Ayahku sudah sekitar 3 tahun meninggal dunia,
meninggalkan ibu dan anak-anak, aku dan adikku Charles yang masih
kecil. Kini Charles sudah duduk di kelas 8 SD sedang aku sudah tamat
SMU, mulai kuliah di Akademi Pariwisata dan Perhotelan. Meski mendapat
dana pensiun tetapi amat kecil jumlahnya. Maklum, ayahku hanya pegawai
kecil di Pemda KMS. Untuk menyambung hidup dan membiayai sekolahku dan
Charles, ibuku terpaksa membuka toko jamu di samping rumah. Lumayan,
sebab selain jualan jamu ibu juga menjual rokok, permen, alat-alat
tulis, pakaian anak-anak dan sebagainya. Tentu saja, aku membantu ibu
dengan sekuat tenaga. Siapa lagi yang bisa membantu beliau selain aku?
Charles masih terlalu kecil untuk bisa membantu dan mengerti
tentang kesulitan hidup. Meski usia ibu sudah berkepala empat tetapi
masih cantik dan bentuk tubuhnya masih bahenol dan menarik. Maklum ibu
memang suka memelihara tubuhnya dengan jamu Jawa. Selain itu, sejak
muda ibu memang cantik. Ibuku blasteran, ayahnya belanda dan Ibu Sunda.
Ayahku sendiri dari suku Ambon tetapi kelahiran Banyumas. Ia lebih Jawa
ketimbang Ambon, meski namanya Ambon. Selama hidup sampai meninggal
ayah bahkan belum pernah melihat Ambon.
Ayah meninggal karena kecelakaan bus ketika bertugas di Jakarta.
Bus yang ditumpanginya ngebut dan nabrak truk tangki yang memuat bahan
bakar bensin. Truk dan bus sama-sama terbakar dan tak ada seorang
penumpangpun yang selamat termasuk ayahku.
Sejak itu, ibuku menjanda sampai tiga tahun lamanya. Baru setahun
yang lalu diam-diam ibu pacaran dengan duda tanpa anak, teman sekantor
ayahku dulu. Namanya Sutoyo, usianya sama dengan ibuku, 42 tahun.
Sebenarnya aku sudah curiga, sebab Pak Toyo (aku memanggil-nya "Pak"
karena teman ayahku) yang rumahnya jauh sering datang minum jamu dan
ngobrol dengan ibuku. Lama-lama mereka jadi akrab dan lebih banyak
ngobrolnya daripada minum jamu. Kecurigaanku terbukti ketika pada suatu
hari. ibu memanggilku dan diajaknya bicara secara khusus.
"Begini Cyn", kata ibu waktu itu.
"Ayahmu kan sudah tiga tahun meninggalkan kita, sehingga ibu sudah cukup lama menjanda."
Aku langsung bisa menebak apa yang akan dikatakan ibu selanjutnya.
Aku sudah cukup dewasa untuk mengetahui betapa sepinya ibu ditinggal
ayah. Ibu masih muda dan cantik, tentunya ia butuh seseorang untuk
mendampinginya, melanjutkan kehidupan. Aku sadar sebab aku juga wanita
meski belum pernah menikah.
"Ibu tak bisa terus menerus hidup sendiri. Ibu butuh seseorang
untuk mendampingi ibu dan merawat kalian berdua, kamu dan adikmu masih
butuh perlindungan, masih butuh kasih sayang dan tentu saja butuh biaya
untuk melanjutkan studi, kalian demi ibu sudi menikah kembali dengan
Pak Toyo dengan harapan masa depan kalian lebih terjamin.
Kamu mengerti?" begitu kata ibu.
"Ibu mau menikah dengan Pak Toyo?" aku langsung saja memotongnya.
"Tidak apa-apa kok Bu, Pak Toyo kan orang baik, duda lagi. Apalagi dia kan bekas teman ayah dulu!".
"Rupanya kamu sudah cukup dewasa untuk bisa membaca segala sesuatu
yang terjadi sekelilingmu, Cyn", ibu tersenyum. "Kamu benar-benar mirip
ayahmu."
