Pada pukul 5 sore dia baru sampai kembali ke rumah. Anneke bercerita bahwa wawancaranya telah selesai dan dia telah dinyatakan lulus. Dia sangat gembira hingga aku diciumnya dengan meraih kepalaku erat-erat. Aku terkejut karena Anneke menciumku persis di bibirku, tetapi aku kembali ragu untuk meresponsnya lebih jauh hingga aku agak menyesal. Dia bukannya sekedar membawa buah-buahan. Dia bahkan berbelanja karena menurutnya, ini adalah untuk merayakan kegembiraannya atas wawancara yang sukses tadi. Aku ikut bergembira dengan kesuksesannya. "Mbak saya pengin masak steak kesukaan Mbak. Ajarin, ya". Dia sangat terampil di dapur. Hanya dalam waktu 20 menit masakannya telah siap. Kami berpesta kecil. Setelah makan, lampu ruang makan kumatikan dengan alasan agar hemat listrik.
Kami kemudian duduk di ruang tamu. Sebenarnya ada maksud lain soal lampu yang kumatikan tadi. Aku sengaja mematikannya agar ruang makan yang kebetulan dekat kamar mandi itu menjadi gelap. Anneke belum mandi, demikian juga aku berlagak belum mandi. Sehabis masak kami kegerahan hingga keringat mengucur dari tubuh kami. Dengan ruang makan yang gelap, siapapun yang mengintip kamar mandi tidak akan tampak dari dalam. Sementara kamar mandinya sendiri pasti akan terang selama digunakan. Aku sudah memiliki skenario baru untuk acara pengintipan kali ini. Aku jadi geli sendiri saat memikirkannya.
Aku merasa bahwa dalam 2 hari terakhir ini, antara aku dan Anneke telah sering saling memperhatikan. Kulihat Anneke sering melirikku dengan ekor matanya. Biasanya kalau sudah begitu, kudengar dia menarik nafas panjang dan aku sendiri sulit untuk berlagak acuh saat menghadapi hal seperti itu. Aku juga sering mencuri pandang padanya saat dia sedang duduk santai dengan hanya memakai pants-nya. Saat kakinya sedang mengangkang tanpa disadarinya, atau saat sedang menyilangkan kakinya. Aku suka sekali pada kakinya yang sensual itu hingga aku sering membayangkan mengulum jempol, jari-jari maupun betisnya. Terkadang dia menggunakan blus yang menggantung hingga menampakkan pusarnya. Sulit bagiku untuk tidak menikmati keindahan pusar seksi itu.
"Mbak atau saya yang mandi dulu?". Anneke menyadarkan lamunanku. Dari nadanya, tampaknya dia mengingatkanku untuk lebih dulu mandi. Aku menggeliatkan tubuh sambil berdiri mengambil handuk dan langsung ke kamar mandi. Peralatan untuk mendukung skenarioku telah kuletakkan di sana. Kunyalakan lampu kamar mandi dan kututup pintunya kemudian bernyanyi kecil. Kali ini karena lampu di luar kamar mandi telah kumatikan, ruangan yang biasanya merupakan tempat Anneke mengintip menjadi gelap hingga agak sulit untuk melihat bayangan kakinya di celah bawah pintu. Tetapi aku yakin bahwa Anneke pasti telah berada di sana. Kembali aku melakukan ritual rutin sebagaimana orang akan mandi. Pakaian kubuka satu persatu dengan santai. Setiap kali selembar pakaian lepas dari tubuhku, terlebih dulu kucium, mengesankannya untuk mengetahui apakah pakaian itu sudah kotor atau masih bersih. Kemudian kusampirkan ke paku-paku gantungan pakaian di balik pintu.
Saat aku melepas celana dalamku, celana dalam kotor itu kugunakan untuk menyapu celah dan bibir vaginaku. Kukesankan melalui gerakanku bahwa ada kotoran yang membuat kemaluanku gatal. Dan sebelum kugantung, kuendus aromanyadan kutampakkan wajahku dengan ekspresi menyeringai seakan tidak tahan dengan aromanya. Kuperkirakan dengan melihat adegan yang kuperankan ini, Anneke pasti akan terobsesi. Aku sudah membayangkan betapa tinggi keinginannya untuk menciumi celana dalamku ini nanti. Kembali aku merasa geli membayangkannya.
