Namaku Desyantri, menurut teman-teman aku
mempunyai wajah cantik, alis mata tipis dengan mata indah dan jernih
yang dilindungi oleh bulu lentik, hidung tergolong mancung dan bagus,
bibir tipis, mungil merah alami serasi dengan bentuk wajah. Kulit
kuning langsat mulus dan terawat.
Sejak dua bulan yang lalu, aku tinggal bersama keluarga Om Benny
yang masih saudara sepupu Mama, karena orang tuaku pindah tugas ke luar
negeri untuk jangka 2 tahun. Usia aku 16 tahun, aku mempunyai tinggi
157 cm, dengan berat sekitar 40 kg, yah kadang sifatku memang
kekanakan.
Om Benny dan istrinya Tante Tina punya seorang anak laki-laki,
Didit yang berusia 4 tahun. Mereka tidak punya pembantu, setiap hari
anaknya dibawa dan di titipkan pada kelompok bermain yang terletak di
dekat tempat kerja Tante Tina. Tante Tina sendiri adalah seorang wanita
yang manis dan tampak lesung pipitnya ketika tersenyum, badannya masih
langsing walaupun sudah punya anak. Sedangkan Om Benny berumur
kira-kira 35 tahun, berkulit coklat dan ganteng, sangat menyayangi
keluarganya. Meraka adalah keluarga yang harmonis. Aku merasa betah
tinggal di rumah mereka, karena telah di anggap sebagai keluarga
sendiri.
Om Benny mempunyai sebuah rumah mungil dengan tiga buah kamar, Aku
menempati kamar paling depan dan menghadap ke jalan, suasananya nikmat.
Om Benny dan istrinya menempati ruang tengah yang mempunyai kamar mandi
sendiri, ada juga sebuah pintu yang menghubungkan ke kamar belakang di
mana Didit biasa tidur. Ruang tamu dan ruang keluarganya cukup besar.
Aku biasa menggunakan kamar mandi yang terletak di belakang dekat
dapur. Bila hari libur mereka jalan-jalan dan rekreasi bersama, Aku
selalu diajak, suasananya menjadi semakin menyenangkan.
Suatu malam, tidak sengaja aku terbangun mendengar suara rintihan
dan dengusan nafas yang memburu dari kamar sebelah, suara itu makin
lama makin keras. Aku melihat ke arah lubang angin di atas meja
belajar, lampu di kamar sebelah masih kelihatan terang. Hatiku diliputi
rasa penasaran, pelan-pelan aku bangun dan mematikan lampu kamar,
dengan hati-hati mengendap naik di atas meja belajar, aku agak
membungkuk untuk bisa melihat ke kamar sebelah melalui lubang yang
cukup besar. Aku kaget melihat adegan yang terjadi di kamar sebelah,
sampai hampir jatuh, tapi untung cepat sadar. Aku melihat Om Benny
sedang bergumul dengan istrinya tanpa mengenakan selembar pakaian.
Semula aku ingin mengurungkan niat untuk melihat perbuatan mereka,
karena rasa ingin tahuku besar dan merasa penasaran, aku kembali
mengintip mereka.
Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, tapi aku mulai tertegun
saat Om Benny bertumpu dengan lututnya yang kebetulan menghadap ke
arahku, aku semakin tegang dan terbelalak melihat titit Om Benny
berdiri tegang dan besar di antara kedua pahanya, sebelumnya aku tidak
pernah melihatnya, sangat berbeda dengan kepunyaan Didit yang masih
kecil, tengkukku mulai merinding, badanku terasa panas, tapi mataku
masih terus menatapnya.
Om Benny mulai berada di atas badan Tante Tina dengan burung yang
masih tegak berdiri. Sambil bertumpu pada lutut dan sikunya bibir
mereka saling melumat, mencium, dan kadang menjelajahi seluruh tubuh. "
Kak.., ahh.., terus ssts.., ahh.., Uhh", Tante Tina merintih-rintih
seperti kenikmatan. Aku semakin tegang dan mulai panas dingin
melihatnya, "Kak.., ahh, terus ssts.., ahh.., uhh.., aah".
