Aku bukan kurang mendapatkan kasih sayang, justru sebaliknya aku dilahirkan sebagai seorang Kakak laki-laki yang harus memberikan kasih sayang kepada adik-adikku. Tapi kehidupan bukan kita yang mengatur, kasih sayangku tertahan tidak dapat tarsalurkan, hanya kesepian dan kekosongan hidup yang kuperoleh.
Sampai suatu ketika saat aku telah dewasa kutemukan kembali dan kubuka hati yang kosong untuk menaburkan kasih sayang kepada adikku yang justru tidak terlahir sebagai adik kandungku.
*****
"Eehkk ahh ahh" desahan suara yang sangat pelan dari mulutku.
Kondisiku masih di ambang kesadaran, benar-benar kurasakan kenikmatan walau masih dalam kondisi antara setengah sadar dan setengah tidur. Penisku mengeras dan terasa hangat di dalam kurungan mulut bocah kesayanganku.
"Ton.. sudah berapa lama kamu lakukan itu?"
Ah percuma saja suaraku, anak ini sangat cuek, tidak pernah menggubris omonganku jika dia sedang menikmati perbuatannya seperti ini. Kubiarkan saja kenikmatan ini terus menjalar ke sekujur tubuhku dan kurasakan puncak kenikmatanku akan tiba. Dengan suara desah yang semakin panjang akhirnya aku mencapai klimaks dengan semburan spermaku ke dalam mulut antony yang masih terus menghisapnya, seakan ingin mengurasnya hingga mengosongkannya dari dalam penisku.
Baru kusadari celanaku telah dilepaskan hingga sedengkul, ternyata Tony melakukannya sendiri tanpa sepengetahuanku saat aku tertidur lelap. Tapi itu bukan hal penting aku juga merasakan seperti yang dirasakan Tony.
Kenikmatan yang baru kualami membuat kesadaranku kembali normal. Tony telah merubah posisinya dengan melepitkan kedua pahanya di antara leherku. Kupandangi batang penisnya yang sudah membesar dan melintang di atas mulutku hingga mencapai hidungku.
"Akan kulakukan yang kau mau sayangku"
Aku menjulurkan lidahku menjilat kulit penisnya dan kuarahkan terus mencapai ujung penisnya dalam niatku ingin kunikmati dan kukulum dalam mulutku.
Antony melepaskan suara desah rasa nikmat bahkan bukan sekedar desahan lagi mulai dengan kata-kata yang menikmati "Teruskan Kak! teruskan saja! aah ahh ahh".
Di antara permohonan dan perintah semuanya kulaksanakan demi rasa sayangku kepadanya. Tekanan di dalam mulutku semakin kuat, penis Tony makin mengeras bahkan dapat kurasakan gerakan otot-otot penisnya.
Akhirnya tembakan cairan hangat yang sangat cepat keluar dari penis Tony hingga mencapai dalam kerongkonganku. Kuhisap terus sisa-sianya yang masih mengalir seperti yang dilakukan Tony terhadapku sebelumnya dan kutelan semua sperma Tony yang terasa agak asin. Aku ingin sperma bocah kesayanganku masuk ke dalam perutku dan menyatu di dalam tubuhku, kupeluk erat tubuhnya yang kelelahan, kucium keningnya, rambutnya dan berbisik ke kupingnya, "Tony segala-galanya bagi Kakak, Kakak mencintaimu melebihi apapun di dunia ini".
Aku meraih arlojiku di atas meja tempat tidur dengan gerakan tangan yang terbatas karena Tony masih terlelap dalam dekapanku. Kulihat jam telah menunjukkan pukul 04.50 WIB. Aku telah berniat berolah-raga bersama Tony mengelilingi lapangan monas di hari minggu ini. Kugeser tubuh Tony yang masih terlelap dengan pelan dan penuh kasih sayang supaya tidak membangunkannya.
Setelah aku merapikan diri dengan berpakaian sport, aku minum segelas air dingin dan tegukkan yang terakhir kutahan dalam mulutku. Beginilah caraku membangunkan Tony, kutempelkan bibirku dengan bibirnya kemudian kualirkan air yang masih terasa dingin ke dalam mulutnya. Di saat kurasakan rangkulan kedua tangan Tony di leherku ini berarti aku tidak perlu mengeluarkan suara lagi untuk membangunkannya. Kuangkat tubuhku dengan dorongan kedua tanganku ke tempat tidur kemudian aku mendekap tubuhnya, kuingin Tony merasakan besarnya kasih sayangku kepadanya.
