Sinopsis: Hidup di Villa Mertua Indah bersama
istri yang sedang mengandung dan mertua yang menjanda memang kadang
menimbulkan masalah. Apalagi bila ibu mertua berani menggoda menantunya
untuk mengobati kesepiannya.
Aku tidak tahan lagi ingin menceritakan semua ini. Aku punya
masalah yang sangat jarang terjadi. Aku sudah lama terjerat kasus ini
dan selalu berusaha lepas tetapi selalu aku kembali terjerat dengan
masalah ini seperti orang kecanduan.
Inti persoalannya adalah ibu mertuaku. Aku sudah menikah selama
hampir 15 tahun dan dikaruniai 4 anak yang lucu-lucu. Sudah lama
sebelum aku menikah dengan istriku ibu mertuaku sudah berstatus seorang
janda yang relatif masih cantik dan memang kuakui tubuhnya
menggairahkan.
Pada awal pernikahanku dengan istriku Yanti, segalanya begitu baik.
Ibu mertuaku memang selalu berpakaian sopan dan tidak pernah
menunjukkan hal-hal yang tidak baik. Tingkah lakunya selalu santun
penuh sabar dan banyak memberikan pemikiran yang baik dan memang ibu
mertuaku banyak disukai ibu-ibu RT di sekitar rumahnya.
Aku akui sampai sekarang memang aku belum mampu mempunyai rumah
sendiri, sehingga sejak awal pernikahanku aku tinggal di rumah
mertuaku. istriku adalah dua bersaudara, kakaknya juga perempuan ikut
suaminya di pulau lain, sehingga memang ibu mertuaku kasihan kalau
tinggal di rumah sendiri tanpa ada yang menemani.
Pada waktu itu memang aku selalu hormat pada ibu mertuaku dan aku
juga cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah ibu mertuaku
sehingga aku cepat diterima sebagai warga yang baik di situ.
Pada waktu itu aku sudah kerja di usaha garment. Letak kantor dan
rumahku yaitu rumah ibu mertuaku sangat jauh, boleh dikatakan berbeda
kota, sehingga aku selalu harus berangkat ke kantor pagi-pagi subuh.
Hal ini memang sudah menjadi rutinitas sehari-hari yang wajar.
Hari demi hari berjalan wajar dan istriku mulai mengandung anakku
yang pertama. Setiap pagi apabila aku bersiap-siap pergi ke kantor
selalu istriku belum bangun, bahkan sampai aku berangkat biasanya dia
belum bangun. Tetapi ibu mertuaku selalu sudah bangun dan sudah rapi,
dan membantuku dengan menyiapkan sarapan. Semuanya berjalan baik.
Sampai suatu pagi ketika aku bangun tidur, ibuku biasanya baru
selesai mandi dan beres-beres rumah. Tetapi tidak seperti biasanya,
sekali ini kulihat ibu mertuaku keluar dari kamar mandi hanya memakai
kimono yang ketat. Peristiwa itu memang tidak terlalu menjadi
perhatianku karena dia adalah ibu mertuaku.
Besoknya terjadi hal yang sama, ibuku keluar dari kamar mandi pada
saat aku baru bangun dan duduk di ruang tengah, dan sekali ini belahan
tengah kimono di dada agak sembarangan di tutup sehingga agak terbuka
sedikit. Yang mengkhawatirkan adalah hal ini mulai mempengaruhi
pikiranku, tetapi aku selalu berhasil mengusirnya. Anehnya peristiwa
seperti ini, aku baru bangun dan ibu mertuaku yang ceroboh selalu
terulang.
Dan yang lebih lagi beberapa minggu kemudian pada saat aku baru
bangun ibuku seperti biasa keluar dari kamar mandi dan seolah menjadi
kebiasaan aku selalu mencuri-curi lihat ke tubuh ibu mertuaku. Tapi
sekali ini ibuku hanya memakai handuk yang dilingkarkan ke tubuhnya.
Dan jelas handuk tersebut terlalu pendek untuk menutupi semua kulit
putih mulus milik ibu mertuaku. Aku akui memang ibu mertuaku masih
terbilang muda atau orang mengatakannya awet muda.
Ibu mertuaku hanya senyum-senyum tanpa bersalah lewat di depanku
dan masuk ke kamarnya. Adegan handuk ini kembali menjadi rutin yang
seolah-olah berbalas-balasan antara ibu metuaku yang sedikit-sedikit
seolah berusaha "menunjukkan" dan aku yang sedikit-sedikit berusaha
mencuri lihat.