Tak berapa lama kemudian ibu menikah dengan Pak Toyo dengan sangat
sederhana dan hanya dihadiri oleh kerabat dekat. Sesudah itu ibu
diboyong ke rumah Pak Toyo, dan rumah kami, kios dan segala isinya
menjadi tanggung jawabku. Ibu datang pagi hari setelah kios aku buka
dan pulang sore hari dijemput Pak Toyo sepulangnya dari kantor.
Kehidupan kami bahagia dan biasa-biasa saja sampai pada suatu hari,
sekitar empat bulan setelah ibu menikah, suatu tragedi di rumah tangga
terjadi tanpa setahu ibuku. Aku memang sengaja diam dan tidak
membicarakan peristiwa itu kepada ibuku, aku tidak ingin melukai
perasaannya. Aku terlalu sayang pada ibu dan biarlah kutanggung
sendiri.
Kejadian itu bermula ketika aku sedang berada di rumah ibuku (rumah
Pak Toyo) mengambil beberapa barang dagangan atas suruhan ibu. Hal
tersebut biasa kulakukan apabila aku sedang tidak kuliah. Bahkan aku
juga sering tidur di rumah ibuku bersama adik. Tak jarang sehari penuh
aku berada di rumah ibu saat ibu berada di rumah kami menjaga kios
jamu.
Kadangkala aku memang butuh ketenangan belajar ketika sedang
menghadapi ujian semester. Rumah ibu Sepi di siang hari sebab Pak Toyo
bekerja dan ibu menjaga kios, sementara di rumah itu tidak ada
pembantu. Siang itu ibu menyuruhku mengambil beberapa barang di rumah
Pak Toyo karena persediaan di kios habis. Ibu memberiku kunci agar aku
bisa masuk rumah dengan leluasa. Tetapi ketika aku datang ternyata
rumah tidak dikunci sebab Pak Toyo ada di rumah. Aku sedikit heran,
kenapa Pak Toyo pulang kantor begitu awal, apakah sakit?
"Lho, Bapak kok sudah pulang?" tanyaku dengan sedikit heran. "Sakit ya Pak?".
"Ah tidak", jawab Pak Toyo." Ada beberapa surat ketinggalan. kamu sendiri kenapa kemari? Disuruh ibumu ya?".
"Iya Pak, ambil beberapa barang dagangan", jawabku biasa-biasa
saja. Seperti biasa aku terus saja nyelonong masuk ke ruang dalam untuk
mengambil barang yang kuperlukan.
Tak kusangka, Pak Toyo mengikutiku dari belakang. Ketika aku sudah
mengambil barang dan hendak berbalik, Pak Toyo berdiri begitu dekat
dengan diriku sehingga hampir saja kami bertubrukan. Aku kaget dan
lebih kaget lagi ketika tiba-tiba Pak Toyo memeluk pinggangku. Belum
sempat aku protes, Pak Toyo sudah mencium bibirku, dengan lekatnya.
Barang dagangan terjatuh dari tanganku ketika aku berusaha
mendorong tubuh Pak Toyo agar melepaskan tubuhku yang dipeluknya erat
sekali. Tetapi ternyata Pak Toyo sudah kerasukan setan jahanam. Ia sama
sekali tak menghiraukan doronganku dan bahkan semakin mempererat
pelukannya. Aku tak berhasil melepaskan diri. Pak Toyo menekan tubuhku
dengan tubuhnya yang besar dan berat. Aku mau berteriak tetapi
tiba-tiba tangan kanan Pak Toyo menutup mulutku.
"Kalau kamu berteriak, semua tetangga akan berdatangan dan ibumu akan sangat malu", katanya dengan suara serak.
Nafasnya terengah-engah menahan nafsu. "Berteriaklah agar kita semua malu!"
Aku jadi ketakutan dan tak berani berteriak. Rasa takut dan kasihan
kepada ibu membuat aku luluh. Pikirku, bagaimana kalau sampai orang
lain tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang diperbuat suami ibuku
terhadapku.