Aku yang melihat adegen itu, tanpa sadar mulai memegang dan
mengelus elus tetekku sendiri, merasa nikmat, tapi tidak berani
bersuara. vaginaku terasa membasah, aku baru sadar kalau berahiku mulai
bangkit.
Tante Tina membimbing burung itu ke vaginanya, dan terlihat masuk,
"Uhh.., aahh", tapi Benny malah memainkan ujung burungnya keluar masuk
lubang vaginanya, "Ooohh Kak masukkan, aahh", terdengar rintih
kenikmatan, "Aduuhh.., aahh", tangannya mencengkeram bahu Om Benny.
Kemudian burungnya masuk lagi, "Ahh.., Ohh", dan Tante Tina mulai
menggelinjang dan mengimbangi gerakannya sambil mendekap pinggangnya, "
Mas.., ahh, terus Mas.., ahh.., Uhh", burungnya terus menghunjam
semakin dalam. Ditarik lagi, "Aahh" dan masuk lagi, "Mas.., ahh, terus
Mas.., ahh.., Uhh". vaginaku sendiri makin basah dan terasa geli.
Sampai suatu badannya bergeter getar dan mengejang, dan "Aahh..,
oohh.., aahh" Tante Tina terkulai dengan senyumnya, di susul dengan
lenguhan panjang Om Benny. Kemudian mereka rebah telentang kecapaian.
Melihat adegen itu kepalaku berdenyut, aku berusaha turun
pelan-pelan dari atas meja. Semalaman aku tidak bisa tidur membayangkan
adegan yang baru kulihat. Aku bayangkan sedang bergumul dengan Om Benny
yang mencumbu dan memberikan kenikmatan. Menjelang pagi aku baru bisa
tidur karena kelelahan.
Hari-hari berikutnya bila sedang melamun aku selalu membayangkan
sosok Om Benny yang atletis itu mencumbuku, kadang aku membandingkan
dengan teman-teman laki-lakiku, tapi tak ada satupun sosok temanku yang
mampu menggantikan sosok Om Benny. Beberapa malam aku selalu menantikan
suara-suara dari kamar sebelah, dan tidak pernah melewatkan kesempatan
untuk melihat adegan yang sedang berlangsung, seperti ketagihan
fantasiku melayang membayangkan diriku yang melakukan hal itu.
Aku mulai sering mencuri pandang untuk menatap dan menelusuri tubuh
Om Benny dari ujung kepala sampai ujung kaki, tapi tidak berani
memperlihatkannya secara langsung, karena takut Tante Tina mengetahui
perbuatanku. Aku sangat penasaran terhadap benda yang selalu menonjol
di balik celana laki-laki itu, rasanya benar-benar ingin melihatnya
dari dekat, bukan samar-samar seperti saat mengintip. Hubungan mereka
masih terasa harmonis seperti biasanya.
Pagi itu hari Minggu tanggal 16 Juli 2000, Om Benny mengantarkan
istri dan anaknya ke Bandara, mengejar penerbangan pertama ke Surabaya,
untuk menjenguk ayah Tante Tina yang sedang sakit, sesuai rencana yang
mereka bicarakan sejak beberapa hari yang lalu. Tante Tina tidak akan
lama di Surabaya, esok harinya sudah kembali ke Jakarta.
Aku bangun agak siang hari itu, malas bangun karena sendirian di
rumah. Dengan mata yang masih mengantuk aku mengambil handuk dan
bergegas ke kamar mandi, mumpung rumah sepi aku ingin melulur tubuhku.
Setelah menggantungkan handuk, aku mulai membuka baju tidur melalui
kepala, selintas terlihat tetekku menonjol kencang di atas dada yang
tidak tertutup Bra. Sejenak aku melihat ke arah tonjolan itu. Aku
merasa bangga mempunyai buah dada yang indah, putingnya masih kecil dan
berwarna coklat kemerahan, selenak aku melamun, alangkah senangnya
seandainya Om Benny mengelus kagum tetekku, kemudian kutarik celana
dalam putih itu perlahan melalui pahaku yang mulus dan betis yang
indah. Saat berdiri terlihat bulu-bulu lembut kemerahan tumbuh
menghiasi perut bagian bawah, bulu-bulu itu belum begitu lebat, karena
masih ada bulu-bulu kecil yang sedang tumbuh.