Sampai suatu hari seperti biasa ibuku lewat di depanku dan masuk ke
kamarnya dan memang pintu kamarnya tidak pernah di tutup rapat, selalu
dibiarkannya agak rengga sedikit, seolah-olah lupa. Dan di dalam kamar
ketika ibu mertuaku ganti baju di balik pintu sekali-sekali ibuku
berjalan di kamarnya dari satu ujung ke ujung yang lain untuk mengambil
sesuatu yang ketingalan di lemari, dengan hanya memakai celana dalam
dan BH. Seolah-olah tidak ada yang melihat, tetapi kadang-kadang aku
menangkap sudut matanya yang sekejap melihat seperti ingin tahu apakah
aku memperhatikannya atau tidak.
Kadang-kadang di dalam kamarnya itu ibuku memijit-mijit kakinya
yang memang mulus, seperti pegal atau apa aku tidak tahu. Sambil duduk
di pinggir tempat tidur dan masih memakai handuk di tubuhnya ibuku
memijit-mijit kakinya dan kadang-kadang mengangkatnya sedikit, dan
kadang-kadang seperti tidak sengaja agak merenggangkan pahanya sehingga
aku dapat melihat celah-celah di antara pahanya dalam kegelapan
tertutup handuk. Kadang aku seperti melihat lirikan mata ibu mertuaku
sekejap dan seolah merasa puas kalau mengetahui bahwa aku berusaha
melihatnya di celah pintu yang agak renggang. Kejadian ini berulang.
Dan keadaan sehari-hari memang tidak ada perubahan sehingga istriku
juga tidak mengetahui apa-apa, terutama juga ibu mertuaku bertingkah
laku biasa dan memang tidak ada apa-apa. Namun pikiranku melekat
padanya dan tidak bisa melupakan kejadian-kejadian tiap pagi.
Kadang-kadang sambil memijit kakinya tiba-tiba ibu mertuaku
mengangkat kakinya sebelah ke atas tempat tidur dalam posisi masih
duduk di pinggir tempat tidur, sehingga terlihatlah segalanya walau
hanya sebentar kemudian kakinya diturunkan lagi. Dan memang apabila
keluar dari kamar mandi ibu mertuaku tidak pernah memakai baju dalam
karena semua pakaiannya ada di kamar tidurnya. Dan setelah selesai
berpakaian, ibu mertuaku selalu senyum dikulum, seolah senang melihatku
setengah mati berjalan membungkuk-bungkuk dan aku melepaskan segalanya
di kamar mandi.
Kejadian bermacam-macam sering terjadi dan segalanya jadi tidak
wajar lagi. Kalau aku bersenggolan dengan ibu mertuaku selalu ada
perasaan berdesir dan berdebar, tapi ibu mertuaku cuek-cuek saja.
Demikian berlangsung terus aku sering "tidak sengaja" menyenggol ibu
mertuaku dan ibu nertuaku kadang-kadang "tidak sengaja" menyenggolku,
demikian terus sampai anakku lahir dan sampai ketika anakku berumur 4
bulan.
Pada suatu hari aku pulang kantor pagi-pagi karena aku akan
mendapat shift malam karena ada order mendesak. Di rumah hanya ada ibu
mertuaku karena istriku sedang pergi ke rumah uwaknya bersama anakku.
Dan biasanya kalau istriku ke rumah uwaknya maka bisa sampai sore baru
pulang. Aku memang berencana untuk membetulkan kabel listrik di rumahku
yang masih kurang untuk lampu depan. Ketika aku berusaha memasang kabel
yang ditembok di kamar kulihat ibu mertuaku sedang memasukkan baju-baju
yang baru diseterika ke dalam lemari siteriku. Secara insting saja aku
mengambil kabel di tembok di belakang lemari yang bergelantungan yang
sudah kulepas dari atas dan secara tidak sengaja lenganku menyentuh
bagian depan atas dada ibu mertuaku. Aku agak terkejut dan berusaha
menarik tanganku tetapi batal karena anehnya ibu mertuaku tidak
berusaha menggeser badannya supaya aku tidak terhalang, dan kembali
sibuk dengan baju yang sudah diseterika.
Aku juga seperti pura-pura tidak tahu dan menarik-narik kabel itu
sedemikian rupa sehingga lenganku bergesekan dengan dada ibu mertuaku.
Jantungku berdebar-debar kencang, dan ibu mertuaku juga kulihat hanya
membolak-balik baju yang sudah di lemari tanpa tujuan. Tiba-tiba ibu
mertuaku memandangku tajam, hanya sebentar kemudian kembali sibuk
dengan baju-baju di lemari.