Belum lagi aku jernih berpikir Pak Toyo menyeretku masuk ke kamar
tidur dan mendorongku sampai jatuh telentang di tempat tidur. Dengan
garangnya Pak Toyo menindih tubuhku dan menciumi wajahku. Sementara
tangannya yang kanan tetap mendekap mulutku, tangan kirinya mengambil
sesuatu dari dalam saku celananya. Benda kecil licin segera dipaksakan
masuk ke dalam mulutku. Benda kecil yang ternyata kapsul lunak itu
pecah di dalam mulut dan terpaksa tertelan. Setelah menelan kapsul itu
mataku jadi berkunang-kunang, kepalaku jadi berat sekali dan anehnya,
gairah seksku timbul secara tiba-tiba. Jantungku berdebar keras sekali
dan aliran darahku terasa amat cepat. Entah bagaimana, aku pasrah saja
dan bahkan begitu mendambakan sentuhan seorang lelaki. Gairah itu
begitu memuncak dan menggebu-gebu itu datang secara tiba-tiba menyerang
seluruh tubuhku.
Samar-samar kulihat wajah Pak Toyo menyeringai di atasku.
Perlahan-lahan ia bangkit dan melepaskan seluruh pakaianku. Kemudian ia
membuka pakaiannya sendiri. Aku tak bisa menolak. Diriku seperti
terbang di awang-awang dan meski tahu apa yang sedang terjadi, tetapi
sama sekali tak ada niat untuk melawan.
Begitu juga ketika Pak Toyo yang sudah tak berpakaian menindih
tubuhku dan menggerayangi seluruh badanku, aku pasrah saja. Bahkan
ketika aku merasakan suatu benda asing memasuki tubuhku, aku tak bisa
berbuat apa-apa. Tak kuasa untuk menolak, karena aku merasakan
kenikmatan luar biasa dari benda asing yang mulai menembus dan
bergerak-gerak di dalam liang kewanitaanku. Kesadaranku entah berada di
mana. Hanya saja aku tahu, apa yang sedang terjadi pada diriku, Aku
telah diperkosa Pak Toyo!
Ketika siuman, kudapati diriku telentang di ranjang Pak Toyo (yang
juga ranjang ibuku) tanpa busana. Pakaianku berserakan di bawah
ranjang. Sprei morat-marit dan kulihat bercak darah di sprel itu. Aku
menangis.., aku sudah tidak perawan lagi! Aku sudah kehi1angan apa yang
paling bernilai dalam hidup seorang wanita. Aku merasa jijik dan kotor.
Aku bangkit dan bagian bawah tubuhku terasa sakit sekali.., nyeri!
Tetapi aku tetap berusaha bangkit dan dengan tertatih-tatih berjalan ke
kamar mandi. Kulihat jam dinding, Wah.., Sudah tiga jam aku berada di
rumah itu. Aku harus segera pulang agar ibu tidak menunggu-nunggu. Aku
segera mandi dan membersihkan diri serta berdandan dengan cepat.
Kuambil barang dagangan yang tercecer di lantai dan segera pulang.
Pak Toyo sudah tidak kelihatan lagi, mungkin sudah kembali ke kantor.
Kubiarkan ranjang morat-marit dan sprei berdarah itu tetap berada di
sana. Aku tak peduli. Hatiku sungguh hancur lebur. Kebencianku kepada
Pak Toyo begitu dalam. Pada suatu saat, aku akan membalasnya.
"Kok lama sekali?" tanya ibu ketika aku datang.
"Bannya kempes Bu, nambal dulu!" jawabku sambil mencoba menutupi
perubahan wajahku yang tentu saja pucat dan malu. Kuletakkan barang
dagangan di meja dan rasanya ingin sekali aku memeluk ibu dan memohon
maaf serta menceritakan apa yang telah dilakukan suaminya kepadaku.
