Wow, sekilas saja aku melihatnya sudah membuat air liurku menetes tak
keruan. Gila benar, badannya bagus banget, pikirku. Sementara itu,
penis kesayanganku di bawah sana sudah mulai membatu, keras dan mulai
terasa sesak memenuhi CD-ku. Sesaat, kumasukkan tanganku ke balik
celanaku untuk membetulkan letak penisku agar tidak kejepit.
Usai tontonan yang cukup membikin jantungku hampir copot itu, Denny
mendekatiku, tetap ia sama sekali tak menyadari kalau mataku jelalatan
sejak tadi memandangi tubuhnya yang nyaris bugil. Denny duduk disisiku
di atas ranjang, ia pun bersandar. Ia mengambil sebuah buku di meja
yang ada di sisi ranjang. Setelah kuamati, ternyata buku yang
dipegangnya adalah diktat Biologi kelas 2.
"Ngapain belajar itu? Ebtanas bukannya masih dua bulan lagi?" tanyaku heran.
"Iya sih, tapi besok aku ada try out. So, sorry banget kalau aku
nemenin kamu sambil belajar. Nggak pa-pa kan? kamu kamu suka main PS,
main aja asal jangan nyalain tape aja. Aku nggak bisa konsen kalau
bising! enggak pa-pa kok, anggap aja rumah aku! hehe," gurau Denny
sambil nyengir.
Aku sebenarnya rada kecewa mendengarnya, soalnya sebelumnya aku
pikir kalau Denny bakal menemaniku ngobrol sepanjang malam, karena ada
satu masalah yang ingin aku curhatin sama dia. Karena selama ini, aku
belum menemukan seorang sahabat yang bisa aku percaya untuk menyimpan
rahasia dan begitu dewasa seperti Denny.
Aku merapatkan badanku ke badan Denny, sambil berpura-pura membaca
apa yang ia baca. Sementara Denny tampak begitu serius belajar dan
membalik halaman demi halaman buku yang tebalnya lebih 2 cm itu. Karena
saking konsentrasinya Denny belajar, timbul ide gilaku untuk membantu
sedikit mengendurkan urat syaraf otaknya yang tegang.
Aku mengeluarkan jurusku yang pertama. Aku ambil dompetku dari saku
belakang celanaku, lalu dari dalamnya aku ambil sebuah foto layak
sensor, apalagi kalau bukan foto telanjang seorang cowok yang sedang
full ereksi. Kemudian, foto itu kutaruh di tengah-tengah halaman buku
yang sedang dibaca Denny. Kontan saja, Denny kaget melihatnya, dia
sedikit marah karena aku ganggu, tapi mungkin waktu itu ia sempat
curiga melihat aku punya foto seperti itu.
"Gila, apa ini?" katanya ketus sambil melemparkan foto itu atas ranjang.
Denny melanjutkan lagi belajarnya, mukanya setengah kusut. Tapi
aksiku tak berhenti sampai disana, aku ambil foto itu dan kutunjukkan
lagi pada Denny, kali ini tidak di atas lembaran buku, namun kusodorkan
ke depan mukanya.
"Ini pelajaran yang kamu baca barusan, yang ini gambar anatomi
tubuh manusia yang lebih jelas dan nyata, gimana?" kataku sambil
nyengir.
Kemudian, aku sebutkan satu persatu bagian tubuh yang ada di gambar
itu, berlagak seolah-olah seorang guru yang mengajari muridnya. Tetapi
begitu sampai pada bagian vital yaitu penis, tanganku tak lagi menunjuk
pada gambar, namun refleks meraba penis Denny sendiri.
"Yang ini namanya penis, mengerti?" kataku menantang, sementara itu
tanganku tak mau beranjak memegang penis Denny, karena begitu pertama
kali aku menyentuh penisnya, aku merasakan penis Denny sudah mengeras.
Cukup lama juga aku meraba-raba penis Denny sampai akhirnya Denny
menyingkirkan tanganku dari area terlarangnya.
"Stop, apa-apaan sih kamu ini?" bentak Denny sambil menggeser
tubuhnya sedikit menjauh. Tapi sudah terlihat di raut mukanya, kalau
Denny sudah tidak bisa sekonsen tadi menghadapi buku pelajaran yang
dipegangnya. Ia hanya berpura-pura konsentrasi, aku tahu itu! Tapi aku
sadar, aku tak boleh mengganggunya kalau ia tidak suka, takutnya ia
malah jengkel dan mengusirku malam itu, apalagi jam sudah menunjukkan
hampir pukul 12 malam.
