Krisis moneter rupanya telah meluluh lantakkan ekonomi bangsa. Semua orang tahu hal itu. Tetapi yang paling menderita adalah rakyat kecil. Hal ini juga menimpa keluargaku. Sebelum krismon, suamiku adalah seorang pengawas bangunan pada suatu perusahaan kontraktor. Tetapi begitu badai krismon mengamuk, robohlah seluruh bangunan ekonomi rumah tanggaku. Kenapa? Karena kontraktor terbelit dengan hutang yang menggunung. Bank relasinya ambruk terkena likuiditas. Akibatnya kami sekeluarga harus pulang, meninggalkan rumah kontrakan perusahaan. Pulang ke desa, itulah keputusan yang tidak dapat dihindari. Anak-anak terpaksa berhenti sekolah. Untuk makan sehari-hari, suami terpaksa jadi tukang batu untuk pembangunan kecil-kecilan, suatu pekerjaan yang kurang pas bagi seorang lulusan politeknik jurusan teknik sipil. Tapi semuanya tidak penting kecuali satu; bagaimana perut orang serumah tetap terisi setiap hari.
Sehingga ketika Pak Sumardi, "orang sukses" di Jakarta pulang ke desa kami, dan menawarkan kepadaku untuk dikirim sebagai TKW, suamiku menyetujuinya. Namun aku pribadi sebenarnya agak berat meninggalkan suami dan dua anakku yang masih kecil-kecil. Satu di SD kelas satu dan kakaknya SD kelas dua. Tapi kerja apalah yang dapat diperoleh seorang jebolan akademi sekretaris dan manajemen semester ketiga seperti aku. Pernah memang, suatu hari, seorang menawariku bekerja di panti pijat dengan gaji pokok pertama Rp. 600.000 per bulan (30 hari kerja per bulan), belum terhitung bonus dari perusahaan dan tips dari tamu. Barangkali postur tubuhku yang semampai, wajah yang cukup cantik (suamiku juga cakep loh) dianggap cukup dapat menarik para hidung belang. Kulitku yang putih, membungkus otot-otot tubuh yang sintal dan gempal berisi, diyakini dapat menggaet langganan panti pijat lebih banyak. Belum lagi buah dadaku; berbentuk kerucut dengan konsistensi yang masih kencang (di saat aku bersanggama buah dada ini selalu menjadi mainan suami), tentu akan menyenangkan kalau giliran si pemijat yang justru ganti dipijati oleh tamunya.
Tentu yang dipijat bukan hanya kaki dan tangan, tetapi buah dada, vulva, dan yang lain-lainnya. Diajak gulat di atas tempat tidur? Pasti aku akan reaktif dan agresif berkat senam aerobik yang kulakukan setiap pagi sewaktu masih tinggal di rumah kontrakan. Sudahlah, semua orang tahu sendiri kelanjutan lakon ini. Belum cukup dapat menggambarkan profilku? Lihat saja artis Meriam Bellina (maaf kalau aku jadikan bandingan), itu artis yang tiap malam minum kapsul yang bikin suaminya terangsang secara "luar biasa". Kalau diprosentasi profil aku kira-kira 80% mirip artis yang tetap sintal dan cantik itu. Cuma kalau soal buah dada, aku yakin masih montok punyaku. Namun semua orang pasti tahu, menjadi tukang pijat di malam hari dari jam 18:00 sampai 24:00 pada hakikatnya adalah menjadi pelacur terselubung. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menakut-nakuti atau menghalangi mereka yang ingin menjadi TKW di luar negeri. Tidak sama sekali. Aku sekedar ingin menceriterakan pengalamanku, yang semoga tidak akan pernah dialami oleh orang lain, kecuali aku. Biarlah hal itu menjadi catatan kenangan hidupku sendiri. Baiklah kumulai saja.