Tetapi hati kecilku melarang. Aku tak ingin membuat ibu sedih dan
kecewa. Aku tak ingin ibuku kehilangan kebahagiaan yang baru saja
didapatnya. Aku tak kuasa membayangkan bagaimana hancurnya hati Ibu
bila mengetahui apa yang telah dilakukan suaminya kepadaku. Biarlah
Untuk sementara kusimpan sendiri kepedihan hati ini.
Dengan alasan hendak ke rumah teman, aku mandi dan membersihkan
diriku (lagi). Di kamar mandi aku menangis sendiri, menggosok seluruh
tubuhku dengan sabun berkali-kali. Jijik rasanya aku terhadap tubuhku
sendiri. Begitu keluar dan kamar mandi aku langsung dandan dan pamit
untuk ke rumah teman. Padahal aku tidak ke rumah siapa-siapa. Aku
larikan motorku keluar kota dan memarkirnya di tambak yang sepi. Aku
duduk menyepi sendiri di sana sambil menguras air mataku.
"Ya Tuhan, ampunilah segala dosa-dosaku" ratapku seorang diri.
Baru sore menjelang magrib aku pulang. Ibu sudah dijemput Pak Toyo
pulang ke rumahnya sehingga aku tak perlu bertemu dengan lelaki bejat
itu. Kios masih buka dan adik yang menjaganya. Ketika aku pulang, aku
yang menggantikan menjaga kios dan adik masuk untuk belajar.
Untuk beberapa hari lamanya aku sengaja tidak ingin bertemu Pak
Toyo. Malu, benci dan takut bercampur aduk dalam hatiku. Aku sengaja
menyibukkan diri di belakang apabila pagi-pagi Pak Toyo datang
mengantar ibu ke kios. Sorenya aku sengaja pergi dengan berbagai alasan
saat Pak Toyo menjemput ibu pulang.
Namun meski aku sudah berusaha untuk terus menghindar, peristiwa
itu toh terulang lagi. Peristiwa kedua itu sengaja diciptakan Pak Toyo
dengan akal liciknya. Ketika sore hari menjemput ibu, Pak Toyo
mengatakan bahwa ia baru saja membeli sebuah sepeda kecil untuk adikku,
Charles. Sepeda itu ada di rumah Pak Toyo dan adik harus diambil nya
sendiri.
Tentu saja adikku amat gembira dan ketika Pak Toyo menyarankan agar
adik tidur di rumahnya, adik setuju dan bahkan ibu dengan senang hati
mendorongnya. Bertiga mereka naik mobil dinas Pak Toyo pulang ke rumah
mereka. Karena tidak ada orang lain di rumah, sebelum Pukul sembilan
kios sudah kututup.
Rupanya, setelah sampai di rumah dan menyerahkan sepeda kecil
kepada adik, Pak Toyo beralasan harus kembali ke kantor karena ada
pekerjaan yang harus diselesaikannya malam itu juga. Ibu tidak curiga
dan sama sekali tidak mengira kelau kepergian suaminya sebenarnya tidak
ke kantor, melainkan kembali ke kios untuk nemperkosaku.
Waktu itu sudah pukul sepuluh malam dan kios sudah lama aku tutup.
Tiba-tiba saja Pak Toyo sudah ada di dalam rumah. Rupanya Ia punya
kunci milik ibu sehinga ia bisa bebas keluar masuk rumah kami. Aku amat
kaget dan ingin mendampratnya, tetapi kembali dengan tenang dan wajah
menyeringai, Pak Toyo mengancamku "Ayo, berteriaklah agar semua
tetangga datang dan tahu apa yang sudah aku lakukan terhadapmu!"
ancamnya serius. "Ayo berteriaklah agar ibumu malu dan seluruh
keluargamu tercoreng!" tambahnya dengan suara serak.
Sekali lagi aku terperangah. Mulutku sudah mau berteriak tetapi
kata-kata Pak Toyo sekali mengusik hatiku. Perasaan takut akan
terdengar tetangga, ketakutan nama ibuku akan menjadi tercoreng,
kecemasan bahwa tetangga akan mengetahui peristiwa perkosaanku, aku
hanya berdiri terpaku memandang wajah penuh nafsu yang siap menerkamku.
