Aku merasakan airmata yang hendak bergulir jatuh. Secepat mungkin aku membalikkan tubuhku dan melesat pergi meninggalkannya sendiri. Aku menangis sepanjang jalan. Sebelum akhirnya kelelahan emosiku membuatku terduduk disebuah bangku taman yang sudah kosong dan sepi. Bahuku terguncang makin keras. Aku menangis dalam isakan yang teredam.
Sebenarnya apa yang sudah kulakukan sehingga dia bersikap seperti ini kepadaku? Apa maksud semua perkataannya? Apa yang kuincar dari dirinya? Dan apa yang membuatnya berpikir begitu? Apakah salah kalau aku ingin mencintainya?
Lalu pemahaman memasuki benakku. Kemungkinan dirinya pernah disakiti dengan cara yang sama oleh seseorang. Sederhana malah, keinginannya menyakiti orang lain sebelum dirinya disakiti adalah suatu bentuk perlindungan dirinya akan hal-hal yang seperti ini. Ketakutannya akan pengkhianatan perasaannya yang mendorongnya untuk melakukan hal seperti ini. Dia takut aku jatuh cinta pada hartanya, bukan dirinya.
Namun kebutaannya, keinginannya untuk terus menutup mata dan hatinya menyakitkanku. Ada baiknya jika aku berhenti menemuinya. Dan akan lebih baik jika nantinya dia tidak akan menemuiku lagi. Mungkin bab kehidupanku yang dipenuhi dirinya sudah sebaiknya ditutup dengan baik.
*****
Aku saat ini sedang berada tiga kota jauhnya dari tempat tinggalku sebelumnya. Aku mentransfer kuliahku ke kota tempat tinggalku sekarang. Aku juga berhenti dari pekerjaanku yang lama. Aku ikut dengan salah seorang teman baikku dan tinggal ditempatnya. Well, dia juga seorang gay, teman terdekat dimana tempat aku untuk curhat. Dan dia bersedia untuk membantu saat mendengarkan ceritaku.
Hari ini aku sendirian saja dirumah kontrakan kami berdua. Temanku, yang gay itu, dia adalah seorang gigolo. Mencari cinta dan uang dari homoseks yang senang bermain-main. Mungkin itulah dulu anggapan Fung terhadapku.
Dan aku kembali memikirkan dirinya. Dan pada saat itu juga aku biasanya akan merasakan kesepian yang amat sangat. Dan biasanya, jika sudah seperti itu, aku akan pergi keluar untuk mencari udara segar. Dan kemudian akan pulang dengan mata yang sembab memerah. Aku menahan keinginan untuk mengulangi hal yang sama seperti yang sering terjadi belakangan ini. Aku menyibukkan diri dengan merapikan rumah.
Temanku mengatakan bahwa aku adalah termasuk kumpulan orang-orang bodoh yang langka. Tidak akan pernah ada cinta sejati diantara para gay. Mereka akan menyatakan cinta padamu dan akan selingkuh dibelakangmu saat mereka menjumpai seseorang yang lebih menarik. Lalu akan memutuskanmu dan pergi dengan pacar barunya. Jika aku memegang prinsip seperti ini, maka aku akan terus disakiti.
Terus terang saja, bagi temanku, apalagi mempunyai cinta sejati sepertiku ini, untuk memiliki cinta palsu penuh nafsu seperti yang biasanya saja sudah sulit. Kebanyakan dari mereka hanya akan melakukan cinta semalam. Dan dia menasehatiku untuk tidak mengharapkan bajingan itu-begitu cara temanku menyebut Fung-untuk kembali dan mencariku untuk mengatakan cinta. Jangan-jangan dia malah sudah punya pacar baru yang akan diperlakukannya sama seperti yang dilakukannya padaku.
Aku jadi mengingat hal yang tidak perlu, batinku. Aku meneruskan merapikan rumah untuk mengalihkan perhatianku kepada hal-hal yang tidak perlu, ingatan-ingatan yang menyakitkan.