"Ayo kita harus cepat, supaya kita bisa punya banyak waktu di sana sampai di usir mister matahari".
Dengan perasaan yang segan dan masih ingin di manja Tony bangun menuju kamar mandi.
Sungguh menyenangkan jika berolahraga pagi bersama orang yang sangat kita cintai. Kami mengelilingi lapangan monas berlari sambil memandangi sekelilingnya yang penuh dengan warga Jakarta yang senang berolahraga pagi. Irama gerakan kami teratur dan terdengar jelas suara hentakan sepatu kami yang menghentak jalan.
Setelah cukup lama berkeliling kami mulai kelelahan, gerakanku mulai tidak teratur. Kami masih berlari sambil memandang ke arah anak-anak yang sedang bermain bola. "Duk.." suara orang terjatuh yang terdengar agak keras saat menoleh ke belakang, astaga Tony jatuh tersandung. Secepatnya aku mengandeng Tony berdiri, Tony terdiam wajahnya masih terlihat kelelahan. Kemudian aku membawa Tony duduk di bundaran taman yang cukup ramai.
"Sakit nggak sayang? Lutut kananmu luka berdarah" tanyaku dengan penuh kasih sayang.
"Agak perih Kak" jawabnya.
"Tunggu di sini bentar ya! Kakak ambilkan betadine di mobil"
Sambil berlari aku menuju mobilku yang kebetulan posisinya tidak terlalu jauh.
Aku membersihkan lukanya kemudian kuteteskan betadine kebagian lukanya.
"Adu.. h sakit Kakak, perih! sakit sekali Kakak" suara Tony agak menjerit kesakitan membuat perhatian orang-orang di sekitar sana.
Aku memeluknya dengan kuat kucium rambutnya "Tahan sayang, sebentar aja kok nanti juga hilang sakitnya".
Suara Tony mengaduh kesakitan masih terngiang di kupingku, aku menatap di sekelilingku dengan mata berkaca-kaca. Kupandangi keadaan di sini sudah banyak perubahan, aku duduk di posisi persis saat aku memeluk Tony yang mengaduh kesakitan dua tahun yang lalu. Hatiku mulai pedih kembali jika aku mengingatnya, aku menjadi serba salah. Kulihat banyak orang-orang yang sedang berlari pagi tapi aku sendiri sangat malas melakukannya,
Aku hanya memandangi terus sekeliling dan pada saat bertepatan aku beraduh tatapan dengan seorang remaja mengenakan pakaian olaharaga Nike. Kami sempat saling memandang beberapa detik dan aku memperhatikan pakaiannya ternyata dia menggunakan satu set penuh pakaian Nike dari baju, celana hingga sepatunya. Dia bersama dengan beberapa orang temannya dan aku bisa sedikit menduga kepribadiannya karena di antara temannya ada yang bertingkah sisy (maaf!).
Aku menikmati masakan khas lontong sayur dengan serius tidak kuperhatikan sekelilingku. Tiba-tiba kurasakan orang yang tak asing duduk di sebelahku.
"Mbak lontong sayur satu" orang tersebut memesan makanan sambil jari telunjuknya menunjuk satu.
Aku penasaran sekali dan kutatap wajahnya lumayan ganteng agak putih dengan pakaian full Nike.
"Kak jam berapa sekarang?" dia mulai menyapaku dengan pertanyaan ini.
"Oh udah jam 7 lewat" jawabku singkat dengan menatap arlojiku terlebih dahulu.
Aku sudah bisa membuka percakapan dengannya dan sekaligus bisa berkenalan dengannya.
"Eh kamu suka berolaharaga rame-rame ya, namamu siapa dek?" tanyaku.
"Iya Kak, tiap minggu, namaku Aditya, kalo Kakak siapa?" kelihatannya dia supel suaranya lantang dan cukup lincah pasti enak di ajak ngobrol pikirku.
"Panggil aja Kak Raffel" percakapanku dengannya semakin lancar.
"Kok Kakak suka duduk melamun di bundaran taman itu sih?, aku sudah melihat tiga kali Kakak duduk di sana"
Astaga aku tidak sadar selama ini aku beberapa kali ke monas dan duduk melamun mengingat Tony di bundaran taman dan Aditya selama ini memperhatikanku.
"Eh iya ya Kakak nggak tahu juga tuh cuma suka aja duduk di sana lagian ngapain Adit perhatikan Kakak?" aku mulai mengakrabkan diri dengannya.