Pengalaman menjadi TKW, "dipaksa melayani bandot tengik". Setelah dua minggu aku berada di rumah Pakde Mardi, akhirnya semua urusan selesai. Hari Sabtu jam 18:30 aku akan diberangkatkan ke Philipina sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Aku tidak tahu bagaimana liku-liku pengurusan visa, ijin kerja dan "tetek-bengek" lain yang kabarnya ruwet tersebut. Yang aku tahu, aku memberi Pakde Mardi uang sebanyak Rp 300.000, katanya untuk membayar biaya paspor dan lain-lainnya. Biaya pesawat, pemondokan dan sebagainya akan dibayar dulu oleh pihak PT pengerah jasa tenaga kerja dan akan aku bayar secara mencicil dari potongan gaji kelak setelah mulai kerja. Pakde Mardi mengatakan bahwa hari Sabtu aku akan berangkat dari rumah pada pagi jam 10:00, karena Pakde mau mengantarkanku putar-putar dulu keliling Jakarta. Setelah berpamitan dengan seisi rumah, Bude Mardi, anaknya, dan lain-lainya. Aku berangkat dengan mobil yang disetir sendiri oleh Pakde. Aku duduk di samping Pakde di depan. Dari rumah rupanya aku tidak terus dibawa ke Bandara Sukarno-Hatta (apalagi waktu berangkat pesawatnya masih 8 jam lagi).
Aku diajak turun waktu mobil diberhentikan di halaman parkir Mall Mangga Dua.
"Min, ayo turun dulu, Pakde mau belikan kamu sedikit bekal."
"Ah, sudah Pakde, tidak usah repot-repot, Pakde saja silakan, aku nunggu di mobil saja."
Tetapi Pakde dengan isyarat tangan yang siap menuntun berkata, "Ayo, manut aku, jangan menolak." Terpaksa aku ikut turun. Selama di pasar aku digandeng diajak berputar-putar mengitari hampir seluruh bangunan pasar. Mula-mula aku diajak ke los penjual bahan pakaian jadi, di situ aku dibelikan rok warna merah yang bagus, harganya sekitar Rp 250 ribu, suatu harga yang bagi aku sebagai orang yang sedang prihatin, sangat mahal. Kecuali itu aku juga dibelikan arloji wanita, seharga Rp 200 ribu. Tentunya aku menolak waktu barang-barang dibeli itu akan diperuntukkan untukku, tetapi rasanya aku tidak berdaya, apalagi barang tersebut setelah dimasukkan tas, aku juga yang harus membawa. Dan terakhir, aku diajak makan direstoran yang cukup mewah dengan aneka macam hidangan baik makanan Indonesia maupun internasional (masakan China, Korea dan sebagainya).
Pembaca tahu apa yang aku makan; nasi soto ayam, itu saja. Habis, bagaimana aku dapat makan hidangan yang lebih dari itu. Bukan soal bahwa nantinya Pakde yang akan membayar, tetapi karena rasa sependeritaan dengan suami dan anak-anak aku yang tiap hari hanya makan nasi dengan garam saja. Ora kolu, istilahnya dalam bahasa Jawa (rasa tidak mampu menelan). Kira-kira jam satu siang, aku keluar dari mall. Kembali Pakde menyetir, dan aku duduk di sampingnya. Baru kurang lebih setengah jam mobil berjalan, Pakde berkata,
"Min, kowe ninggali aku, yoo..?"
aku terkejut.
"Ninggali menopo Pakde..?" (memberi tinggalan apa).
"Ya, ini kalau kamu mau ya.. Min, Pakde ingin menidurimu."
"Blaarr.." rasanya sebuah petir keras sekali menyambar kepalaku. Benarkah yang tadi aku dengar? Sambil berdebar, aku memberanikan diri untuk bertanya,
"Maksud Pakde bagaimana?"
"Yaa itu tadi, aku ingin menidurimu, sebentar saja."
(Mooddiaar.. awak mami, teriak batinku. Tidak salah yang aku dengar tadi). Dunia sekitar rasanya jadi gelap. Sungguh, siapa akan menyangka bahwa Pakde yang tadinya kukenal sebagai orangtua, yang dua bulan lalu datang ke desaku mengajakku berangkat sebagai TKW ini adalah "BANDOT TENGIK" yang akan mencicipi tubuhku. Siapa akan menduga bahwa orangtua yang di depan isteri dan anaknya terkesan alim ini adalah "HIDUNG BELANG" yang bernafsu binatang. Siapa yang akan curiga bahwa "BAJINGAN BUSUK" ini akan membeli tubuhku dengan hadiah yang dibeli di Mall Mangga Dua tadi.
