Jemarinya bergerak melepaskan kaitan bra sport di punggungku. Lalu
penutup dadaku itu terlepas dan terlempar jauh menyusul kaosku tadi.
Ira melepaskan tubuhku yang kini tersandar lemah di dinding kaca yang
dingin. Matanya menatap tubuhku yang bagian atasnya telah terbuka.
"Sari.. kamu indah sekali.." Aku hanya diam menatapnya dengan sayu. Aku
mencoba tersenyum dan menegakkan berdiriku. Ira memegang pinggangku dan
menyuruhku berbalik menghadap ke dinding kaca. Karena di halaman lebih
gelap daripada di dalam ruangan, aku dapat melihat bayangan tubuhku.
Semampai dan ramping. Aku juga melihat bayangan Ira di kaca itu,
telanjang dada. Ia berlutut di belakangku, memeluk paha kananku dan
menyingkapkan sedikit rok miniku ke atas. Aku terus melihatnya
mengagumi dan mengusap-usap tungkai jenjangku yang senantiasa kurawat
dengan baik. Diusapnya, dibelainya dengan penuh perasaan. Uh, rasanya
geli sekali ketika Ira menjalankan lidahnya di paha sebelah dalamku.
Kegelian yang tak tertahankan menyerangku ketika Ira memainkan
jari-jari lentiknya pada celana dalamku, menggosok dan mengusap
kewanitaanku yang masih terbungkus celana dalam.
Aku menggeliat dan menggelinjang, kakiku terasa sulit menahan berat
tubuhku, hingga aku harus tersandar pada dinding kaca lagi. "Ohh..
Mmmbak Iraa.." Rintihku menahan geli dan birahi. Ia segera melepaskan
jarinya dari celana dalamku yang kini mulai sedikit lembab. Tangannya
mengurut-ngurut betisku, pahaku, dan pinggulku. Lalu ia kembali berdiri
dan membalikkan tubuhku kembali menghadapnya. Kami saling pandang
sebentar sebelum ia memegang kedua pergelangan tanganku dan menariknya
serta memeganginya menempel dinding kaca. Aku terdiam. Kedua tanganku
terentang ke samping dan dipeganginya. Kedua payudaraku terpampang
membusung ke hadapan Ira, bersentuhan dengan kedua pangkal payudaranya
yang juga ramping, kencang dan indah. Ia mendekatkan bibirnya ke
dadaku, dan aku dapat melihatnya menjilat-jilat bongkah payudaraku,
dibasahinya dengan lidahnya hingga akhirnya mulutnya yang mungil
menangkap pentil susuku yang kiri.
"Ahkk.. Mbak Iraa.." Ia menjilat-jilat kecil, menghisap lembut, dan
menggigit-gigit kecil pada pentilku bergantian yang kiri dan kanan.
Membuatku meringis menahan geli yang luar biasa. Gempuran rasa geli dan
birahi yang amat sangat. Aku tak mampu lagi terdiam, nafasku serasa
tersengal-sengal, aku tak mampu menggerakkan kedua tanganku yang
dicengkeramnya erat-erat di dinding kaca. Di sela perbuatannya, ia
bertanya,
"Gimana rasanya Sari sayang?"
"Ngg.. Mmbak.. ggelii sekali.. mmhh.."
"Merintihlah, Sayang, mengeranglah, aku pengen dengar suara kamu."
Lalu Ira semakin liar menjilat dan melumat-lumat puting-puting
susuku yang kini telah memerah dan mengacung tinggi. Aku merasa lemas
dan sulit bernafas karena serbuan birahi yang sudah tak mampu lagi aku
tahan-tahan.
"Merintihlah, Sari.."
"Aduhh.. Mmbaakk.. offhh.."
"Gimana rasanya, sayang?"
Ia meracau terus menyuruhku merintihkan kegelianku sambil terus
saja menjilat, melumat, dan mengulum-ngulum kedua putingku yang semakin
terasa geli dan sedikit ngilu karena sudah begitu tegang namun terus
dilumatnya. "Ohh.. enaakk sekali Mbakk.."
Tangannya kini melepaskan tanganku, dan kembali menyerang celana
dalamku di balik rok miniku yang telah tersingkap ke atas.
Disibakkannya celana dalamku ke samping, lalu jemari lentiknya pun
dengan bebasnya mengusap dan menggosok kewanitaanku. "Agghh.. Mmmbakk..
