Jumat malam, waktu yang ditunggu-tunggu oleh
hampir semua orang kantor. Bagi yang sudah berkeluarga, tentu ingin
segera berakhir minggu dengan keluarganya, tapi bagi yang single sepertiku? Sudah lama tidak ada lagi yang 'apel' di rumah sejak pacarku
(atau teman kencan?) pindah keluar kota beberapa minggu yang lalu.
Sayang juga, padahal kami selalu saja melakukan hal-hal seru. Seperti
biasa, aku yang paling terakhir meninggalkan ruang kantor. Semua rekan
berpamitan pulang dengan wajah berseri-seri, ada yang dijemput pacar,
ada yang dijemput suami/istri dengan anak-anak, bahagia sekali
tampaknya. Aku merasa konyol, karena dengan bentuk dan paras seperti
aku, yang lumayan cantik (kata orang), dan kurus tinggi seperti yang
diinginkan banyak wanita lain, sebenarnya mudah sekali untuk
mendapatkan teman kencan. Tapi aku tidak tahu kenapa aku menolak banyak
ajakan rekan pria untuk kencan. Aku mulai merasa, apakah masa avonturir-ku
telah berakhir? apakah masa pengembaraanku di dunia 'bebas' telah usai?
Tapi beberapa saat setelah itu, aku sadar ternyata prediksiku itu
salah.
Aku terdiam lama di dalam Katana hijauku di tempat parkir. Waktu
masih menunjukkan pukul enam sore, terlalu dini untuk balik ke
apartemenku di gedung **** (edited). Tapi kalau mau pergi jalan-jalan,
juga terlalu sore. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi rumah seorang
kawan dekatku, Ira. Dia mantan kakak kelasku, usianya 28 tahun, lebih
tua 3 tahun dariku. Hidup sendiri cukup lama karena tidak juga
menemukan pasangan yang tepat, maklumlah, potongan dan gayanya terlalu
tomboy. Bicaranya pun kasar ceplas-ceplos, meski sebenarnya dia seorang
yang berhati emas.
Tak lama kemudian, Katana hijauku berhenti di depan rumah Ira.
Rumah mungil yang berwarna ungu dan berbentuk asimetris di sana sini,
khas rumah seorang arsitek. Kutekan bel pintu, dan muncullah temanku
itu, masih mengenakan kaos
overall longgar, dengan rambut acak-acakan yang poninya dijepit ke atas.
"Sari! Tumben main ke sini pas weekend! Nggak ada yang ngapelin yah?"
"Ah, tidak kok Mbak, emang lagi sendirian nih, sejak ditinggal Ditto."
"Lho, memangnya pasaran turun? Biasanya kan cepet banget nemu gantinya?"
"Enak aja, aku cuman lagi kehilangan adventure touch-ku, Mbak!"
"Hihihi, ah ayolah masuk! Tapi sorry ya, aku masih lagi ngerjain gambar."
Aku pun mengikutinya masuk ke rumahnya yang funky itu. Ruang tamunya
berdinding oranye, dengan kursi tamu dari ban bekas yang dicat warna
warni. Kertas-kertas gulungan berserak di sana-sini. Benar-benar
seniman tulen, pikirku.
Aku mengamati Ira yang berdiri di depan meja gambarnya yang tampak
rumit, sambil mengamatinya lagi. Sebagai seorang berdarah campuran
Belanda-Menado, Ira sangat cantik dan memiliki tubuh yang ideal. Memang
tidak setinggi aku, namun ia sangat langsing dan menarik, lekuk
pinggangnya begitu indah, pantat dan dadanya juga tidak berukuran
terlalu besar dan menggantung, tapi padat dan kencang. Rambutnya
panjang sebahu, kulitnya putih bersih, alisnya tebal, matanya pun indah
sekali, hidung dan dagunya lancip-lancip.
"Nggambar apaan sih Mbak?"
"Oh, ini project dari PT **** (edited)."
"Wah, duit besar nih, rupanya?"
"Tidak kok, cuman bantuin teman aja."
"Aku mengganggu kerjaan Mbak Ira, ya?"
"Nggak kok, Sar, deadlinenya masih lama, cuman aku aja yang pengen cepat selesai, biar cepet dapet duit, hihihi."
"Haha.. memang itu yang mesti dikejar Mbak, biar hidup tenang."
"Ah, gimana mau tenang, Sari? Rasa-rasanya boseen deh hidup sendirian."
"Yah, kenapa Mbak Ira tidak kawin aja?"
"Hahahaha.. kawin?"
"Iya, memangnya kenapa?"
"Belum laku sih, Sar!"
"Mana mungkin? Mbak Ira cantik gitu, masa nggak ada yang naksir?"
"Ah jangan puji-puji gitu dong, bisa ge-er nanti aku!" jawaban Ira yang terakhir itu dilakukannya sambil melirik padaku.
Lirikan itu terasa aneh, agak-agak.. gimana gitu. Aku sih, tadinya
tidak merasa apa-apa, tapi aku bingung juga, apa maksudnya. Lalu dia
bertanya lagi,
"Kamu sendiri gimana, Sar? Masih avonturir terus?"