Aku lantas berbaring, aku merasa rada capek, tapi anehnya aku tak
ingin cepat tidur sebelum Denny tidur karena aku tak bisa tidur dalam
keadaan terang benderang seperti saat itu, tetapi di samping itu, aku
juga masih memikirkan tubuh telanjang Denny yang begitu seksi yang
kulihat tadi.
Aku hanya berbaring tanpa memejamkan mata, kupandangi langit-langit
sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Denny di sebelahku. Cukup
lama aku menunggu, karena Denny baru berbaring setelah jam 1 dini hari.
Raut mukanya sudah tampak kelelahan sekali. Tetapi anehnya, untuk
beberapa saat, aku perhatikan kalau Denny seperti orang gelisah,
beberapa kali ia membolak-balik posisi tidurnya seperti kue serabi.
"Mikirin apa? Kok nggak tidur-tidur?" tanyaku pelan.
Denny mengubah posisi tidurnya lagi, kali ini menghadap aku. Begitu
dekatnya muka kami berdua, sehingga aku bisa melihat lebih jelas
sepasang mata indahnya dan hidungnya yang mancung, serta bibir tipisnya
yang menawan itu.
"Kau juga kenapa belum tidur?" katanya balik bertanya.
"Aku nggak biasa tidur jika lampu hidup!"
"Nah, sekarang lampu kan sudah kumatikan, tidurlah!"
"Den, aku suka kamu!" tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibirku saat itu.
Denny hanya meresponnya dengan senyuman, aku tahu ia pasti menganggapku sedang bercanda pagi itu.
"Apa maksudmu? Emangnya apa yang kau sukai dari aku?"
"All. Awalnya sih aku sekedar kagum sama performance-mu, apalagi di
lapangan. Tapi belakangan, aku jadi tambah suka sama kamu, barangkali
semuanya. Entahlah, aku suka gayamu, kepribadianmu, your smiling face,
dan semuanya. But, tolong jangan berpikir negatif dulu. Aku cuma nggak
mau kehilangan seorang sohib kayak kamu. Be my close friend forever,
please!" kataku pelan.
"Tentu, kenapa enggak? kamu ngomong gitu seolah-olah kita mau
pisah aja. Tapi terus terang, aku memang punya banyak teman dan
sahabat, tapi yang terasa paling spesial itu cuma kamu.."
"Really?" tanyaku setengah tak percaya, namun bercampur senang.
"Iya, soalnya kamu yang paling aneh sih. Aku nggak ngerti jalan
pikiranmu! Kamu itu teman aku yang paling lucu.. Hihi" kata Denny
melucu.
Tapi aku tak tertawa, aku malah jengkel dibuatnya. Kuambil guling
disebelahku dan kupukulkan ke mukanya, tentu saja hanya sebatas
bercanda, "Dasar, semprul!" Kemudian, guling itu kubekapkan ke mukaku,
kucoba untuk tidur. Denny pun tak terdengar suaranya lagi, ia tertidur.
Jam 2 lebih seperempat, ternyata aku belum tidur juga. Pikiranku
masih galau, kemudian kunyalakan lampu kecil di meja yang ada tepat di
sampingku. Kulirik tubuh Denny yang tergolek di sebelahku. Tubuh yang
seksi dan sedang terlentang di depan mataku, membuat denyut jantungku
makin tak keruan.
Celana kolornya sedikit tersingkap, sehingga CD putihnya tampak
dari luar. Bagaimana dengan penisnya? aku sangat penasaran untuk dapat
mengetahuinya. Seberapa besarnya, warnanya apa dan bagaimana rasanya
jika kupegang dengan tanganku, seberapa lebat jembut-jembut yang
mengelilinginya dan bagaimana rasanya jika kupegang,
pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai berkecamuk dalam pikiranku?
Apakah penis Denny "sekeren" orangnya?
Akhirnya karena sudah tak tahan lagi, tanganku mulai bergerilya
menggerayangi tubuh Denny. Hal pertama yang aku lakukan adalah pemetaan
lokasi, yaitu menumpangkan tanganku di atas bagian yang menonjol dari
balik celana Denny. Aku meraba-raba perlahan sambil bergemetaran, dan
mulai kurasakan setiap lekukan-lekukan penisnya.