Aaaku nggak tahann.." Aku mengerang dan menggeliat tak karuan merasakan
kewanitaanku diucek-uceknya hingga terdengar suara seperti berkecipak
air. Cairan pelumas telah berleleran cukup banyak dari situ, membasahi
celana dalamku, membasahi rambut-rambut kemaluanku. Tak mampu lagi
berdiri, aku rebah ke lantai ruang tengah itu. Terlentang menyerahkan
tubuhku. Ira segera melucuti semuanya. Hingga tubuhku kini tak lagi
tertutupi apa-apa. Begitu juga tubuhnya. Ia membaringkan tubuhnya di
sampingku, memelukku erat, dinginnya lantai terasa kontras dengan
kehangatan tubuhnya. Wajahnya tampak bersemu merah menahan birahi yang
dari tadi ingin dilampiaskannya padaku. Dikulumnya bibirku, dijilatinya
leherku. Paha kami saling berkempitan, hingga aku dapat merasakan
kelembaban dan basahnya kewanitaan Ira pada pahaku.
Sementara aku kian tak mampu menahan rasa geli yang luar biasa karena pahanya sedang menggosok bibir-bibir kewanitaanku.
"Sar, gerakkan paha kamu, yang.. berikan padaku."
"Ohh.. Mbak.. Mbak Ira cantik sekali.."
"Kamu juga Sari, uhh.."
Paha kami saling menggosok kewanitaan masing-masing, rasanya sangat
nikmat. Perasaanku tak karuan lagi, antara rasa nikmat, geli, dan kagum
pada keindahan tubuh Ira yang kini menghimpit tubuhku dengan hangatnya.
Gerakan kami kian liar, meski posisi itu melelahkan, namun kami tak
peduli. Makin cepat kugesekkan pahaku pada kewanitaannya, makin keras
pula kurasakan getaran pahanya pada kewanitaanku. Sedikit sakit dan
ngilu, namun birahi kami mengalahkan segala rasa sakit.
Dengan gemas ia meremas susuku dengan kencang namun lembut, makin
membuatku melayang-layang lupa daratan. Kujilati lehernya yang jenjang
sempurna, kugigit. Ia juga melakukan hal yang sama pada pundak dan
leherku, jari-jarinya menarik dan memilin-milin pentil susu kananku
sementara payudara kiriku berhimpitan dengan payudaranya.
"Ohh.. Ssarii.. aaku hampirr.."
"Aduuh, Mmbakk.. aku juga.."
Kami bergerak semakin cepat, pelukan kami semakin erat. Mataku
terpejam, aku seperti mendengar rintihan dan erangan kami memenuhi
ruangan, begitu pula aroma kewanitaan kami. Keringat dingin membasahi
tubuh telanjang kami, paha kami terus menggesek kewanitaan kami,
kenikmatan terasa bergulung-gulung mendekati tubuhku. Aku tak tahu apa
yang terjadi, namun tiba-tiba tubuh Ira meregang dahsyat, ia
mencengkeram tubuhku erat-erat, gerakannya terhenti. "Sarii..
Aaahhgg.." Gelombang orgasme telah melanda jiwanya, wajahnya tampak
sayu dan meringis menahan kenikmatan yang luar biasa, ekspresinya itu
memberikan sensasi yang luar biasa padaku, aku seperti teraliri listrik
lain, menyengat seluruh tubuhku, aku merasakan otot-otot kemaluanku
menegang, tubuhku meregang disengatnya.
Kenikmatan menyambar tubuhku, keras sekali merenggut kesadaranku
untuk sesaat. "Aduhh.. Mbakk.. Ohh.." Aku memejamkan mata, menghayati
perasaan itu. Nikmatnya terasa melambungkan tubuhku, aku tak lagi sadar
bahwa aku sedang merengkuh erat tubuh sahabatku, sesama wanita.
Semuanya terasa hangat, panas, mataku agak berkunang-kunang, lalu untuk
beberapa saat semuanya gelap. Yang dapat kurasakan hanyalah kenikmatan
yang bermuara dari kewanitaanku, serta hangatnya tubuh indah Ira yang
erat memeluk tubuhku.