Rasanya aku ingin berteriak keras-keras biar semua orang di jalan itu mendengar. Tapi tidak bisa. Suaraku tidak keluar. Sebaliknya aku cuma menunduk, menangis "nggu-guk" (tersedu-sedu) dengan rintihan lirih, dan air mata yang mulai mengucur deras. Aku tidak tahu dimana pikiranku dan bagaimana harus menjawabnya, sampai ketika Pakde menyapaku,
"Gimana Min, mau ya Min, sebentar saja.. nggak apa-apa, tidak sakit kok..?"
Huwaah, maling edan tenan, teriak hatiku. Bukan masalah tidak sakit, tapi ini kan tubuh manusia, bukan manekin atau boneka, kurang ajar benar "Bandot" ini, pikirku. Aku jadi bingung, mau menjawab iya, jelas aku akan dipompa, digenjot dan dienjot-enjot seperti mainan enjot-enjotan atau ditunggangi seperti kuda balap yang dikendalikan oleh joki "Bajingan Tengik" ini. Dengan berpegangan buah dadaku, pasti dia akan memperlakukanku seperti kuda balap yang membawanya ke surga kenikmatan, sementara aku terhantar ke neraka laknat. Dia pasti akan menciumi seluruh tubuhku, menjilati pahaku yang putih, dan mengecupi serta meremas-remas buah dadaku yang masih kencang. Dia juga akan mendekap, melahap, mengguling-gulingkan tubuhku, juga mengocok dan memompa kemaluanku sampai ludes, habis-habisan, menyentorkan air mani sebanyak-banyaknya ke liang kemaluanku seperti tukang bensin mengisikan bensin ke tangki mobil.
Tetapi.. kalau aku menolak.. kalau aku tidak mau.. bagaimana nasibku. Ibaratnya, aku ini, dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun sudah berada ditangan "Bandot" ini. Atau ibarat orang berada di tepi jurang dengan tebing tinggi; aku tinggal pilih, di dorong, jatuh dan mati karena terhempas di dasar jurang, atau kupegang tangan "Bandot" ini untuk minta diselamatkan. Sungguh suatu pilihan yang rumit. Kalau aku menolak bagaimana kalau dia meminta kembali biaya pembelian tiket dan lain-lain yang telah dikeluarkannya. Bagaimana kalau aku tidak (dan pasti tidak mungkin) mampu membayar semua itu, lalu aku dijual ke seorang konglomerat hidung belang yang sanggup membeli tubuh dan berikut kemaluanku berapa saja harganya. Aku tambah bingung dan tercenung. "Mau ya Min, tokh.. hanya sebentar saja." Aku tidak menjawab kecuali tangisku yang tambah "ngguguk", disertai keluarnya air mata yang tambah deras. Tetapi "Badot" ini menangkap ke-"diaman"-ku ini sebagai peng-"iya"-an. Bukankah diam tanda setuju. Ini aku ketahui karena mobil mulai berjalan pelan sedikit menepi mencari sesuatu. Sesuatu itu adalah Hotel. Benar juga. Mobil berhenti di depan suatu hotel yang tidak terlalu besar.
"Bandot" itu keluar dulu menuju ke meja resepsionis, dan membayar biaya kamar. Aku merasa seperti seorang pesakitan yang akan dihukum mati karena telah melakukan kejahatan luar biasa. Aku turun dari mobil. Dengan digandeng, aku menuju kamar hotel yang telah dipesan "Bandot Tengik" ini. Siang itu suasana hotel terlihat sepi, tidak terlihat lalu lalangnya tamu. Sampai di depan kamar Pak "Bandot" segera membuka kamar. Tetapi aku tidak segera menyusul. Aku terhenti di depan kamar. Kakiku terasa kaku, badan dingin semua. Jantung berdebar, sementara nafas rasanya mau berhenti. Sungguh aku jadi sangat takut sekali. Serasa mau dimasukkan kamar dengan kursi listrik untuk menghukum penjahat kaliber kakap. Tanpa terasa, kencingku mulai keluar membasahi kaki. Melihat aku tidak juga masuk kamar, "Bandot" itu keluar, memegang lenganku dan menariknya masuk ke kamar. Kini aku berada dibelakang pintu, namun tetap saja tangan dan kakiku kaku, seperti orang kedinginan sehabis kehujanan di jalan. Kemudian terdengar bunyi "klik", "Bandot" itu mengunci kamar. Tapi suara itu di telinga terdengar seperti suara pistol yang dikokang untuk siap ditembakkan.
Bersambung...