Wow, lumayan besar juga, bagaimana jika sedang ereksi? Sementara
itu, tangan kiriku sendiri kuselipkan ke sela-sela celanaku untuk
menggapai batang kejantananku yang sudah mengeras. Di saat-saat yang
menegangkan itu, aku berusaha menyinkronkan gerakan tangan kanan dan
tangan kiriku agar bisa kurengkuh kenikmatan yang maksimal. Sekali-kali
kukocok juga penisku yang panjangnya tak kurang dari 15 cm itu. Wow,
nikmatnya!
Tak puas sampai di situ saja, aku melepaskan penisku dari
genggaman. Supaya lebih leluasa, aku buka saja celana jeans-ku,
sehingga aku setengah telanjang dengan hanya memakai singlet dan celana
dalam. Penisku tegak dan bergoyang-goyang kesana kemari bagai batang
bambu yang tertiup angin surga.
Sesudah itu, aku bangun dari posisi tidurku, aku setengah
berjongkok di sebelah Denny. Apa lagi yang akan kulakukan, kalau bukan
berusaha melepaskan celana kolor Denny agar aku bisa benar-benar
menikmati penisnya dalam genggaman tanganku. Pasti akan lebih asyik
tentunya! Dengan perlahan dan hati-hati sekali, aku mulai memelorotkan
celana Denny sampai sebatas lutut. Dan kini, di depan mataku yang
membuka lebar, terpampang sebuah pemandangan menakjubkan, paha Denny
yang mulus dan penisnya yang hanya dibalut celana dalam.
Untuk beberapa saat lamanya, aku hanya memandangi tubuh lemah tak
berdaya itu, aku sungguh menikmatinya. Luar biasa, pikirku. Kupegang
lagi tonjolan itu, masih terasa sama seperti yang tadi, kudapat kesan
ada sesuatu yang besar dan kokoh di balik CD itu, hanya saja kali ini
lebih jelas terasa. Lalu kedekatkan wajahku ke tonjolan itu.
Harum semerbak mewangi aroma kejantanan seorang lelaki dari CD yang
dipakainya. Kujulurkan lidahku, kujilati setiap lekukan pada seputar
tonjolan itu dan bahkan ke seputar selangkangannya, dan kubaui setiap
bulu-bulu halus yang tumbuh liar di paha Denny yang sangat mulus. Wow,
nikmatnya!
Lantas setelah itu, tanganku yang sudah gatal sejak tadi pun mulai
melancarkan agresinya, kusebut sebagai "agresi liar tak terkendali".
Keselipkan tanganku ke balik CD itu, perlahan namun pasti aku coba
untuk melepaskannya, dan berhasil sekalipun dengan sedikit kerja keras
agar Denny tak sampai terbangun.
Wow, mulutku tanpa komando berdecak kagum menikmati apa yang kini
ada di depan mataku. Jauh lebih menggiurkan dari sepotong ayam goreng
atau bahkan steak termahal sekalipun. Sebuah sosis segar yang
kecoklatan yang tampak lunglai! Ingin sekali aku segera mencicipinya
dengan mulutku. Karena itu, tanpa komando, aku dekatkan lagi mulutku ke
sosis itu.
"Plok!" penis Denny sudah tenggelam di dalam mulutku, perlahan
namun pasti kumasukkan penis itu sampai tenggelam seluruhnya di dalam
mulutku, lalu kuhisap, kulemot dan kuempot maju mundur.
Aku sedikit kaget dan melepaskan hisapanku ketika tubuh Denny
bergerak dan ia berganti posisi. Kali ini sedikit menyulitkanku untuk
menjangkau penisnya, karena Denny memeluk guling, sehingga aku hanya
diberi pantatnya. Tapi tak apalah, pantatnya pun tak kalah menggiurkan.
Aku berbaring di belakangnya, lalu kugesek-gesekkan penisku ke
pantatnya, sementara tanganku meraba-raba perut, dada dan puting
susunya secara bergantian. Tapi tak hanya itu, aku juga mulai
memberanikan diri untuk menciumi leher dan pipinya yang bersih dan
halus. Tapi karena aksiku itu, Denny bergerak-gerak. Mungkin ia merasa
geli akibat agresi yang kulancarkan. Tapi untunglah, Denny tak sampai
terbangun, atau ia memang pura-pura tidur agar aku bisa tetap leluasa
menggerayanginya, aku juga tak tahu dan aku tak peduli!