Sekarang akan kujalankan skenario yang telah kupersiapkan. Skenario ini adalah dildo yang kukesankan seolah dengan sengaja kusembunyikan dalam kamar mandi. Aku membuka dan mengangkat tutup kloset. Dildo tersebut kurekatkan dengan selotip di balik penutup kloset. Kukesankan bahwa itu memang tempat rahasiaku, agar Mas Adit tidak pernah mengetahuinya. Kulepas selotipnya dan kuambil dildo itu. Kemudian kuguyur dan kucuci dengan air. Dildo ini adalah pemberian Indri, terbuat dari silikon bening warna biru yang kenyal, agar saat memegang terasa seperti memegang penis sungguhan. Bentuknya besar dan memanjang, dengan setiap ujungnya persis menyerupai kepala penis, hingga dildoku ini sangat merangsang dan akan membuat "dag dig dug" setiap perempuan yang mendambakan penis super besar. Dildo itu kucium, kemudian kujilat-jilat sepanjang batangnya dan kemudian ujungnya kukulum.
Mulutku maju mundur mengulum batangnya yang erat berada dalam genggamanku. Aku melakukan gerakan seakan sedang memompa penis ke mulutku. Mataku terbuka terpejam merasakan betapa nikmatnya penis ini hingga aku mendesah. Kemudian kubawa dildo itu menyentuh leherku, menyusuri bawah dagu, ke samping rahang dan turun ke jenjang serta lipatan leherku. Kuperlihatkan ekspresiku yang menahan kenikmatan birahi. Terus kualihkan dildo itu ke dadaku. Kutuntun kepalanya menelusuri lekuk-lekuk buah dadaku. Kubenam-benamkan ke putingku. Aku menjerit tertahan sambil menggigit bibirku menahan nikmat. Kepala dildo itu juga kutuntun ke ketiakku untuk kugosok-gosokan di sana. Pandanganku mengarah ke langit-langit sambil mataku berkejap-kejap.
Kubawa dildo tersebut lebih ke bawah lagi, ke perut dan pusarku serta menggosok bulu-bulu kemaluan halusku. Dan lebih ke bawah lagi, kueluskan dildo tersebut ke kanan dan kiri selangkanganku sebelum akhirnya menyentuh vaginaku. Dan saat dildo tersebut mendesak bibir vaginaku, kembali aku menjerit tertahan. Betapa nikmat rasanya saat dildo itu menyentuhi klitorisku. Kutusuk-tusukkan kepala dildo itu ke ambang vaginaku. Kini aku tidak lagi berpura-pura. Aku merasa benar-benar terangsang. Cairan birahiku keluar hingga melicinkan bibir vaginaku. Terjangan kepala dildo itu lama-lama semakin menusuk kemaluanku. Kenikmatan vaginaku tak bisa lagi kupungkiri. Kini aku benar-benar mendesah dan merintih. Kini aku ingin agar kemaluanku melahap dildo itu hingga akhirnya kakiku kuangkat hingga berpijak ke tepi bak mandi. Dengan selangkangan yang terbuka, dildo itu mulai kupompakan secara ritmis dengan disertai desahan dan erangan nikmat yang melandaku.
Belum juga reda nafsu birahiku, kini aku merangkak ke lantai kamar mandi. Aku menungging. Kumasukkan dildo itu ke liang surgaku dari arah belakang. Tangan kananku kembali memompanya. Pantatku kugoyang-goyangkan agar dapat lebih membantu menyongsong pompaan dildo itu. Kini aku benar-benar dilanda nafsu. Aku menginginkan agar orgasmeku lekas hadir. Tangan kananku mempercepat pompaan tersebut. Rasanya aku ingin telentang di lantai. Dengan menyenderkan sebagian kepalaku ke dinding yang menghadap ke arah pintu, aku telentang di lantai dengan paha yang kubuka lebar. Dari arah depan, tanganku kembali memompakan dildo itu ke kemaluanku. Samar-samar kulihat kaki Anneke di celah bawah belakang pintu. Ternyata itu bukan kaki melainkan lututnya. Rupanya Anneke juga telah terhanyut oleh apa yang sedang disaksikannya. Mungkin kini tangannya juga sedang meremasi payudaranya atau mengocok kemaluannya.
