"Kemanakah kau akan membawaku Salim..? Berapa lama lagi aku harus mengikutimu Salim..?" kataku.
Lalu aku duduk di samping Salim, sedang Salim hanya diam sambil tangannya erat menggenggam tanganku.
Salim lalu berujar, "Langit telah menentukan dalam keheningan yang
tidak lazim, bahwa aku harus menjalani hari-hariku kini dengan
laki-laki yang bukan untuknya aku diciptakan, dan akan kujalani
waktu-waktu ini sesuai dengan kehendak langit, nanti ketika pintu
keabadian telah terbuka dan aku akan bersama kembali dengan belahan
jiwaku,"
Salim memandangku, dan aku pun membalas pandangan Salim dengan
sejuta makna yang kuharap Salim dapat menterjemahkannya dalam bahasa
asmaranya.
Tiba-tiba aku merasakan satu sentuhan lembut bagai ujung jemari
angin sepoi basa yang melintas di pucuk bunga mawar, yang mengandung
desahan keriangan dan manisnya erangan. Sentuhan bibir Salim bagai
kembang pertama yang membasuh bibirku, dan ketika tangan Salim mulai
meloloskan pakaianku, hanya pasrah yang kudapatkan dalam rasa jiwaku.
Salim dengan leluasa mengekspresikan hasratnya, Salim bagaikan kuda
jantan yang mampu membawaku bersama birahinya mengarungi karunia
surgawi lewat rasa kenikmatan yang teramat sangat nikmat.
Fajar musim panas telah mengenakan pakaian yang disembunyikan oleh
musim hujan, aku memasuki kamar tempat tinggalku, dan kulihat Jafar
memandang dan memperhatikan langkahku. Pada saat aku berada di
hadapannya, Jafar berucap dengan perasaan yang dilimpahkan dengan air
matanya.
"Hatiku telah jemu, dan hatiku memintaku untuk mengucapkan selamat tinggal pada keegoisanku," katanya.
Di antara kami berdua, aku tidak melihat kekuasaan jiwa ataupun kewibawaan.
"Jafar, aku tau apa yang kau ucapkan, dan aku tau maksud dari kata-katamu," kubalas ucapan Jafar.
Namun Jafar berkata lagi, "Dimanakah Salim..? Kudengar kau berada dalam pelukan Salim pada saat aku dalam kesendirian."
"Salim sedang menyusun kata-kata bijak untuk dapat menarik
perasaanku, dan akan ia khotbahkan padaku bila matahari sudah pulang
keperaduannya." kataku padanya.
"Nanti malam..?" Jafar bertanya lagi.
"Ya, nanti malam," aku pun menjawab singkat namun tegas.
Jafar lalu berdiri dari duduknya, dan menghampiriku sambil menyeka air matanya.
Dia berkata, "Berilah aku kesempatan dan kearifanmu, agar aku bisa
membawamu kembali kehadapan jiwa yang suci dan bukan berasal dari jiwa
yang hampa."
Aku pun menjawab, "Itulah percintaan masa lampau, amati dengan
baik, kesucian kata-kata melayang-layang di sekitar jiwa yang menjerit
dalam keputusasaan, dan berdendang dengan harapan agar aku bisa meraih
keikhlasan hatimu. Masih ingatkah kau Jafar, waktu kau memelukkan
lenganmu ke leherku dan menatap mataku? Masih ingatkah waktu kau
ucapkan kau mencintaiku? Masih ingatkah segala janji yang aku ucapkan
pada saat kita berpelukkan di bawah sinar bulan sabit dua tahun lalu?"
Kupandangi lekat-lekat, Jafar yang masih terdiam dengan segala
bayang-bayang kehampaan masa lalu waktu ia mengucap janji kepadaku,
yang kini dalam hitungan detik dapat meruntuhkan keagungan cinta yang
termegah dua tahun lalu.
"Mengapa kau diam Jafar..? Mengapa engkau tak melihatku Jafar..?
Mengapa engkau tidak menciumku Jafar..? Apakah kau tidak mendengarkan
tangisan hatiku dan jeritan kalbuku atas segala perlakuanmu padaku
selama ini..? Apakah kau masih tidak percaya bahwa aku telah
meninggalkan Ayahku, Ibuku dan datang padamu dengan segenap jiwa dan
kehidupanku untuk lari bersamamu..?Bicaralah Jafar..! Kenapa kau
menangis..? Kau laki-laki Jafar..? Dulu hatimu berkuasa karena
kehidupan mewahmu, dulu sentuhanmu laksana selimut hangatku, kini
sentuhanmu menjadi penyiksaku, telah kau ingkari diriku, kasihanilah
jiwaku Jafar, bebaskanlah diriku dari penjara hakikatmu Jafar."
Begitu banyak cerita masa lalu yang kutarik kembali ke hadapan
Jafar, agar ia dapat melihat perubahan jiwaku akan kecintaanku padanya,
air mata telah membasuh pandangan mata hatiku akan kesucian cinta yang
telah teringkari oleh kemewahan. Aku melangkah menghampiri Jafar yang
tegak berdiri namun membisu karena tersumbat oleh segala ucapanku.