"He he he.. nggak juga sih cuma mandangin aja kok kayanya Kakak seperti orang aneh hehehe"
Kuakui anak ini sangat supel, baru duduk beberapa menit saja bisa menciptakan keakraban bersama. Ternyata Aditya tidak keberatan memberikan nomor telepon dan alamat rumahnya dan setelah selesai bersantap tak berapa lama temannya memanggil Aditya akhirnya kami berpisah.
Sabtu pagi tidak seperti biasanya pagi ini aku sudah merapikan diri dan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu istimewa di apartemenku ini. "Ting tong.. ting tong.." bunyi bel ku, ada tamu menanti di depan pintu, "pasti Aditya, dia menepati janjinya". Saat aku membuka pintu, tepat di depanku remaja berusia 17 tahun, ganteng lumayan putih dengan rambut terurai belah tengah dan tinggi badan hampir sama denganku.
"Hai Adit selamat datang" sapaku dengan tersenyum.
"Halo Kakak apa kabar?" nada suaranya cukup mengesankan dan membuat aku merasa akrab dengannya.
Bersama Aditya di dalam ruangan tidak akan pernah membosankan dan juga tidak akan pernah sepi karena omongannya tidak pernah habis dan sangat menyenangkan. Aditya banyak menceritakan pribadinya dan keluarganya. Anak bungsu dari pasangan konsultan dan dokter specialis dengan tingkat kehidupan yang cukup baik tetapi masih kurang merasakan kasih sayang. Kakaknya seorang wanita karir yang bekerja sebagai PR di sebuah perusahaan retailer. Kehidupannya secara materi sudah cukup perfect, Aditya baru kelas dua smu di sebuah sekolah swasta yang cukup bonafit hanya prestasi belajarnya biasa-biasa saja, tapi pergaulannya cukup baik dan lingkungannya pun tidak terbatas.
Dari pagi hingga sore kami ngobrol dan makan serta menyaksikan acara televisi bersama, Aditya sangat sopan sekali dan ucapannya pun sangat menyenangkan bagiku, aku semakin tertarik padanya. Awalnya kami hanya duduk berhadapan tetapi aku mulai ingin duduk di sebelahnya dan merangkulnya. Niatku harus selalu harus terlaksana agar aku tidak penasaran nantinya. Aku bangkit berdiri dari hadapan Aditya dan kemudian pindah ke seberang di sofa yang sedang di duduki Aditya. "Dit, kamu mau nggak jadi saudara Kakak?, Kakak tahu Adit butuh perhatian dan kasih sayang" tanyaku sambil mendekatinya. "Iya Kak tapi Adit juga punya banyak masalah, apa Kakak tidak keberatan bersaudara dengan Adit?" jawabnya dengan membalas pertanyaan.
Aku merangkul pundak Adit kemudian aku menarik tubuhnya bersandar di badanku. Adit juga mengarahkan kekuatannya searah dengan tarikanku sehingga dengan mudah akhirnya Adit berada dalam dekapanku.
"Lingkungan pergaulan Aditya harus bisa di batasi, Aditya kan masih kecil dan sedang meniti masa depanmu sendiri, tapi Kakak akan mengerti keadaanmu dan Kakak bisa menjadi saudaramu yang menerima semua keluhanmu" aku menasehatinya masih sambil memeluknya dengan semakin erat.
"Kakak baik sekali, mudah-mudahan Adit benar-benar mendapatkan kasih sayang yang tak pernah Adit rasakan dari Kakak, Adit membutuhkan Kakak dan Adit ingin bersama kakak" suaranya mulai pelan dan sedikit memelas, kutempelkan pipiku di pipinya.
Kurasakan gerakan Aditya yang mengeser wajahnya, menginginkan yang lebih dari itu. Bibirnya di arahkan pada bibirku dan akhirnya bersatu. Aku mencium bibirnya tapi aku tidak ingin mendorong lidahku ke dalam mulutnya bagiku hal ini masih terlalu awal. Aku mencium pipinya dan seluruh wajahnya dan Aditya tidak berdiam dia juga melakukan hal yang sama dan akhirnya kami berhenti.
"Kakak sayang padamu Dit" kataku dengan nada yang lembut.
"Adit juga sayang Kakak, dan Adit ingin bersama kakak" jawabnya mulai manja.
Kami menghabiskan waktu berakhir pekan bersama dengan pergi ke café dan nonton, akhirnya aku mengantarkan Adit pulang sekitar jam 20.30 dan kulihat Aditya sangat puas dan senang denganku.