Akhirnya dengan posisiku yang telentang di lantai kamar mandi ini, aku meraih orgasme. Aku nyaris tak mampu lagi untuk menahan teriakan karena nikmat yang melandaku. Cairan birahiku muncrat keluar dari vaginaku. Perasaan kelegaan langsung hadir menenangkan gelombang libidoku. Aku mulai menarik nafas panjang. Setengahnya aku merasa geli di hatiku. Permainanku ternyata seperti senjata makan tuan. Aku sendirilah yang setengah mati dikejar nafsu birahiku. Pelan-pelan aku berdiri. Kuletakkan kembali dildoku di atas kloset. Dan kemudian aku mandi. Sebelum keluar, kukembalikan dildoku ke bawah tutup kloset dan kurekatkan kembali selotipnya.
Aku berusaha agar tampak biasa-biasa saja. Tak kulihat Anneke, mungkin sedang berada di kamarnya. Aku menuju ke kamarku sendiri kemudian menyisir rambut dan mengenakan daster malam. Saat keluar, kulihat pintu kamar mandi sudah tertutup kembali. Kini adalah giliran Anneke untuk mandi. Sebenarnya aku tidak begitu berminat lagi untuk mengintip Anneke karena gejolak birahiku sudah mereda. Tetapi toh, aku ingin juga melihat apa sebenarnya yang dilakukan oleh Anneke di kamar mandi sekarang ini.
Aku berjingkat mengintip. Kulihat dia tinggal mengenakan BH dan celana dalamnya. Kemudian kulihat Anneke memerosotkan setengah celana dalamnya kemudian berjongkok ke lantai untuk pipis. Kuperhatikan air kencingnya yang sangat deras, mancur dengan kuat dari lubang vaginanya. Cairan kekuningan yang pekat bening itu, ingin rasanya kucoba agar membasahi tanganku, mencuci tanganku dengannya dan kemudian akan kujilati tanganku yang basah. Biar tanganku menadahinya, agar dapat kucuci mukaku dengan air seni Anneke yang cantik ini. Akan kujilati lantai yang basah oleh air seninya. Begitu melihat air seninya, birahiku yang telah reda kembali terbakar.
Selesai pipis, dia bangkit sambil mengembalikan celana dalamnya. Kemudian dengan sangat perlahan dia merunduk untuk membuka penutup kloset. Diraih kemudian dilepaskannya dildo yang kutempelkan di balik penutup itu. Dia tidak mencucinya lagi, walaupun sebelumnya dia juga melihatku membiarkannya belum dicuci setelah kupakai untuk memuaskan birahiku tadi. Bahkan dijilatinya bekas-bekas dari cairan birahi kemaluanku. Diciumnya dildo bekas pakaiku itu. Dia jilati sepanjang batangnya, kemudian bibirnya mengulum-ngulumnya. Dikeluarkannya buah dadanya dari BH-nya, kemudian digosok-gosokkannya dildo itu di sana. Dia gesek-gesekkan ke putingnya secara bergantian, kanan dan kiri sembari mendesah pelan. Belum puas juga, dia masukkan dildo itu ke BH-nya dari arah bawah dan digosok-gosokkannya kembali. Selanjutnya seolah mengikuti route yang telah kulakukan tadi, ia menggosokkannya ke ketiak, perut, bulu kelamin, selangkangan dan pusarnya. Wajahnya menengadah ke langit-langit dengan matanya yang sayu menahan kenikmatan.
Aku sangat terpesona melihat bibirnya yang setengah terbuka sambil menampakkan desah nafasnya yang memburu. Kemudian tangan kirinya menyibakkan tepian celana dalamnya. Dia sentuhkan kepala dildo itu ke vaginanya. Kupikir, pasti kelentit dan bibir vagina Anneke saat ini sangat kegatalan karena birahi. Dengan tanpa membuka celana dalamnya, kini dildo itu dia dorong masuk ke dalam vaginanya. Dengan tanpa kesulitan sama sekali, Dildo sepanjang 25 cm itu setengahnya tertelan masuk. Pelan-pelan dan dengan sepenuh perasaan, kini Anneke memompa kemaluannya. Sambil mendesah dan menggigit bibir, pantatnya maju mundur menerima tusukan ritmis dari dildo itu. Nafsu birahiku yang sudah menyusut reda kemudian kembali terbakar setelah menyaksikan Anneke membuang air seninya, kini menggelegak kembali menyaksikan pemandangan yang sangat mempesona itu hingga aku meneguk air liurku.