Terdengar ketukan pelan di pintu..
"Roy?" aku memanggil. Mataku secara otomatis memandang jam dinding di ruang tamu saat menuju pintu depan.
"Kok cepat pulangnya?" aku tidak mendegar adanya jawaban.
"Sepi pelanggan ya malam ini?" aku menambahkan sambil tertawa, lalu aku membukakan pintu depan.
Sosok yang sudah kukenal itu berdiri disana, didepan pintu rumah kontrakanku. Sosok perlente yang masih kucintai hingga sekarang, walaupun kelihatannya lebih kurus dan tidak terawat. Bulu-bulu halus di dagunya seperti sudah lama tidak dicukur. Secara otomatis, dengan gerakan yang cepat, aku menutup pintu.
Namun dia lebih cepat. Seolah menduga apa yang aku akan lakukan, dia sudah menahannya dan mendorongnya kembali terbuka. Ia melangkah masuk dengan perlahan. Otomatis aku bergerak mundur dan meletakkan sapu yang kupegang didepan dadaku untuk mencari perlindungan.
"Kuang, please.." tangannya berusaha menjangkauku. Aku melangkah mundur.
"Ada urusan apa datang kesini?" kataku ketus.
Sesaat aku terpandang matanya. Jernih, dan terdapat kesedihan di sana.
"Aku perlu bicara." Aku berusaha untuk berani. Luapan emosi kembali bergejolak di hatiku.
"Tidak ada yang perlu untuk dibicarakan. Segalanya sangat jelas." kataku tegas.
Aku mendengar suara-suara di luar pintu. Sepertinya ada yang mengomel.
"Dasar laki-laki sialan. Padahal sudah mau. Eh, malah kabur ketakutan waktu ditelepon istrinya. Lebih parah lagi dari ban.."
Roy, teman sekontrakanku langsung berhenti di tengah kata-katanya yang emosional begitu melihat aku dan Fung. Mulutnya ternganga. Fung juga kaget, khususnya mungkin dengan dandanannya yang terlalu berlebihan.
Kami terdiam agak lama sampai Roy memutuskan untuk mengatakan sesuatu, "Eh," katanya ragu.
"Apa aku mengganggu." Roy sudah pernah melihat Fung dari photonya yang masih kusimpan hingga saat ini.
"Ya." kata Fung bersamaan dengan aku yang mengatakan, "Tidak."
"Eh," Roy kelihatan bingung.
"Aku perlu bicara dengannya berdua saja." Fung meminta dengan suara memohon. Dia merogoh koceknya, "Ini," dia menyerahkan kunci mobilnya.
"Pakailah, dan ada sedikit uang di mobilku yang mungkin bisa kau pakai selama aku dan Kuang ngobrol sebentar."
Roy kebingungan. Aku menggelengkan kepalaku satu senti ke kiri dan kanan, dan berharap Roy mau mengabulkannya. Dia terlihat sedang berpikir. Lalu dengan wajah yang tiba-tiba tersenyum, dia mengambil kunci dari tangan Fung.
"Makasih." katanya pendek.
"Roy!?" kataku tidak percaya.
"Maaf, Kuang." Roy memandangku dengan penuh permintaan maaf.
"Tapi memang ada hal yang harus kalian bicarakan. Akan lebih mudah baginya" Roy mengedikkan kepalanya ke arah Fung, "jika kau mau menyingkirkan sapumu dulu."
Lalu dengan tertawa sambil menggelengkan kepala Roy menghilang di balik pintu depan. Siulannya terdengar riang hingga lenyap dikejauhan.
Fung menutup dan mengunci pintu dengan menggunakan slot pengunci.
"Nah." dia berbalik menghadapku.
"Kumohon, kita benar-benar perlu bicara."
"Bukankah semuanya sudah kau buat dengan jelas waktu itu." kataku sakit hati.
Aku tidak menyadari bahwa Fung mendekat perlahan sekali.
"Maafkan aku." katany sedih.
"Aku tidak berpikir."