Perlahan-lahan kutarik tanganku dan kupindahkan ke pundaknya untuk
merangkulnya. Aku yakin ibu mertuaku bisa mendengar betapa jantungku
berdegup-degup keras dan aku agak gemetaran. Ketika perlahan kurangkul,
ibu mertuaku tidak bergeser atau berpaling, dia tetap saja sibuk dengan
baju-baju di lemari.
Posisi berdiriku sekarang sedemikian rupa jadi berada agak di
belakang ibu mertuaku dengan satu tangan merangkul pundaknya. Aku
memandangi leher putih ibu mertuaku dari belakang, dan aku tidak tahan
tiba-tiba kupeluk ibu mertuaku dan kuciumi tengkuknya bertubi-tubi. Aku
tidak perduli ibu mertuaku merasakan tonjolan keras yang merapat di
belakangnya karena aku memang sudah tinggi. Ibu mertuaku tiba-tiba
bergerak menghindar dan pergi serta mengatakan, "Jangan Dang..,"
sedikit ketus, tanpa memandangku. Ibu mertuaku kembali ke ruang tengah
tempat dia sedang menyeterika bajunya.
Keadaan dalam rumah memang sepi dan semua pintu tertutup sedangkan
jendela depan dengan gorden tipisnya tidak bisa dilihat orang dari
luar. Aku sudah demikian tinggi dan seperti kerasukan setan sudah tidak
perduli dengan kaidah apapun. aku pura-pura ke dapur seolah-olah
mengambil sesuatu di dapur dan kembali ke ruang tengah dari arah
belakang dari ibu mertuaku. Aku pandangi tubuh ibu mertuaku dari
belakang, dan memang tubuhnya indah sekali di balik baju dan rok yang
ketat yang dikenakannya.
Aku pegang pundaknya dari belakang dan pelan-pelan kuusap-usap
pundaknya, dan ibu mertuaku diam saja, kemudian tanganku pelan-pelan
kulingkarkan di perutnya, ibu mertuaku kupeluk dari belakang. Aku ciumi
kembali tengkuknya dengan lembut, dan sekali ini aku dapat merasakan
bahwa ibu mertuaku juga berdebar-debar sama seperti keadaanku. Ibu
mertuaku berkata berkali-kali "Jangan Dang..," namum sekali ini tidak
ketus tetapi seperti berbisik dan suaranya agak gemetar.
Tanganku aku naikkan ke dada ibu mertuaku sambil tak henti-hentinya
aku menciumi leher ibu mertuaku yang putih mulus. Aku remas-remas
dadanya dan ibu mertuaku tidak melawan malahan badannya agak
menggeliat-geliat dan berkali-kali berbisik "Dadaanng.." Dari situ
tanganku terus berpindah ke bawah dan masih dalam posisi memeluk dari
belakang. Keadaan itu terus memanas dan akhirnya terjadilah semuanya di
situ di sofa dekat meja seterikaan, aku menyetubuhi ibu mertuaku dan
ibu mertuaku membalasnya dengan lebih panas.
Demikianlah awal kejadiannya. Pada mulanya aku selalu menyesal atas
perbuatan yang baru saja kami lakukan tetapi seperti daya magnet yang
kuat, kejadian itu selalu berulang kembali.
Kami berkali-kali melakukan diam-diam dan selalu istriku atau
tetangga-tetangga kami tidak ada yang mengetahuinya, dan ibu mertuaku
begitu pandai menutupi segalanya seolah tidak ada kejadian apa-apa. Aku
banyak belajar dari ibu mertuaku bagaimana menutupi dan berlatih
"bersabar" untuk tidak melakukan kesalahan apapun di depan orang lain.
Bagi orang luar yang melihatnya hubungan kami terlihat wajar, keluarga
kecil yang hidup serasi bersama ibu mertuanya.
Pada setiap kesempatan aku hanya berdua dengan ibu mertuaku selalu
saja seolah-olah kami tidak mau menyia-nyiakan waktu dan melakukannya
dengan keras dan sangat cepat agar cepat selesai. Keadaan
sembunyi-sembunyi ini seolah merasuki kami dan membuat ketagihan.
Bahkan ketika kami semua di rumah dan istriku pergi sebentar untuk
berbelanja di ujung gang rumah kami atau pergi sebentar ke rumah teman,
kami segera melakukannya dengan posisi berdiri atau di tempat cuci
piring ibu mertuaku membungkuk dan posisiku dari belakang, kadang tanpa
membuka baju kami dan hanya dibuka di daerah tertentu secukupnya.