"Yah.. seperti yang Mbak tahu lah."
"Ati-ati lho, Sar, jaman sekarang kan udah ngga sehat gaya hidup gitu."
"Ah, kan yang aku pilih itu sudah lewat seleksi semua, Mbak!"
"Iya sih, tapi ati-ati ajalah, siapa tahu ada yang kurang baik."
"Justru itulah, avonturirku ini kan bertujuan untuk menemukan yang terbaik!"
"Hahaha, ada-ada aja kamu, Sar. Omong-omong, ceritain dong tentang petualanganmu, siapa tahu aku jadi dapat hikmahnya!"
"Eits, masa aku harus cerita sampai sedetail-detailnya?"
"Hahaha, boleh aja, siapa tahu bisa menghangatkan suasana?"
Sampai kemudian ponsel Ira berbunyi. Kami lalu berhenti berbicara
dan ia berbicara cukup panjang di ponsel, dengan bahasa Belanda yang
aku tidak mengerti. Setelah minum segelas air es, kami duduk di sofa
ruang tengahnya yang nyaman. Rumah itu mungil namun benar-benar
tertata. Ruang tengah itu memiliki satu sisi dinding kaca, menghadap ke
halaman belakang yang tidak luas, namun indah sekali dengan tanaman
bunga-bunga dan kolam ikan. "Kamu tidak gerah pakai baju kerja gitu,
Sar? Copot blazernya laah!" Aku pun melepaskan blazer biru muda yang
kukenakan. Di balik blazer itu aku mengenakan kaos ketat pendek
berwarna putih. Ketat sekali hingga kedua payudaraku tercetak dengan
indah dan sempurna, sementara kaos itu juga amat pendek, hingga perutku
yang halus dan langsing bisa mengintip keluar. Dari tadi Ira menatap
tubuhku.
"Badan kamu bagus sekali, Sar. Fitness terus yah?
"Nggak kok Mbak, cuman berenang aja seminggu dua kali."
"Wah.. seharusnya otot-otot kamu keras dong?" kata Ira sambil memegang-megang lenganku.
Tapi pegangan-pegangan itu terus berubah menjadi remasan-remasan lembut, yang pelan-pelan bergerak ke pundakku.
"Hmm.. Bagus sekali badan kamu, Sari.. aku pengen punya badan seperti ini. Boleh nggak aku melihat sampai ke dalam-dalamnya?"
"Ahh.. Mbak Ira, emangnya badanku beda dengan badan Mbak?"
"Ya beda dong, Sar.. Badanku biasa aja, tidak sekencang badanmu, mau lihat?"
Sambil mengakhiri kata-katanya, Ira tiba-tiba menarik ujung kaosnya dari bawah, mengangkatnya ke atas, lalu terlepaslah kaos
oversize-nya
dari badan. Aku melihat tubuh Ira yang tak mengenakan apa-apa selain
celana dalam hitam. Kulit tubuh yang kuning langsat, halus mulus,
pinggang yang ramping, pinggul yang kencang, leher yang jenjang dan
halus, dan.. payudaranya sungguh indah, jauh lebih indah daripada
payudaraku sendiri yang aku bangga-banggakan. Bentuknya bulat, kencang
dan padat, putingnya berwarna kemerahan, dan tampak mencuat agak tinggi
di tengah lingkaran yang juga kemerahan.
"Eh.. Mbak.. kok gitu sih?"
"Kenapa, Sar? Jelek kan badanku? Susuku aja tidak sekencang dan
sebagus susu kamu.." katanya sambil tangannya meremas buah dadanya.
"Tapi bagian ini sensitif sekali.." katanya sambil jemarinya mengusap kedua putingnya, menarik dan memilin-milin.
Matanya setengah terpejam menatapku, dagunya agak terangkat,
ekspresinya tampak sedang menghayati rasa geli yang dibuatnya sendiri,
sambil mengeluarkan desahan lirih, "Mmm.. mm.." Aku pun bisa
membayangkan rasanya bila puting susuku diperlakukan seperti itu, aku
pun sudah pasti menggelinjang kegelian.
Diam-diam aku terangsang juga membayangkan kalau puting susuku
diplintir-plintir begitu oleh jemari seorang pria. Ira berhenti
memainkan putingnya, dapat kulihat kini betapa kedua puting susu yang
kemerahan itu kini menjadi semakin merah dan tampak tegang sekali
seperti penghapus pensil. Melihat dari bentuknya, tampaknya kedua
puting Ira sudah tak asing lagi dengan hisapan, jilatan, atau
perlakuan-perlakuan semacamnya. Aku pun secara iseng bertanya, "Mbak
Ira sudah pengalaman gitu, lho!"
"Ahh, kamu lebih berpengalaman lagi dong, Sar!"
"Maksudku.. kenapa Mbak tidak pergi kencan di malam minggu begini?"
"Nggaklah, Sar. Malam minggu gini, teman kencanku diapelin orang lain."
"Diapelin? emangnya..?"
