Kalau ada orang yang benci pada dirinya
sendiri, barangkali aku adalah orangnya. Aku sungguh benci pada
tubuhku, wajahku, rambutku dan semuanya. Ya.., perasaan itu semua
timbul karena segala kelebihan yang kumiliki justru mengancam diriku
sendiri. Berkali-kali jiwaku terancam karena mereka ingin memperkosaku.
Yang Jebih mengherankan adalah mereka bukanlah orang lain,
melainkan orang-orang yang aku kenal. Orang yang sangat dekat dengan
diriku. Sungguh memalukan.
Sampai sekarang aku masih terus memikirkan mengapa orang-orang di
sekelilingku ingin memperkosaku. Ya ayah kandung, ayah tiriku, dan
paman. Entah mengapa mereka begitu bernafsu melihatku. Padahal mestinya
mereka jadi pelindungku. Aku hampir tak percaya akan semua ini. Begitu
berat beban yang harus kupikul sehingga aku hampir bunuh diri. Kupikir
hanya itu jalan satu-satunya untuk keluar dan persoalan ini.
Beruntunglah saat aku mengambil pisau dapur ketahuan paman. Saat
itu juga aku dicegah untuk tidak melanjutkan niatku. Aku terksiap
begitu dibentak paman, "Apa kamu sudah gila ya?" Mendengar itu aku cuma
bisa menangis, tak kuasa berbuat apa-apa. Rasanya segala yang kuperbuat
serba salah.
Waktu itu aku memang ikut paman, setelah ayah dan ibu bercerai. Aku
berpikir dengan ikut paman akan lebih aman. Tidak berpihak kepada ayah
maupun ibu. Biarlah paman Sebagai pengganti orang tuaku.
Di rumah itu aku diberi kamar sendiri. Kebetulan paman dan bibi
tidak punya anak. Hitungannya aku ini sebagai anak angkatnya. Mugkin
karena itu aku sangat diperhatikannya, meski aku diambilnya ketika
usiaku sudah menginjak remaja, 16 tahun.
Hari-hari pertamaku tinggal bersamanya dengan penuh keceriaan.
Akupun mulai lupa dengan persoalan ayah dan ibu. Kupikir tak ada
gunanya aku ikut memikirkan persoalan mereka, toh aku sudah dewasa.
Dalam sehari-hari aku memang tergolong gadis yang lincah. Dalam
berbusana aku paling suka dengan rok mini. Mungkin karena aku senang
menampakkan kelebihanku pada paha dan kaki yang putih mulus. Ditambah
tubuhku yang ramping dan padat berisi. Dengan tinggi badan 167 cm dan
berat 48 kg, ditunjang dengan kesempurnaan payudaraku yang berukuran
36C memang membuat banyak pria yang tertarik bahkan tergila-gila pada
diriku.
Sungguh aku tak menyangka jika kesempurnaan penampilanku yang
seperti itu malah menjadi bumerang. Memang banyak pria kemudian tergoda
melirikku. Tapi yang tidak kusangka sama sekali kalau bahkan pamankupun
ikut tergoda.
Malam itu aku tidur tanpa sempat ganti baju. Tidak biasanya aku
memang ganti baju. Hanya kalau ingin saja, aku ganti baju tidur. Saat
tidur itulah rupanya aku lupa mengunci pintu kamar. Aku baru terbangun
ketika kurasa ada tangan nakal mengusap-usap pahaku. Betapa aku
terkejut, ternyata yang ada di sisi tempat tidurku adalah pamanku
sendiri. Aku terpekik, tapi seketika itu juga tangan paman membekap
mulutku.
Dengan penuh harap aku memohon agar paman tak melanjutkan niatnya.
Pamanpun memohon maaf dan menyatakan kehilafannya. Kuakui istri paman
memang tidak begitu cantik. Ia juga tak begitu pintar merawat diri,
sehingga tubuhnya yang gemuk dibiarkan begitu saja. Dalam berpakaian
sekenanya, paling banter pakai daster lusuh atau kaos oblong.
Kupikir-pikir memang, kok mau-maunya paman sama bibi. Apa tidak ada
wanita lain, kata batinku.
Aku tak menyalahkan kalau kemudian paman melirik wanita lain, yang
tidak kumengerti karena wanita yang dipilih adalah aku, kemenakannya
sendiri. Untuk beberapa hari aku masih terus berpikir, jangan-jangan
paman akan mengulangi perbuatannya lagi. Itu makanya setiap tidur aku
tak bisa nyenyak. Kadang-kadang tengah malam aku terbangun, hanya
khawatir paman tiba-tiba masuk kamarku.
Setelah kupikir-pikir, akhirnya kuputuskan untuk keluar dari rumah
paman. Daripada tiap hari hatiku tak tenang. Sebenarnya bibi sempat
bertanya-tanya tentang keinginanku itu. Apalagi aku masih sekolah, saat
itu kelas 2 di sebuah SMU Negeri di Surabaya. Tapi dengan alasan aku
kangen pada ayah, dia pun melepaskanku. Pamanku sendiri memaklumi,
bahkan masih sempat minta maaf berkali-kali padaku. Rupanya dia sangat
menyesali perbuatannya.
