jujur, maka aku sudah telanjur mengungkapkan hasratku. Aku setali tiga uang dengan hendra. Menginginkan tubuh Ita.
“Bagaimana cara Boy membawaku terbang melayang..?” bisik Ita sambil mendekatkan wajahnya.
Aku mulai bisa merasakan hangat nafasnya. Aku jadi takut melangkah. Seharusnya aku sudah menciumnya saat itu. Merengkuh tubuhnya dan menunjukkan caraku membawanya terbang melayang. Daripada dengan kata-kata, jauh lebih baik dengan perbuatan. Tapi justru sikap Ita membuatku hati-hati. Penisku semakin tegang. Gila.. Apa maksudmu, Ita?
Sedetik.. Dua detik.. Tiga detik.. Dan aku memutuskan untuk tidak menciumnya.
Aku berdiri dan duduk di sofa di sampingnya. Ini rumahku. Tentu aku tidak mau dipermalukan di rumahku sendiri. Tampaknya aku kehilangan momen menentukan tadi.
“Boy?” bisik Ita. Dia memalingkan tubuhnya menghadapku.
“Aku bisa mencumbumu, membuat tubuhmu merasakan kenikmatan dan akhirnya bercinta denganmu, membawamu terbang melayang. Tetapi aku menghargaimu, Ita. Aku bukan Hendra. Aku tidak akan menyentuh tubuhmu tanpa ijinmu. Tanpa kau sendiri yang menginginkannya untuk aku lakukan terhadapmu..” aku akhirnya memilih berhati-hati. Sesaat aku ingin kesempatan yang tadi terulang. Mungkin aku betul-betul akan menciumnya kalau kesempatan itu ada lagi.
Plak!, sebuah tamparan dari Ita ke wajahku. Aku terkejut. Tidak ada alasan bagi Ita untuk berhak menamparku. Aku tidak bersalah. Sedetik kemudian aku sadar. Ini mungkin momen kedua. Tamparan tadi pasti ijin dari Ita agar aku menciumnya. Dan aku merengkuh tubuhnya. Menciumnya tepat di bibirnya.
Ita menyambut ciumanku dengan dahsyat. Bibirnya bergerak lincah berpadu dengan lidahnya yang menari-nari mencumbuku. Aku merasakan sensasi baru dalam bercumbu karena kehebatan Ita memainkan lidahnya. Lidahnya seperti punya nyawa sendiri. Bisa hidup dan bergerak sendiri. Aku tentu saja tidak mau kalah. Kugunakan bibir dan lidahku pula untuk melayani permainannya. Benar-benar percumbuan yang panas. Tangannya mengacak-acak rambutku. Sedangkan aku terkonsentrasi pada bibirnya. Tanganku menahan lehernya agar tetap dekat denganku.
“Uhm..” ciumanku beralih ke pipi, leher dan telinganya. Ita menggelinjang hebat ketika aku mencium telinganya.
“Ughh..” desah Ita.
Bahasa tubuh Ita ini khas sekali. Sangat penuh dengan sentakan. Seakan-akan seluruh tubuhnya berisi titik-titik peka yang mudah dirangsang. Bagian apa pun yang kusentuh dengan tanganku, membuatnya menggelinjang. Gadis ini liar dan menggairahkanku!
“Si Hendra itu rekayasamu, ya?” bisikku di telinganya untuk memastikan dugaanku.
“I.. Iyah..” jawab Ita sambil menahan nikmat.
Aku tertawa penuh kemenangan dalam hati. Dugaanku ternyata benar. Untung aku tidak kehilangan momen keduaku ini. Tanganku menyelusup ke balik kaosnya. Meraba kait bra-nya yang 34C dan melepas bra-nya turun. Dengan lembut aku menempatkan telapak tanganku ke payudaranya. Aku meletakkan putingnya tepat di tengah telapak tanganku dan mulai kuputar tanganku. Sesekali aku menekan payudaranya yang lembut.
“Kau.. Memang lembut Ita..” bisikku.