Rambutku yang berpotongan pendek itu kututup dengan plastik penutup
kepala, baru dikeramas kemarin sore, takut basah. Terasa segar saat air
yang sejuk itu mengguyur badanku berkali-kali, aku kemudian mulai
menggosok sekujur tubuh dengan perlahan sehingga yakin benar-benar
bersih. Kukagumi sendiri lekuk-lekuk tubuh yang indah itu, aku bangga
dengan bentuk tubuh yang kumiliki, sambil terus melulur, kadang
membayangkannya tangan Om Benny menelusuri tubuhku.
Selesai lulur aku membilasnya dengan sabun mandi yang beraroma
wangi, sampai tubuhku menjadi begitu halus dan wangi. Saat akan selesai
aku mendengar bunyi telepon berdering, buru-buru kubasuh badan hingga
bersih. Telepon terus berdering, Aku buru-buru menarik handuk, sampai
baju tidurku jatuh dan basah, setelah melilitkan handuk seadanya ke
tubuhku yang masih basah, aku keluar dari kamar mandi, tidak ada orang
pikirku. Aku akan menuju telepon di ruang tamu, tapi baru ingat kalau
hanya mengenakan handuk, malu bila saat mengangkat telepon ada orang
yang melihat dari arah jalan, maka aku buru-buru masuk ke kamar Om
Benny, pintu kamar kubuka dan terlihat kamar itu kosong, aku masuk,
menutup dan mengunci pintu itu sendiri, lalu menuju ke arah telepon di
samping ranjang.
"Hallo!", aku membungkuk sehingga tak terasa pantatku tersingkap,
mencoba menjawab telepon itu, tapi keburu terputus. Kututup lagi
telepon itu. Pantatku kembali terlihat. " Ahh!", aku tekejut saat
membalikkan badan, tak disangka Om Benny sudah pulang dan berdiri di
belakangku hanya menggunakan celana dalam keluar dari kamar mandi yang
ada dalam kamarnya, badanku sampai gemetar karena kagetnya, sekaligus
terpesona melihat tubuh Om Benny yang bagus, dada bidang itu
seolah-olah seperti magnit yang menarik diriku, membuatku hanya berdiri
mematung, aku tak kuasa melihat tatapan Om Benny, aku menunduk, tapi
aku semakin terkejut saat melihat benda di balik celana itu bergerak
makin besar, entahlah aku menjadi terpesona dan diam saja saat Om Benny
menghampiriku. Selain kaget, malu dan terpesona, ada terselip keinginan
untuk mengetahui sampai di mana keberanian laki-laki ini. Tapi "..ahh"
gila pikirku, karena jantungku terasa berdenyut kencang, hingga tak
sadar aku malah menutup mata.
Tiba-tiba kurasakan tangan Benny mengelus pundak dengan lembut,
sejenak anganku melayang terbayang adegen yang pernah kulihat. Dengusan
udara hangat menerpa wajahku. Darah mudaku malah terasa meletup-letup,
seakan aku tak kuasa menolak dan diam saja saat daguku diangkat,
hembusan nafas hangatnya mulai menerpa wajahku, degup jantungku semakin
kencang, membuatku tak berdaya saat bibirku merasakan hangatnya bibir
Om Benny yang lembut dan tubuhku semakin menggigil saat hidungku
mencium bau parfum yang dikenakan Om Benny. "Ohh" aku ingin meronta,
tapi hanya desahanku saja yang keluar, perasaanku tak karuan "..oohh".