Selanjutnya aku memang pergi ke rumah ayah di Bali. Aku sudah tak
ingat dengan sekolahku. Pikirku yang penting bagaimana bisa terbebas
dari rasa takut. Aku berharap dengan ikut ayah hatiku bisa tentram.
Sejak pisah dengan Ibu, ayah memang tinggal di sana karena alasan
dagang. Ternyata ayahku sudah menikah lagi dengan seorang gadis asal
Kalimantan. Ayahku sendiri berasal dari Sunda.
Aku lebih memilih tinggal bersama ayah karena ibuku telah menikah
lagi Bahkan ibu telah menikah untuk kedua kalinya. Yang terakhir dia
menikah dengan seorang pegawai negeri.
Ketika melihat aku datang, ayah sangat senang. Kebetulan dari
pernikahan dengan gadis Kalimantan itu, ayah belum juga dikaruniai
anak. Jadilah aku dijadikan anak yang manja. Bagi ibu tiriku juga tak
masalah. Dia menganggapku sebagai adiknya, kebetulan dia masih sangat
muda, usianya sekitar 30 tahun.
Di rumah ini pun aku mendapatkan sebuah kamar. Hari-hariku boleh
dikata lebih banyak bersama ibu tiri. Itu karena ayah terlalu sibuk
dengan usahanya di luar. Aku hanya bertemu ayah ketika terlambat tidur,
atau pagi sekali sebelum dia berangkat kerja.
Sekali waktu aku sudah tertidur pulas ketika ayah datang. Saat
itulah ayah masuk ke kamarku yang hanya ditutup kain gorden. Lagi-lagi
kejadian serupa yang dilakukan paman terjadi. Aku terbangun ketika ayah
sedang asyik mengusap-usap pahaku. Saat itu aku memang sedang
mengenakan rok mini. Mungkin ayah sangat terangsang saat menatap rokku
yang tersingkap. Aku tak menyangka sama sekali jika ayah bisa berbuat
seperti itu. Tidakkah ia ingat bahwa aku ini anaknya, darah dagingnya.
Mengapa dia mesti berbuat seperti itu kepadaku. Toh dia sudah punya
istri. Apalagi istrinya juga tidak jelek-jelek amat dan masih muda.
Tapi itulah manusia, ketika sudah dikuasai nafsu, akal sehatnya pun
hilang. Andai saja aku tak terbangun, entah apa yang terjadi. Mungkin
aku sudah ditindihnya. Rupanya Tuhan masib menyayangi diriku. Sejak
kejadian itu pikiranku kembali kalut. Kadang-kadang aku berpikir
betulkah aku ini anak kandungnya. Jangan-jangan aku cuma anak
angkatnya, Sebab kalau memang aku anak kandungnya, mengapa ayah, paman
tak melihat aku sebagai bagian dari dirinya.
Seperti ketika paman hendak memperkosaku, akupun berkali-kali
menyadarkan ayahku. Aku meminta agar ayah sadar. "Sadarlab pak! Ingat
aku ini anakmu masak tega menodai..", kataku setengah berbisik karena
takut terdengar ibu tiriku. Untunglah ayah tak memaksa, dan dia pun
minta maaf atas apa yang baru ia lakukan.
Esok harinya kami berusaha bersikap seperti biasa, seakan tak
terjadi apa-apa. Ayah pun segera berangkat, sepertinya dia sangat malu
atas kejadian semalam. Tinggalah aku merenung. Aku lebih banyak berdiam
di kamar dengan pura-pura membaca majalah. Padahal hatiku sangat
gelisah.
Tidak lama setelah kejadian itu, akhirnya kuputuskan kembali ke
Surabaya. Kupikir biarlah aku hidup bersama ibu dan ketiga adik-adikku
Selama ini, tiga adik-adikku itu, 2 laki-laki dan seorang perempuan,
memang ikut ibu. Barangkali dengan hidup di rumah yang banyak orang aku
terhindar dan tangan-tangan jahil. Aku yakin bahwa di rumah ibu lebih
aman, apalagi ayah tiriku usianya sudah 50 tahun. Jadi tak mungkin dia
macam-macam. Aku juga sekamar dengan adik-adikku.
Sejak saat itu aku juga mulai menjaga penampilanku. Aku tak lagi
senang memakai rok mini meski itu menjadi busana favoritku. Tapi
barangkali sudah suratan nasibku harus jadi korban kebiadaban. Aku tak
habis pikir ada apa sebenarnya ditubuhku sehingga bisa memancing hasrat
para lelaki untuk memperkosaku.
Hari ini, siang hari, ketika adik-adikku pada sekolah dan ibu ke
pasar. Tiba-tiba saja ayah tiriku yang biasa kupanggil abah sudah
mendekapku dari belakang. Belum sempat aku bertanya, dia sudah
membalikkan tubuhku dan mendorongku ke tempat tidur. Dalam posisi
berhadap-hadapan, akhirnya aku berusaha lepas sambil mengingatkannya.