Bahkan kadang ibu mertuaku tidak melepas baju atau apapun dan hanya aku
singkapkan celana dalamnya ke samping sedikit tanpa dilepas. Kalau aku
bandingkan yang aku lakukan bersama ibu mertuaku bahkan lebih gila dari
pada melakukannya dengan istriku. istriku tidak pernah mau melakukan
posisi 69, tetapi ibu mertuaku paling suka kalau permainan pembukaanya
dengan 69. Hampir segala macam posisi sudah aku lakukan bersama ibu
mertuaku, yang tidak pernah kulakukan bersama istriku. Tapi memang aku
tidak pernah menuntut apapun dari istriku.
Dulu kadang-kadang aku dan ibu mertuaku senyum-senyum berdua dalam
kegiatan sehari-hari atau kadang aku berbisik yang agak porno dan ibu
mertuaku mencubitku dengan keras. Kadang-kadang dalam kesempatan duduk
bersama di meja makan, tanganku bergerilya di bawah meja tanpa setahu
istriku dan anak-anak, tetapi hal seperti ini sangat jarang aku lakukan
karena aku dilatih untuk bersabar dan tidak melakukan hal-hal yang
tidak perlu.
Kalau dipikir-pikir aku melakukan hal itu dengan ibu mertuaku
hampir di seluruh pelosok rumah pernah kami lakukan, mungkin ini karena
selalu keadaanya darurat sehingga kami tidak memilih-milih tempat.
Sepertinya aku menikmati itu semua, tetapi juga aku ingin lepas dari
itu semua. Tapi anehnya hubunganku dengan ibu mertuaku dan istriku
sehari-hari seperti tidak ada perubahan sedikitpun.
Pada awalnya hampir setiap minggu aku dan ibu mertuaku melakukannya
minimum satu kali, dan yang paling nekad adalah ketika malam hari aku
terbangun dan diam-diam pindah ke kamar ibu mertuaku dan melakukan
segalanya, seolah-olah aku yakin istriku tidak akan terbangun, dan
anehnya memang istriku tidak terbangun.
Kadang-kadang memang hampir ketahuan oleh istriku tetapi selalu aku
atau ibu mertuaku menemukan kata-kata yang tepat untuk alasan atau
membelokkan perhatian dan menutupi kejadian sesungguhnya. Kami seperti
orang yang kerasukan, bahkan dalam perjalanan ke luar kota atau di
rumah saudara kami sempat melakukannya di kamar mandi atau di manapun
ada kesempatan hanya berdua dan tidak mencurigakan.
Sampai sekarang anakku sudah empat tetapi sekali-sekali kalau ada
kesempatan aku dan ibu mertuaku melakukannya kembali. Ibu mertuaku
selalu memuji-muji aku dan mengatakan aku hebat dan dia selalu
terpuaskan dan klimaks. Aku tidak tahu apakah rasa puas ibu mertuaku
adalah karena punyaku yang memang agak besar atau karena kondisi
pesikologis kami yang melakukannya diam-diam sambil agak takut-takut
yang membuat kami memang ingin cepat-cepat selesai setiap kali
melakukannya. Dan kami seperti keranjingan atau ketagihan akan hal ini.
Tapi di samping itu semua aku tetap tidak bisa lepas dari rasa
bersalah dan rasa berdosa yang selalu juga menghantuiku. Berkali-kali
aku ingin lepas dari kebiasaan semua ini. Bahkan aku pernah ketus dan
tegas menolak ibu mertuaku. Tetapi selalu dia dengan lemah lembut
membujukku dan mengatakan apakah aku tidak kasihan kepadanya yang
selalu membutuhkan itu. Dan aku demikian lemahnya sehingga selalu
kembali terjebak dengan melakukan itu lagi.
Kadang aku marah pada diri sendiri, tetapi pada saat aku ingin
melakukannya selalu lupa pada segala pemikiran ini dan selalu kembali
melakukannya lagi.
Maafkan aku kalau aku cerita terlalu detail, karena aku masih dalam
keadaan seperti keranjingan atau ketagihan dan seperti kerasukkan kalau
mengenang segala detail itu. Kadang ini juga mengganggu kerjaku tetapi
untunglah tidak ada halangan apapun.
Bagaimana caranya lepas dari semua ini. Aku sadar bahwa kami tidak
bisa meninggalkan ibu mertuaku sendiri di rumahnya tetapi aku juga
sadar dan berpikir tentang masa depan keluargaku dan anak-anakku. Apa
yang sebaiknya aku lakukan.