"Iya, dia diapelin oleh pacarnya. Hari lain sih, kami bebas aja."
"Emangnya.. siapa sih teman kencan Mbak?"
"Kamu tahu si Renny kan? Yang psikolog itu?"
"Renny?"
Aku agak terkejut ketika mendapati bahwa sahabatku itu ternyata
bercinta dengan sesama jenis, padahal keduanya tampak normal saja,
tidak ada yang terlihat tomboy atau kelelaki-lakian. Bahkan Renny yang
diceritakannya itu sangat feminin dan dikenal sebagai wanita karier
yang sukses dan disegani di kota kami.
"Kenapa Sar? Jadi selama ini kamu belum tahu?"
"Sejujurnya sih.. belum."
"Hihihi, kamu terbebas dari gossip rupanya, eh? Dasar yuppies!"
"Eh.. Bener lho, aku tidak mengira sama sekali, Mbak."
"Hahaha, eh, Sar.. pernah nggak kamu membayangkan melakukannya dengan sesama wanita?"
"Hmm.. tidak tahu yah? Aku belum pernah membayangkan, atau terpikir ke arah sana sih.."
"Tahu tidak, Sar? Sesama wanita itu lebih nyaman. Tidak egois, penuh penghayatan dan emosi! tidak promosi lhoo!"
"Hmm.. aku bisa bayangkan bahwa seorang wanita mungkin lebih tahu cara memperlakukan badan wanita daripada pria."
"Jelas dong, kalau pria, mereka memperlakukanmu seperti permen karet!"
"Permen karet?"
"Iya, menelanjangimu, membawamu ketempat gelap, lalu menikmatimu
sehabis-habisnya, sampai mereka tidak merasa nikmat lagi, lalu kamu
dibuang begitu saja."
"Oh?"
"Iya, belum lagi, kadang-kadang mereka suka meniup permen karet jadi menggelembung gendut!"
"Hahaha.."
Kami tertawa-tawa lagi. Tapi sedikit banyak aku mulai membayangkan
gambaran Ira tadi, bahwa tidak ada yang lebih tahu tentang tubuh wanita
selain wanita sendiri.
Aku dari tadi bersandar di dinding kaca sambil bercakap-cakap
dengan Ira, pembicaraan mulai mengarah ke hal-hal yang membangkitkan
birahi, meski masih juga diselingi canda ria. Namun kini aku menyadari
kalau Ira mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, dekat sekali. Lalu
pelan-pelan tangannya menghampiriku dan menyentuh perutku yang
mengintip dari balik kaos pendekku. Entah kenapa, aku tidak melawan
ketika wajah Ira mendekati wajahku, lalu mulutnya mendarat di bibirku,
mengisap dan membasahinya dengan lidahnya. Aku merasakan kehangatan
yang berbeda dengan yang sudah pernah kurasakan dari belasan pria.
Sangat berbeda. Bibir wanita ini terasa lembut, lembab, dan membuat
bibirku terasa geli dan enak. Aku mulai merasakan tangan Ira yang dari
tadi hanya bermain di perutku mulai menyingsingkan kaosku ke atas, dan
kini kehangatan tangannya merambati pinggang dan punggungku, aku
merasakan hangat yang lain dari yang lain. Ira memejamkan matanya dan
mulai menggerakkan tangannya pelan-pelan ke atas. Mengusap
perlahan-lahan pinggangku, lalu kurasakan kehangatan telapak tangannya
yang halus meraba ke atas ke punggungku, aku sedikit berjingkat ketika
kehangatan itu tiba di tengkukku yang sangat sensitif, aku mengangkat
bahuku kegelian, tanpa sadar aku mengerang, "Ngghh.." Lalu bibirnya
meninggalkan bibirku, merambati rahangku sambil meniupkan nafas halus
yang membuat pertahananku semakin melemah.
Aku memiringkan kepalaku ke kiri ketika bibir dan lidahnya yang
lembut dan lembab serasa membelai leher dan telinga kananku, Ohh.. geli
sekali rasanya, namun aku tak ingin menghindar. Lidahnya bermain di
telinga kananku, membuat rintihan memelasku terdengar lagi. Di sela
jilatannya, kudengar Ira berbisik, "Sar, kulepas kaos kamu, ya?" Aku
hanya mengangguk lemah dan mengangkat kedua tanganku ke atas agar ia
dapat meloloskan kaosku dengan mudah, dan ia melakukannya. Kaosku belum
juga terlepas dari tanganku, dan masih menutup wajahku ketika kurasakan
hangat bibirnya tiba-tiba menciumi belahan dadaku yang halus. Di tengah
kegelian aku akhirnya mampu meloloskan kaosku dan melemparnya
jauh-jauh. Tangan Ira memeluk tubuhku erat-erat hingga aku dapat
merasakan kehangatan dan kelembutan kulit tubuhnya bersentuhan menempel
erat pada perut dan dadaku. Kehangatan yang serasa menyelimuti dan
menaungi tubuhku, memberiku rasa lemas yang tak terperi.
Bersambung...