Aku tak bisa berpikir jernih tagi. Hanya perasaan takut dan takut yang
terus mendesak naluriku.
Sebelum aku mampu mengambil keputusan apa yang akan kulakukan, Pak
Toyo sudah maju dan mendekap tubuhku. Sekali lagi aku ingin berteriak
tetapi suaraku tersendat di tenggorokan. Entah bagaimana awalnya namun
yang aku tahu lelaki itu sudah menindih tubuhku dengan tanpa busana.
Yang jelas, malam itu aku terpaksa melayani nafsu suami ibuku yang
menggebu-gebu.
Dengan ganas ayah tiriku itu memperlakukan aku seperti pelacur. Ia
memperkosaku berkali-kali tanpa belas kasihan. Dengus nafasnya yang
berat dan tubuhnya yang menindih tubuhku apalagi ketika ada sesuatu
benda keras mulai masuk menyeruak membelah bagian sensitif dan paling
terhormat bagi kewanitaanku membuat aku merintih kesakitan. Aku
benar-benar dijadikannya pemuas nafsu yang benar-benar tak berdaya.
Pak-Toyo kuat sekali. Ia memaksaku berbalik kesana kemari berganti
posisi berkali-kali dan aku terpaksa menurut saja. Hampir dua jam Pak
Toyo menjadikan tubuhku sebagai bulan-bulanan nafsu seksnya. Bukan
main! Begitu ia akan selesai kulihat Pak Toyo mencabut batangannya dari
kemaluanku dengan gerakan cepat ia mengocok-ngocokkan batangannya yang
keras itu dengan sebelah tangannya dan dalam hitungan beberapa detik
kulihat cairan putih kental menyemprot dengan banyak dan derasnya
keluar dari batang kejantanannya, cairan putih kental itu dengan
hangatnya menyemprot membasahi wajah dan tubuhku, ada rasa jijik di
hatiku selain kurasakan amis dan asin yang kurasakan saat cairan itu
meleleh menuju bibirku, setelah itu ia lunglai dan terkapar di samping
tubuhku, tubuhku sendiri bagai hancur dan tak bertenaga.
Seluruh tubuhku terasa amat sakit, dan air mata bercucunan di
pipiku. Namun terus terang saja, aku juga mencapai orgasme. Sesuatu
yang belum pernah kualami sebelumnya. Entah apa yang membuat ada
sedikit perasaan senang di dalam hatiku. Rasa puas dan kenikmatan yang
sama sekali tak bisa aku pahami. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa
terjadi, tetapi kadangkala aku justru rindu dengan perlakuan Pak Toyo
terhadapku itu. Aku sudah berusaha berkali-kali menepis perasaan itu,
tetapi selalu saja muncul di benakku. Bahkan kadangkala aku
menginginkan lagi dan lagi! Gila bukan?
Dan memang, ketika pada suatu sore ibu sedang pergi ke luar kota
dan Pak Toyo mandatangiku lagi, aku tak menolaknya. Ketika ia sudah
berada di atas tubuhku yang telanjang, aku justru menikmati dan
mengimbanginya dengan penuh semangat. Rupanya apa yang dilakukan Pak
Toyo terhadapku telah menjadi semacam candu yang membuatku menjadi
kecanduan dan ketagihan. Aku kini mulai menikmati seluruh permainan dan
gairah yang luar biasa yang tak bisa kuceritakan saat ini dengan
kata-kata.
Pak Toyo begitu bergairah dan menikmati seluruh lekuk-lekuk tubuhku
dengan liarnya, akupun mulai berani mencoba untuk merasakan
bagian-bagian tubuh seorang lelaki, akupun kini mulai berani untuk
balas mencumbui, membelai seluruh bagian tubuhnya dan mulai berani
untuk menjamah batang kejantanan ayah tiriku ini, begitu keras, panjang
dan hangat. Aku menikmati dengan sungguh-sungguh, Luar Biasa!