Aku hanya bisa terdiam saja, dia terus mengulum bibirku, membuat
sedotan-sedotan kecil, dan menggelitik ujung bibir mungilku dengan
hangat. Diperlakukan seperti itu aku semakin menggigil dan hanya mampu
mendesah desah, "Ahh.., Oohh.., Jangan nakal Mas", pintaku. Aku belum
pernah merasakan hal seperti ini. Tapi lama kelamaan ciumannya terasa
hangat dan menimbulkan rasa geli yang nikmat, sehingga akhirnya aku
membalas dan mengimbang ciumannya sekali sekali. Perasaanku melayang
ringan dan nyaman. Om Benny makin berani menyusupkan tangannya ke
pantatku yang tidak terlidung itu, "aahh!", aku kaget sejenak dan
berusaha menghalangi tangannya, tapi aku ternyata hanya sanggup
memegangnya saja, ada perasaan tidak rela untuk mengakhiri perasaan
nikmat ini. Makin lama elusan-elusan lembut dipantatku itu menimbulkan
perasaan nikmat yang lain.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk membalas lumatan-lumatannya, detak
jantungku semakin bertalu-talu dan badanku semakin bergetar, rasa
maluku memudar, sambil merintih rintih, "Ooom.., ahh.., ahh.., Uhh",
vaginaku mulai terasa basah dan terasa geli tapi nikmat, "Ohh.."
Tangan Om Benny yang satu lagi mulai menyusup di antara ketiakku,
mau tak mau kedua tanganku menjadi terangkat, "Ahh.., Omm.., ahh..,
uuhh", akal sehatku entah melayang ke mana, kini tangan Om Benny lebih
bebas menelusuri tubuhku, tangan kiri menopang punggung, tangan
kanannya terus mengelus bagian-bagian yang sensitif di pantat, ini
membuat perasaanku makin melambung, "Ssst.., ahh". Kemudian tangannya
bergerak naik, hingga handuknya makin terangkat ke atas, badanku serasa
lemas tak berdaya, ketika kaki kiri Om Benny dinaikkan dan
mendudukkanku di atas tempat tidur. Kakinya terasa hangat di punggung,
dia tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk berfikir sehat, Sambil
terus melumat bibir, ujung jari tangan kanannya beralih mengelus pahaku
naik pelan ke arah pangkal paha, kepalang tanggung tubuh bagian bawahku
tidak tertutup apa-apa, membuat dada ini makin berdegup dan serasa
darahku mendesir, membuatku kembali merintih-rintih nikmat, "Ahh..,
ahh.., uhh", sebelum mencapai pangkal paha jarinya bergerak turun lagi,
karena geli aku kembali merintih.
Tanpa menyentuh vaginaku yang mulai basah karena birahiku mulai
bangkit, tangan kanan Om Benny terus naik dan meremas-remas lembut
tetekku yang masih tertutup handuk, "Ahh.., Omm.., ahh.., Uhh", aku
semakin merintih rintih nikmat, perlahan tangan Benny mulai membuka
handuk dari atas dadaku dan tanpa malu lagi kubiarkan hingga terbuka,
tetekku menyembul diantara handuk yang tersingkap tanpa ada perlawanan
sedikitpun.
Kurasakan udara hangat di telinga, "Kamu benar-benar gadis yang
cantik, dan telah tumbuh dewasa Des, tubuhmu begitu indah", gumamnya
lirih, membuat tubuhku makin bergetar dan nafasnya sesak menahan
gejolak di dada mendengar pujian itu, kemudian Om Benny menarik kakinya
dan merebahkanku di tempat tidur, Akupun mulai merasa sayang untuk
menolak, "..ahh", aku mendesah kecil tanpa disadari.
Om Benny kelihatannya tahu gejolak birahiku semakin membara.
Tangannya mengusap lembut dari telinga turun ke leher, mengusap lembut
buah dadanya yang terbuka dan sebaliknya beberapa kali. Aku merasa
terbuai seakan anganku melambung, aku kembali pasrah saja saat Om Benny
mengulum bibir dengan lembut dan hangat, ada perasaan di hati untuk
terus menikmati belaian belaian lembut itu. "Ja.. jangan Om.., ahh",
kedua tanganku serasa lumpuh dan tidak berusaha menahan tangan Om Benny
yang kemudian merenggut handuk itu serta melemparnya ke sisi ranjang,
sekilas kulihat mata Om Benny menyapu ke seluruh tubuh bugilku.
Aku menggelinjang-gelinjang geli dan nikmat saat jemari itu menari
dan mengusap lembut di atas buah dadaku yang mulai berkembang lembut
dan putih, seraya terus berpagutan, perasaan nikmat, geli dan anganku
melambung kembali saat jemari itu mempermainkan puting susu yang masih
kecil dan kemerahan itu. "Omm.., aahh.., uuhh.., ahh", birahiku makin
memuncak, "..ngghh..", vaginaku semakin basah. Tanpa sadar kepalanya
makin kudekap.