Aku memohon pada abah agar dia tak melakukannya. Pada saat-saat genting
itulah ibu datang dan menyelamatkan diriku.
Aku langsung keluar dan mengadu pada ibu. Di pangkuannya aku
menangis sejadi-jadinya. Mengetahui kejadian itu, ibu sangat marah.
Tapi rupanya abah sudah pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu ibu
mewanti-wanti. Ia bilang kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan
mengatakannya.
Entah sudah berapa hari abah tidak pulang, tapi yang kutahu
kemudian Ibu mencaci maki abah ketika kembali ke rumah. Abah rupanya
sadar dan minta maaf berkali-kali kepada Ibu. Ia juga memanggilku
kemudian minta maaf atas perbuatannya. Aku dan Ibu akhirnya berangkulan
dan bertangis-tangisan. Kulihat abah hanya menunduk lesu di kursi.
Barangkali juga menangis.
Sejak kejadian itu aku betul-betul dibuat bingung. Mau pergi, tapi
mau kemana lagi. Sepertinya aku lolos dan mulut singa, tapi masuk mulut
buaya. Akibat kejadian demi kejadian, aku jadi takut dekat laki-laki.
Setiap ada laki-laki yang ingin mendekat, aku jadi curiga. Aku
betul-betul trauma, tak tahu harus bagaimana menghadapinya.
Berhari-hari aku merenung, tapi ibu terus membesarkan hatiku agar
tabah menghadapi cobaan ini. Yang penting belum terjadi kan? Percayalah
untuk kedua kalinya takkan terulang lagi. Imi akan menjagamu Nak", kata
ibuku memberi keyakinan. Untuk tidak menambah kalut pikiran ibu, akupun
mengurungkan niatku untuk menceritakan kejadian sebelumnya. Sampai
sekarang dia tak tahu kalau sebenarnya percobaan perkosaan ini sudah
untuk ketiga kalinya menimpa anak gadisnya. Pikirku biarlah masalah ini
kupendam sendiri, yang penting kegadisanku masih utuh. Aku hanya
berharap jangan sampai terulang lagi.
Hari-hari selanjutnya kucoba menenangkan diri sambil terus
memperbaiki sikapku. Aku juga mulai mengisi hari-hariku dengan
kesibukan. Daripada tidak Sekolah, aku ikut kursus komputer dan Bahasa
Inggris. Bukan itu saja, diwaktu-waktu senggang aku masih sempatkan
ikut fitnes, meski hanya sekali atau dua kali seminggu. Sungguh, dengan
ikut fitnes itu tubuhku makin tampak padat berisi dan kata teman-teman
aku tambah cantik. Tapi walaupun begitu aku jarang sekali memakai rok,
apalagi rok mini. Aku lebih suka memaka celana panjang dengan baju yang
tertutup.
Abahku juga rupanya sudah menyadari kesalahannya dan tak pernah
lagi melirik-lirik diriku. Mungkin takut sama ibu. Mereka berdua tampak
lebih sibuk mengurusi tokonya yang selalu ramai dengan pengunjung.
Disaat-saat aku mulai tenang, timbul masalah-masalah baru dalam
hidupku. Dua orang paman tiriku, saudara abah tiriku sama-sama
mencintaiku. Pamanku itu kakak beradik, tapi hatiku berkata lebih
senang adiknya. Bukan saja usianya yang lebih pas dengan usisiaku, tapi
juga wajah adiknya lebih ganteng.
Rupanya mereka berdua, sebut saja Paman A dan Paman B saling
bersaing ketat untuk merebut hatiku, meski di antara mereka tak saling
tahu. Entah mengapa aku begitu sulit menolak ajakan mereka. Makanya
ketika A membelikan cincin atau keperluan lainnya, akupun menerimanya
saja. Padahal Jujur kukatakan aku tak begitu suka dengannya. Kepada B
aku suka, tapi sayang terlalu pecemburu. Aku khawatir terjadi apa-apa
di antara mereka.
Pada saat bersamaan aku berkenalan dengan Kus, seorang rnahasiswa
sebuah PTS di Surabaya. Pemuda ini cukup terpelajar, akupun senang.
Herannya, yang mengenalkan Kus kepadaku adalah paman B. Mereka adalah
teman akrab. Aku betul-betul dibuat bingung oleh ketiga laki-laki ini.
Semuanya punya kelebihan dan kekurangan. Kus sendiri mengaku telah
punya tunangan. Tapi katanya dia lebih mencintai aku.
Dalam usia 19 tanun sekarang sebenarnya aku juga sudah kepingin
kawin. Tapi siapa di antara ketiga laki-laki itu yang layak kupilih?
Dengan A atau B tidak mungkin, sebab bagaimanapun dia adalah pamanku,
meski hanya paman tiri. Dengan Kus aku masih ragu, walaupun seandainya
disuruh memilih aku pilih dia.
Dalam kebingunan, rasanya aku ingin pergi jauh untuk menenangkan
diri. Aku ingin kerja, meski itu di luar negeri sekalipun. Tentu
pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan yang kumiliki. Tapi dimana?