Pada akhir permainan Pak Toyo terlihat amat puas dan begitu juga
aku. Namun karena malu, aku tak berkata apa-apa ketika Pak Toyo
meninggalkan kamarku. Aku sengaja diam saja, agar tak menunjukkan bahwa
aku juga puas dengan permainan itu. Bagaimanapun juga aku adalah
seorang wanita yeng masih punya rasa malu. Akan tetapi, ketika Pak Toyo
sudah pergi ada rasa sesal di dalam hati. Ada perasaan malu dan takut.
Bagaimanapun Pak Toyo adalah suami ibuku. Pak Toyo telah menikahi ibuku
secara sah sehingga ia menjadi ayah tiriku, pengganti ayah kandungku.
Adalah dosa besar melakukan hubungan tak senonoh antara anak dan
ayah tiri. Haruskah kulanjutkan pertemuan dan hubungan penuh nafsu dan
maksiat ini?
Di saat-saat sepi sediri aku termenung dan memutuskan untuk menjauh
dan Pak Toyo, serta tidak melakukan hubungan gelap itu lagi. Namun di
saat-saat ada kesempatan dan Pak Toyo mendatangiku serta mengajak
"bermain" aku tak pernah kuasa menolaknya. Bahkan kadangkala bila dua
atau tiga hari saja Pak Toyo tidak datang menjengukku, aku merasa
kangen dan ingin sekali merasakan jamahan-jamahan hangat darinya.
Perasaan itulah yang kemudian membuat aku semakin tersesat dan
semakin tergila-gila oleh "permainan" Pak Toyo yang luar biasa hebat.
Dengan penuh kesadaran akhirnya aku menjadi wanita simpanan Pak Toyo di
luar pengetahuan ibuku.
Sampai sekarang rahasia kami masih tertutup rapat dan pertemuan
kami sudah tidak terjadi di rumah lagi, tetapi lebih banyak di losmen,
hotel-hotel kecil dan di tempat-tempat peristirahatan. Yah, disana aku
dan Pak Toyo bisa bermain cinta dengan penuh rasa sensasi yang tinggi
dan tidak kuatir akan kepergok oleh ibuku, kini aku dan ayah tiriku
sudah seperti menjadi suami istri.
Untuk mencegah hal-hal yang sangat mungkin terjadi, dalam melakukan
hubungan seks Pak Toyo selalu memakai kondom dan aku pun rajin minum
jamu terlambat bulan. Semua itu tentu saja di luar sepengetahuan ibu.
Aku memang puas dan bahagia dalam soal pemenuhan kebutuhan biologis,
tetapi sebenarnya jauh di dalam lubuk hati-aku sungguh terguncang.
Bagaimana tidak? Aku telah merebut suami ibuku sendiri dan 'memakannya'
secara bergantian.
Kadangkala aku juga merasa kasihan kepada ibu yang sangat
mencintaiku. Kalau saja sampai ibu tahu hubungan gelapku dengan Pak
Toyo, Ibu pasti akan sedih sekali. Hatinya bakal hancur dan jiwanya
tercabik-cabik. Bagaimana mungkin anak yang amat disayanginya bisa
tidur dengan suaminya? Sampai kapan aku akan menjalani hidup yang tak
senonoh dan penuh dengan maksiat ini?
Entahlah, sekarang ini aku masih kuliah. Mungkin bila nanti sudah
lulus dan jadi sarjana aku bisa keluar dan lingkugan rumah dan bekerja
di kota lain. Saat ini mungkin aku belum punya kekuatan untuk pergi,
tetapi suatu saat nanti aku pasti akan pergi jauh dan mencari lelaki
yang benar-benar sesuai dan dapat kuandalkan sebagai suami yang baik,
dan tentunya kuharapkan lebih perkasa dari yang kudapatkan dan
kurasakan sekarang.
Mungkin dengan cara itu aku bisa melupakan Pak Toyo dan melupakan peristiwa-peristiwa yang sangat memalukan itu.