"Aku memang hanya mau uangmu, kok." kataku pedas.
"Kuang, please.." nada suaranya memohon dengan amat sangat.
"Sikapmu yang seperti ini sangat tidak membantu."
"Aku hanya menyatakan yang sebenarnya."
"Benarkah itu?" tanyanya menantang.
"Benarkah itu apa yang kau rasakan sebenarnya?"
"A-aku.." tiba-tiba saja kata-kataku sulit untuk keluar.
Untuk hal yang satu ini aku tidak bisa berbohong. Aku menundukkan kepalaku. Tubuhku serasa lemas tidak berdaya. Aku merasakan kedua tangannya yang kuat merengkuhku dengan lembut, membawaku kedalam pelukan hangatnya.
"Komohon," rintihnya.
"Katakan bahwa itu tidak benar."
Bahuku mulai terguncang sesekali, "I-itu b-benar."
Aku merasakannya menghela nafasnya.
"Kumohon." bisiknya ditelingaku.
Sesaat aku langsung bisa merasakan bahwa sesungguhnya dia juga merasakan rasa sakit yang sama besarnya seperti yang kurasakan saat dia melakukannya pada waktu itu.
Airmataku bergulir jatuh. Bahuku terguncang dengan keras.
"Oh, Tuhan!" serunya dalam rintihan.
"Maafkan aku, maafkan aku." mohonnya berulang-ulang.
Dalam tangisku aku berkata, "Aku tidak tahu, dan bahkan tidak peduli bahwa kau membawa mobil mewah atau tidak. Yang kulihat waktu itu hanya sosokmu yang berdiri didepanku. Dan waktu yang kita habiskan bersama. Aku.. Aku sangat menyukainya." dan hatiku terasa sangat berat saat akan mengatakannya, tapi aku harus.
"Dan aku.. Aku mencintaimu." airmataku bergulir jatuh semakin deras.
Dan, entah bagaimana, hatiku tiba-tiba terasa ringan. Sesuatu yang menghimpit dadaku, yang membuatku sulit untuk bernafas serasa menghilang begitu saja. Fung memelukku lebih erat sambil mengucapkan kata-kata maaf berulang-ulang. Dia mengangkat wajahku dan menghapus airmataku dengan ibu jarinya. Aku menatap ke kedalaman pancaran sinar matanya dan sepertinya aku mengetahui apa maksudnya. Dia mengecupku dengan lembut.
"Aku juga mencintaimu." katanya lembut, namun ada ketegasan dalam nada bicaranya.
"Maafkan aku." pintanya sekali lagi.
Dan lagi, dia menciumku. Lembut, perlahan dan penuh kasih. Aku menyambut segala perasaannya yang begitu jelas dan tulus. Ku kalungkan kedua lenganku pada lehernya. Aku bergantung padanya, perasaan ini, benar-benar membutuhkannya.
Entah sejak kapan, ciuman kami berdua mulai membakar diri kami berdua. Dia menatap mataku dalam-dalam. Aku menganggukkan kepala, dan dia kembali menciumku. Bibirku dan bibirnya bertemu, lidah dengan lidah. Dagunya yang tidak bercukur malah membuatnya semakin kelihatan maskulin. Sekali lagi-seperti yang pernah kurasakan pada saat aku bercinta dengannya-kekuatan, keperkasaannya dan kehangatannya terasa begitu jelas. Juga ketegangannya. Kami berdua tertawa pelan.
Dia jelas memujaku. Memperlakukanku seolah aku adalah keramik antik Cina yang mudah pecah. Kepalaku menjadi sangat pusing, dan saat berikutnya, yang kutahu tiba-tiba dia sudah berada diatasku. Tubuhnya yang telanjang membuatku terpesona, dan akan selalu begitu. Dan kemudian, pada saat dia menyatukan tubuhnya dan tubuhku, sekali lagi diucapkannya kalimat yang tidak akan pernah bosan kudengar walaupun diucapkannya berkali-kali.
"Aku mencintaimu.."
TAMAT