Perasaannya melambung kembali ketika dirasakan buah dadaku kembali
di cium, dijilati dan diisap lembut. "Uuuhh" sehingga dia makin
mendekap kepala Om Benny, vaginaku makin basah, dan membuatnya semakin
memuncak. "Om.., ahh, terus.., ahh.., sst.., Uhh", Aku terus merintih
rintih nikmat, semetara Om Benny terus memainkan buah dadaku.
"Omm.., Aahh", Om Benny tidak mempedulikan rintihanku, bahkan mulai
membuka celana dalamnya sendiri. Aku melihat sesuatu menonjol keluar,
aku kaget, malu, tapi ingin tahu, "..aahh". Aku makin terpana ketika
melihat tubuh bugilnya. Burung itu berdiri dengan tegak dan gagah dan
panjang, bentuknya sungguh menawan dengan ujung bulat dan bersih.
Melihat burung itu dadaku bagai diketuk-ketuk dengan palu.
Aku mulai merapatkan kaki, ada perasaan risih sesaat kemudian
hilang berganti dengan nafsu yang kembali melambung. "Ahh..", dia diam
saja saat dia kembali mengulum bibir dan nafasku seperti sesak menahan
gejolak birahi, saat tanganku dibimbing ke bawah, di antara pangkal
paha laki-laki itu, aku hanya menurut saja karena tidak kuasa menolak,
kurasakannya sesuatu yang keras bulat, hangat dan panjang, Aku sempat
sejenak mengelus-elus benda itu karena keingintahuanku, tapi kemudian
perasaan malu muncul, kaget.
Tapi, "Aahh" aku tak sempat berfikir lain, Om Benny tidak memberi
kesempatan sedikitpun padaku, ketika puting tetekku yang mungil mulai
berdiri tegak dan mengencang dihisap kecil dan dilumat, vaginaku terasa
makin geli dan makin basah, dan membuat birahiku memuncak. "Ahh..,
ahh.., teruus.., ahh.., ohh", sambil terus memainkan putingku, tangan
Om Benny terus menari naik turun antara lutut paha sampai pangkal paha
yang putih mulus, tanpa sadar karena kenikmatan pangkal pahaku mulai
membuka kembali perlahan, dia mengusap-usap lembut di bawah pusar yang
mulai ditumbuhi rambut, pangkal paha, dan pantat. "Truuss.., aahh..,
Uuuhh", karena kegelian yang nikmat aku mulai membuka paha makin lebar,
jari Om Benny yang nakal mulai menyusup dan mengelus bibir vaginaku,
birahiku memuncak sampai kepala "Om nikmat.., ahh.., terus ahh.., Ohh".
Aku menggelinjang dan berahiku makin membara serasa melayang. "Ahh..,
teruuss.., Ooohh".
Om menempatkan kakinya di antara kedua pahaku perlahan dan aku
sudah tidak peduli lagi akibat kepala ini dipenuhi gejolak birahi,
bahkan sesekali aku mengangkat pantat mengimbangi elusan lembut di
bibir vagina yang basah. "Om.., ahh.., terus Om, ahh.., Uhh".
Vaginaku yang basah terasa geli dan gatal yang nikmat sampai ujung
kepala. Aku kagum melihat burung itu berdiri tegak dengan gagahnya,
sedangkan vaginaku semakin geli dan gatal, aku tidak peduli lagi apa
yang akan terjadi dengan keperawananku, aku telentang dan mulai mulai
membuka lebar-lebar pahaku.
Aku makin tertegun saat Om Benny berada di atasku dengan burung
yang tegak berdiri. Sambil bertumpu pada lutut dan sikunya, bibir Benny
melumat, mencium, dan kadang menggigit kecil menjelajahi seluruh tubuh
yang sensitif. Kuluman di puting yang disertai dengan gesekan-gesekan
ujung burung ke bibir vagina tampaknya dilakukan dengan hati-hati,
makin membasah membuat nikmat tersendiri. "Omm.., ahh.., terus ssts..,
ahh.., uhh", aku makin memuncak sampai kepala terasa kesemutan,
kupegang burungnya. "Ahh.." terasa hangat dan kencang. Vaginaku semakin
basah geli dan gatal yang nikmat sampai ujung kepala, "aahh".