Lidahku kini memasuki telinganya. Ita kegelian. Sontak kepalanya menunduk ke arah bahunya, menjepit wajahku. Refleks menahan geli. Tangan kiriku dengan leluasa menjelajahi punggungnya yang ditumbuhi bulu-bulu sangat halus. Ita beberapa kali tersentak menahan rangsangan di punggungnya. Wah.. Gadis ini mudah sekali dirangsang, pikirku.
Bibir kami kembali beradu. Bercumbu dengan sebebas-bebasnya. Sepuas-puasnya. Aku terkejut ketika tiba-tiba Ita melenguh cukup keras. Kuatir kalau adik atau pembantuku terbangun dari tidurnya. Dengan bersemangat aku menggendong tubuh Ita. Sambil tetap bercumbu aku membawanya masuk ke kamarku. Membaringkan tubuh Ita ke spring bed, mengunci pintu, menyalakan AC dan memutar radio. Setidaknya suara Ita tidak akan terdengar sampai keluar.
Begitu aku selesai memutar radio, kulihat Ita sudah melepas kaosnya dan celana dalamnya. Dia telanjang bulat di depanku. Sungguh tubuhnya sangat indah. Payudaranya yang 34C terlihat begitu memukau. Bentuknya sangat seksi. Pas di tubuhnya yang langsing. Beberapa saat kami berhadap-hadapan. Aku menikmati memperhatikan tubuhnya yang utuh.
Ita kemudian melompat ke arahku. Memelukku sambil tangannya bergerak cepat melepas kaos dan celanaku. Sangat terampil dan cekatan. Dalam waktu singkat kami sama-sama telanjang bulat. Ita sungguh liar. Sambil sama-sama berdiri kami bercumbu lagi. Beberapa kali aku harus menahan keseimbangan agar tidak terjatuh.
Ternyata sulit bercumbu dengan penuh semangat sambil berdiri tanpa sandaran. Perlahan aku menyandarkan tubuh Ita ke dinding kamarku. Eh, Ita tidak mau. Aku yang disandarkannya ke dinding kamarku. Dia menyerangku. Mencumbuku dengan semangat. Lidahnya mulai menyapu leherku, dan menggigitku kecil. Kemudian turun ke dada, perut dan akhirnya menemukan penisku yang sudah berdiri tegak.
“Aagh..” aku melenguh menahan nikmat saat Ita mulai mengoralku.
Tidak hanya mengoral. Tangannya juga aktif memijat penisku dari batang penis, menuju pangkal penis. Memainkan testisku, kadang tangannya dengan nakal membuat guratan maya dari penis ke anusku. Sangat menggairahkan. Oralnya dahsyat juga. Ita tanpa segan mengulum penisku dan sepertinya dia berusaha menelan semua penisku!
“Ah.. Ah..” aku hanya bisa mendesah.
Kepala penisku semakin membesar dengan warna kemerahan. Aku tahu, ini ereksi maksimalku. Penisku mencapai diameter terbesarnya. Sekitar 4.2 ? 4.7 cm. Ita makin bersemangat mengoralku. Sekarang dia berusaha menghisap kepala penisku. Oh.. Dia menemukan sisi lemah penisku. Aku paling tidak tahan kalau serangan oral ditujukan hanya ke kepala penisku.
“Lepas dulu Ita, aku tidak tahan..” bisikku.
Daripada aku orgasme saat itu, rugi berat. Aku harus pandai mengatur tempo. Ita mematuhiku. Dia hanya memijat penisku dengan tangannya. Perlahan aku ikut menunduk. Mataku menatap selangkangannya. Ita tampaknya mengerti maksudku. Dia duduk di atas spring bed dan membuka kakinya lebar-lebar. Kepalaku masuk dan aku mulai mengoralnya. Baunya mirip dengan Ria, sama-sama khas. Tetapi bau milik Ita lebih harum. Belakangan aku tahu Ita menggunakan pengharum khusus. Aku merasa lebih enjoy mengoral Ita kali ini. Vagina Ita bulunya dicukur sampai hanya tersisa sedikit. Aku menyibak labia mayoranya dan mulai menyedot vaginanya.
“Arg..” Ita melenguh.