Kuusap air mata Jafar dengan jariku dan Jafar memandang tajam ke
arahku, dan kubuatkan ia seulas senyuman manisku, lalu kupeluk
erat-erat tubuh kekar Jafar, dan kucium lembut bibir Jafar yang kering
karena luapan emosiku.
"Jafar inilah saat terindah, masih ingat waktu pertama kita
bertemu, kau kecup lembut bibirku, tapi kini kecupanku ini sebagai
tanda ciuman penghabisan cinta kita."
Kupandangi Jafar yang hancur oleh keputusanku, dan aku pun berkata
lagi, "Terimakasih Jafar, atas segala kemurahan hatimu selama ini, dan
ampuni aku bila harus mengambil keputusan ini."
Aku pun lalu beranjak meninggalkan ruangan itu, dan meninggalkan
Jafar dalam reruntuhan cinta yang termusnahkan oleh rasa egois manusia.
"Selamat tinggal kekasihku.. Jafar."
Setelah kuucapkan kata itu, aku pun keluar dan menutup pintu kamar
yang telah menjadi saksi hubungan kasihku dengan Jafar selama dua
tahun.
Matahari melipat ke atas pakaian kebun hijau itu, dan rembulan
bangkit dari balik cakrawala menumpahkan sinar lembutnya di atas
bentangan kebun itu. Kulihat Salim duduk, dan pandangannya diarahkan ke
arah bintang gemintang, hingga Salim tidak mengetahui kehadiranku.
Kusentuh lembut pundak Salim, dan Salim pun menolehkan wajahnya ke
arahku sambil tersenyum kepadaku. Dan kami pun duduk berdua dihadapan
malam yang indah yang bermahkotakan bulan purnama awal bulan Oktober
tahun ini.
Salim memandangku dan berkata, "Dengarlah baik-baik perkataanku
ini, kekasihku, tersenyumlah karena senyumanmu isyarat bagi yang ada di
depan kita, bergembiralah kekasihku, sebab jiwaku mengatakan padaku
bahwa hatimu dipenuhi kebimbangan, padahal kebimbangan dalam urusan
cinta dan dosa."
Aku pun tersekat merasakan makna kata-kata Salim, dan aku pun
berkata lirih, "Salim, aku tidak akan menukar derai tawaku dengan
keberuntunganku akan cintamu, sementara Jafar menderita karenanya, dan
tidak pula aku akan puas dengan cintamu yang merubah air mataku,
sementara Jafar perih merasakan luka jiwa."
Tutur kataku membuat Salim tercengang heran, Salim pun berkata,
"Telah kulihat dirimu, wahai kekasih, kenapa engkau menolak cintaku,
padahal kau mencintaiku."
Aku pun secara refleks mencium dan melumat bibir Salim yang masih bicara, hingga membuat Salim terhenti dari bicaranya.
"Maafkan aku Salim, aku tidak bisa menerima cinta kasihmu, meskipun
aku hancur lantak oleh perasaan cinta dan kasihku untuk kamu, karena
itu lebih baik, daripada aku berbahagia di atas kehancuran Jafar.
Salim, sekarang tiba waktunya kau menemukan pasangan jiwamu, tapi bukan
jiwaku, melainkan perasaan kamu sendiri, ampuni aku Salim, aku harus
pergi meninggalkanmu juga meninggalkan Jafar."
"Kemanakah kau akan pergi kekasihku..?" Salim bertanya.
"Ke suatu tempat Salim, dimana kau dan Jafar tidak akan bisa melihat kehidupan cintaku, melainkan hanya mendengar saja."
Salim lalu berdiri dan berkata lantang di hadapanku laksana
kesatria perang mengkomando pasukannya untuk menyerbu perasaan hampa
jiwaku.
"Aku tak akan berhenti berusaha sampai aku berhasil merebut
hatimu, cintamu bakal menerima air mata keluhan ini sebagai
persembahan, dan kita akan diganjar oleh perasaan kita masing-masing,
jagalah dirimu baik-baik kekasihku."
Lalu aku mendengar suara Salim yang di dalamnya mengalir kehangatan cinta dan kegetiran perpisahan serta manisnya kesabaran.
Sambil berucap, "Selamat jalan.. kasihku." kupeluk tubuh jantan Salim, dan kukecup bibir Salim.
"Aku pergi.. Salim.. kekasihku," ucapan terakhirku untuk Salim yang
tertuang lewat air mataku, dan Salim hanya memandangku dengan perasaan
yang aku sendiri tidak tahu kesakitan rasa itu.
Kuayunkan kakiku meninggalkan Salim dengan segala beban pikiran
hampanya yang tersebabkan oleh keputusanku, sementara malam semakin
pekat, menyelimuti perasaan Jafar, perasaan Salim, dan juga perasaanku,
dan kepekatannya hanya menyisakan sebentuk doa di dalam hati kami
masing-masing, semoga cahaya cakrawala timur esok pagi menjadi awal
kebahagian hati dan kedamaian jiwa Jafar, Salim dan aku.
TAMAT