Bau deodoran yang dipakai Denny malah membuatku makin horny dan
membuat lidahku betah berlama-lama menghisap seluruh bagian tubuhnya,
bahkan di balik ketiaknya sekalipun, aku suka dengan rasa geli akibat
gesekan wajahku dengan bulu-bulu ketiak Denny yang lumayan lebat.
Ketika kesempatan itu tiba, aku tak menyia-nyiakannya. Dari balik
punggungnya, aku coba untuk meraih penis Denny yang panjangnya dapat
kuperkirakan tak kurang dari 16 cm jika sedang ereksi itu. Dapat! Aku
kocok perlahan sambil kugesek-gesekkan kemaluanku ke lubang pantatnya,
berirama dan sungguh menggairahkan!
Paginya, aku terbangun jam 6 pagi setelah kudengar suara seseorang
menggedor pintu kamar seraya memanggil-manggil nama Denny, ternyata itu
suara pembantu di rumah Denny. Sementara itu kulihat Denny masih
terlelap di sebelahku, tentu saja ia masih tak bercelana dan penisnya
tampak begitu perkasa pagi itu. Sesudah aku terbangun, Denny pun
menyusul.
Dengan masih setengah mengantuk, betapa kagetnya ia mengetahui
kalau ia tak bercelana saat itu. Ia segera mengambil celana kolor dan
CDnya yang bergeletakan di atas kasur, kemudian ia memakainya dan
langsung ke kamar mandi di dalam ruangan itu, ia tak berkata sepatah
kata pun. Aku tahu, ia pasti marah padaku.
Ketika aku masih linglung dan pikiranku kacau memikirkan kemarahan
macam apa yang akan diluapkan oleh Denny, tiba-tiba kudengar Denny
memanggil namaku sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar
mandi.
"Kenapa bengong saja? Kau tidak mandi? Kita sudah kesiangan ke sekolah tahu!" katanya sambil melemparkan handuknya ke mukaku.
"Kau sudah selesai?" sahutku dengan gagap.
"Belum, mandi sama-sama aja disini. Airnya segar!" ajaknya yang langsung kutanggapi dengan girang.
Kebetulan sekali, pikirku. Ternyata dugaanku meleset total, Denny
tidak marah sama sekali padaku. Aku tahu Denny memang terkenal orang
yang sabar, karenanya banyak cewek yang kepincut sama dia.
Aku segera bangkit dari kasur pegas itu dan bergegas menuju kamar
mandi sebelum pintu itu tertutup lagi untukku, atau lebih jelasnya
sebelum Denny berubah pikiran! Wow, di dalam kamar mandi pagi itu,
mataku benar-benar bisa terpuaskan menikmati setiap lekukan tubuh Denny
yang atletis, mungkin begitu pun sebaliknya, jika Denny menyukai
tubuhku juga. Kami berdua benar-benar berbugil ria, tanpa tertutupi
oleh sehelai benang pun di tubuh kami.
Sejak hari itu aku jadi keranjingan untuk main-main dan bahkan
menginap di rumah Denny, yang sudah kuanggap sebagai rumah keduaku
setelah rumah yang dibeli ortuku sendiri. Aku sering belajar bersama di
sana, nonton vCD, main PS dan termasuk melakukan "hal-hal" yang
menyenangkan. Namun sebetulnya kami lebih sering menghabiskan waktu
untuk belajar bersama kala itu, karena kami sedang dalam persiapan
menghadapi Ebtanas.
Sampai akhirnya kami berdua bisa lulus dengan nilai yang boleh
dikata memuaskan. Dan aku sadar, bahwa keberhasilan itu juga berkat
persahabatan kami. Namun sejak memasuki SMU, kami berpisah. Aku
melanjutkan SMU-ku di negeri kangguru, sedangkan Denny hijrah ke
Jakarta. Sejak itu kami betul-betul putus hubungan.
Lantas, kalau kalian bertanya dimana Denny sekarang? Sebelum aku
menjawabnya, aku ingin bertanya: Percayakah kalian pada apa yang
dinamakan "kebetulan yang menyenangkan"? Kalau kalian percaya itu,
mungkin semacam itulah yang aku alami ketika tak sengaja aku bertemu
dengan Denny di hotel ini dua hari lalu. Kami ternyata sama-sama
menginap di hotel yang sama, dan kini Denny sedang bersamaku menghadapi
laptop kecil ini. Bahkan yang lebih gila lagi, ia kini sedang asyik
memain-mainkan penisku di lidahnya.
"Argh, terus, Den, terus!"
E N D