Lidahku menari-nari dengan bebas. Menghisap dan menjilat dengan leluasa. Aku seperti menemukan sirup kental asin di vaginanya yang basah. Aku mulai terbiasa dengan rasa asin itu. Kunikmati saja. Srrt.. H.. Slurrpp.., aku benar-benar mengoral Ita sepuasku. Tubuh Ita tersentak-sentak. Rambutku dijambaknya dengan keras. Bahkan kadang tangannya mengepal memukuli tubuhku.
“Boy, ah.. Kau.. Arghh..” suara Ita tak kudengar jelas.
Dia meraung dan menggelinjang. Setelah beberapa menit, mulutku terasa capek. Aku kemudian menggunakan dua buah jariku untuk mencari G-spotnya. Di dinding dalam vaginanya, aku menemukan daerah yang ada bintik-bintik kecilnya. Aku berhenti disitu dan mulai merangsangnya disitu. Tubuh Ita bergetar makin hebat. Aku belum yakin apakah itu G-Spotnya, tetapi yang jelas reaksi tubuh Ita sungguh dahsyat. Dia sampai menjerit dan berteriak..
“Argh.. Enaakk!! Terus Boy..!”
Aku tak peduli apakah teriakan Ita terdengar sampai keluar. Yang jelas aku makin bersemangat menyiksanya dengan kenikmatan. Tak lama kemudian aku mengambil kondom dan memakainya. Aku sampai saat itu masih tetap ingin bercinta dengan kondom. Ita tampaknya tidak keberatan aku memakai kondom.
“Sudah pengalaman pakai kondom ya?” goda Ita. Aku tersenyum. Jadi ingat Ria, nih.
Aku meminta Ita membalikkan tubuhnya. Ingin kucoba posisi doggy. Perlahan kumasukkan penisku. Ternyata lebih mudah memasukkan penis dengan posisi seperti ini. Mulai kudorong lebih dalam dan.. ‘bless..’ penisku sukses memasuki sarang kenikmatan.
Kami bercinta dengan dahsyat. Pertama aku memompa penisku dengan tempo pelan. Menikmati setiap gesekannya. Kemudian temp bertambah cepat. Bertambah cepat lagi dan akhirnya sampai terdengar bunyi yang khas setiap aku memompakan penisku ke vaginanya.
Ita kali ini lebih diam. Dia hanya melenguh sesekali. Kulihat bibirnya merapat. Mungkin ini caranya menikmati persetubuhan. Aku terus memompa penisku. Keluar masuk vaginanya. Sesekali aku berhenti untuk mengambil nafas, memutar-mutar penisku dan kalau aku sudah di ambang orgasme, aku berhenti lagi. Aku tidak mau tergesa-gesa orgasme.
“Ganti posisi, Boy..” kata Ita.
Aku kemudian telentang di springbedku. Ita menaikiku dari atas. Kubantu penisku memasuki vaginanya. Wah, ini pertama kalinya aku bercinta dengan tubuh di bawah. Aku sedikit kesakitan waktu Ita hendak menurunkan tubuhnya. Agak kurang pas mungkin. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya kami sukses melakukannya.
Ternyata enak juga. Aku tidak banyak bergerak. Hanya tanganku sesekali meremas lembut payudaranya. Selebihnya Ita yang aktif. Tampaknya ini posisi favorit Ita. Dia memutar-mutar pantatnya, naik turun mempermainkan penisku. Kurasakan denyut vaginanya yang menjepit penisku. Luar biasa. Aku akhirnya bisa bercinta lebih lama dibanding dengan Ria.
“Arg.. Argh..” Suara Ita menikmati percintaan kami.
Tak lama kemudian kurasakan tubuh Ita bergetar makin hebat, makin hebat dan gerakannya makin cepat. Ita sedang berlari mengejar orgasmenya. Beberapa saat kemudian Ita menghentikan gerakannya. Tubuhnya menegang dan ia melenguh panjang.. Rupanya Ita mencapai orgasmenya. Yang aku ingat, ada ciri menarik dari orgasme Ita. Orgasmenya berbunyi! Ada bunyi yang keluar dari vaginanya. Aku sampai terheran-heran kemudian tertawa.