Aku tak tahan lagi, kubimbing dan kuusap-usapkan ujung burung itu
ke lubang vaginaku, aku menginginkan burung itu masuk ke lubang dan
merojok vaginaku yang sudah terasa sangat geli dan gatal, "Uhh..,
aahh", sambil merintih rintih. Dan dia mulai memainkan ujung burungnya
sampai menyenggol-nyenggol selaput daraku. "Ooohh masukkan aahh".
Setelah beberapa saat, dengan hati-hati dan pelan-pelan ujung
burung yang keras, hangat tapi lembut itu mulai masuk dan menembus
selaput daraku, hatiku berdesir, "aahh", aku mengejang saat selaput
dara itu robek ditembus benda yang besar dan keras itu, tidak sakit,
mungkin karena birahiku telah memuncak, bahkan nikmat, burungnya terasa
terus masuk perlahan sampai setengahnya, ditarik pelan-pelan dengan
hati-hati. "Ahh..", terasa asing tapi menyenangkan.
Om Benny tidak mau terburu-buru karena dia tidak menginginkan
lubang vagina yang masih agak seret itu menjadi sakit karena belum
terbiasa dan belum elastis, burungnya masuk lagi setengah, "Ahh..,
Ohh..", kali ini aku benar-benar melambung, aku hanya merasakan nikmat
kegelian yang memuncak saat kurasakan burung itu keluar masuk merojok
vagina, dan aku mulai menggelinjang, mengimbangi gerakan-gerakan Om
Benny sambil mendekap pinggang, pangkal pahanya kubuka lebar-lebar.
"Omm.., ahh.., terus.., ahh.., Uhh", burungnya terus menghunjam semakin
dalam dan leluasa. Ditarik lagi, "Aahh.." dan masuk lagi, lubang vagina
itu makin lama makin mengembang, hingga burung itu masuk sampai
mencapai pangkalnya beberapa kali.
Aku merasakan nikmat yang memuncak di kepala, perasaan melayang di
awan-awan, semakin lama aku menahan gejolak birahi, tubuhku semakin
bergetar-getar dan makin mengejang, dan sampai tak dapat tertahankan
lagi, "aahh.., oohh.., uuhh", vaginaku berdenyut-denyut melepas nikmat,
perasaan ini serasa lega dan tersirat rasa senang, dan tubuhku lemas,
karena telah mencapai puncak orgasme. Ada perasaan bangga yang
menyelimuti dirinya.
Om Benny kini semakin cepat merojok keluar masuk lubang vaginaku,
"Ahh.., terus ahh..", aku kembali merasakan nikmat yang memuncak.
Badanku kembali bergetar dan mengejang, begitu juga dengan Om Benny.
"Ahh.., Ooohh.., Ohh.., aahh!", terasa sesuatu menyembur hangat ke
dalam vagina yang masih berdenyut nikmat.
Om Benny mengeluarkan burungnya yang terpercik darah perawanku dan
cairan bening, dia berbaring di sebelahku, memeluk dan mengusap kepala,
aku merasa impianku jadi kenyataan, merasa aman dan nyaman, tidak ada
perasaan menyesal kehilangan keperawanan, apalah gunanya keperawanan
dibandingkan kenikmatan yang diberikan Om Benny barusan dan aku tidak
ingin merusak keluarganya yang harmonis, aku cukup puas bila Om Benny
tetap memperhatikanku. Aku tidak mau menuntut tanggung jawab, karena
semua kulakukan dengan rela. Kemudian dia tersenyum puas dan aku
merebahkan kepala di atas dada laki-laki yang telah memberi kenikmatan
sampai aku tertidur pulas.
Sejak saat itu aku menjadi semakin ketagihan, kami selalu
meluangkan waktu, baik di rumah atau di penginapan sepulang sekolah,
tanpa setahu Tante Tina tentunya.