“Kamu orgasme ya? Kok bunyi?” kataku heran.
“Iyaa.. Jangan diledek ya!” kata Ita manja.
Posisi berganti lagi. Aku memilih posisi konvensional dengan tubuhku diatas. Aku ingin menikmati melihat wajah dan tubuh Ita dengan bebas. Dengan posisi ini, energi yang kukeluarkan makin banyak. Tak lama kemudian akupun orgasme. Aku dengan lega menyemburkan spermaku. Kemudian kutarik penisku dan kulepas kondomnya.
“Kamu luar biasa..” bisikku sambil mencium hidungnya.
“Makasih ya Boy.. Aku sudah lama menyayangimu. Tapi kupikir kamu anaknya kuper. Cuma mengurus komputer dan buku kuliah. Ternyata kamu menikmati sex juga..”
“Kamu kapan mulai kenal Sex, Ita?” tanyaku sambil memeluk pinggangnya dan mengelusnya lembut.
“Dari SMU kelas 1, Boy. Tuh si Erdy yang dapat.” Kata Ita terus terang.
Wah, aku tidak suka mengetahui siapa cowok yang pernah bercinta dengan wanita yang berbagi kenikmatan denganku. Tetapi aku menghargai Ita yang berterus terang.
“Kamu hipersex ya, Ita?” tanyaku lagi.
“Engga tuh, Boy. Aku angin-anginan. Kalau aku lagi penasaran dengan seseorang, aku bisa tiba-tiba bergairah dengannya. Tapi pernah juga aku pacaran 5x tanpa making love. Malas aja gitu. Tak tentu deh.”
Aku mendapatkan jawaban yang berbeda lagi. Jangan-jangan tiap wanita berbeda jawabannya?
“Kalau lagi kepingin.. Kamu memilih masturbasi atau making love?”
“Ya making love lah! Jauh lebih enak. Ngapain masturbasi? Tapi aku tidak bisa making love dengan sembarang pria, Boy. Kamu orang ke tiga yang ML denganku.”
Aduh.. Aku orang ketiga! Aku benar-benar tidak suka kejujuran seperti ini. Tidak ada perlunya aku tahu bahwa aku orang ke tiga yang bercinta dengannya.
“Lalu.. apakah sex itu sangat penting bagimu? Apakah sex itu salah satu yang terutama?” aku kemudian menceritakan rasa penasaranku terhadap wanita. Aku juga bercerita tentang pendapat Lucy dan Ria.
“Dulu aku berpikiran tidak. Tetapi setelah merasakan ML pertamaku yang luar biasa, aku jadi merasa sangat membutuhkan sex. Rasanya, memang sex menjadi salah satu yang utama.”
“Oh ya? Kalau ada cowok dengan daya seks yang hebat, tetapi dia tidak setia, tidak menghargaimu dan banyak sisi negatifnya.. Dibanding dengan cowok yang setia, menghargaimu.. Dan banyak sisi positifnya, tetapi daya seksnya sangat lemah atau impoten, kamu pilih yang mana?” tanyaku kemudian.
“Wah.. Susah nih jawabnya. Lagian tidak mungkin kan seseorang dengan potensi sex hebat tapi semua pribadinya jelek? Dan juga aku rasa hanya sedikit orang yang impoten permanen. Selebihnya pasti ada solusi untuk impotensinya.”
“Jawab aja. Aku cuma ingin tahu.” desakku pelan.
“Hm.. Kamu jangan cerita ke orang lain ya. Papaku sekarang impotent. Tapi dia jauh lebih baik dibanding dulu. Dari curhatnya Mama ke aku, rasanya Mama lebih suka Papa yang sekarang deh.”
“Itu kan Mamamu. Kalau kamu?”
“Susah, Boy, aku jawab lain kali ya?”
Nah, aku tidak bisa memaksanya bukan? Jawaban kira-kira juga tidak akan enak disimpulkan. Yah, aku berharap dengan berjalannya waktu, Ita akan terus berpikir dan lalu menyimpulkannya.