Beberapa menit kemudian aku membuka mata. Seluruh tubuhku terasa
ngilu dan pegal. Aku terbaring tanpa busana di lantai ruang tengah
rumah Ira. Aku mencoba untuk mengangkat kepalaku yang terasa berat,
mendudukkan tubuhku. Kakiku terasa kejang dan ngilu. Aku tersandar di
dinding kaca. Melihat seluruh ruangan, dan mendapati tubuh Ira,
teronggok lunglai di hadapanku. Keindahan tubuh itulah yang baru saja
aku hangatkan, dan memberikan kehangatan pada tubuhku. Ira tampak
terlelap dalam alam birahinya. Aku mengangkat tubuhku dengan susah
payah, kedua tungkai jenjangku mencoba menahan berat tubuhku. Aku
melihat bayangan pada dinding kaca. Menatap wajah dan badanku sendiri.
Bekas-bekas gigitan berwarna merah kecokelatan tampak pada pundak,
leher, dan seputar pentil susuku. Di bawah perutku yang langsing tampak
rambut-rambut ikal yang kini seperti keriting karena terkena cairan
kenikmatan yang mulai mengering.
Lalu kutatap wajahku sendiri. Ada perasaan yang aneh. Perasaan
bersalah, perasaan bingung. Setelah petualangan bertahun-tahun dengan
belasan pria. Baru kali ini aku melakukannya dengan sesama wanita. Tadi
memang aku merasakan keindahan dan kenikmatan tiada tara. Tapi kini,
ada rasa yang aneh. Rasa tidak enak pada diriku. Terlebih lagi, aku
melakukannya dengan sahabatku Ira. Yang lebih tua, yang selama ini aku
hormati dan hargai.
"Sari.." Rupanya Ira telah tersadar dan melihatku sedang menyesali
diri di hadapan kaca. Ia masih terbaring telentang dengan indahnya di
tempatnya. Namun ia kini mulai berdiri dengan gontai. Dipeluknya
tubuhku dari belakang. Bukan pelukan birahi, bukan pelukan penuh nafsu,
namun pelukan seorang kakak.
"Sari, maafin aku, ya?"
"Nggak apa-apa Mbak, Aku cuman merasa bersalah aja."
"Karena apa? karena itu aku? atau karena itu sesama wanita?"
"Bukan Mbak, tapi karena aku sendiri."
"Nggak usah kamu sesali, Sari. Kita melakukannya karena
menginginkannya. Bukankah itu yang selalu kamu omongin pada semua
orang?"
Untuk sesaat aku tersentak mengingat kata-kata yang pernah aku ucapkan sendiri dengan bangga pada semua orang itu.
"Aku sayang kamu, Sari."
"Ngg.. Aku juga, Mbak. Tapi.. ini berbeda."
"Iya, aku tahu. Kamu memang bukan sepertiku."
"Maksud Mbak.. aku benar-benar straight?"
"Yup! Straight as an arrow. Petualanganmu tidak mengubah hatimu.
Kamu tetap Sari yang dulu, yang lucu, yang lugu, dan serba ingin tahu."
Aku mencoba tersenyum mendengar kata-kata Ira. Mungkin ia benar.
Mungkin sudah waktunya petualangan ini diarahkan untuk mencari yang
tepat. Bukan lagi untuk mencari kesenangan atau perasaan menang. Bukan
lagi untuk meniti jenjang karir. Bukan lagi untuk mencari perasaan
menaklukkan.
"Sari, ingat tidak, waktu kamu bilang, bahwa sebebas-bebasnya kamu
bertualang, kamu tidak akan pernah merugikan orang lain, atau merusak
rumah tangga orang lain?"
"Iya.. aku ingat."
"Aku yakin, dibalik keliaran kamu selama ini, kamu sebenarnya hanya sedang mencari yang terbaik buat diri kamu."
"Jadi?"
"Jadi.. well.. hiduplah dengan wajar seperti semula. Lupakan apa
yang pernah terjadi di antara kita barusan. Anggap saja ini sebagai
ugkapan persahabatan. Seperti yang sering kamu lakukan dengan
teman-teman priamu."
"Aku tidak tahu lagi, Mbak. Mungkin selama ini aku hanya mencari
kesenangan aja. Mencari kepuasan. Dan bukannya mencari yang terbaik
seperti yang Mbak barusan bilang."
"Aku ngerti. Apakah yang kita lakukan barusan ini akan mengubah kamu? Kalaupun iya, seberapa lama?"
"Aku benar-benar tidak tahu Mbak."
Ira mebalikkan tubuhku menghadapnya, lalu memelukku. Kehangatan
tubuhnya tak lagi terasa seperti membakar birahi. Namun seperti
kehangatan seorang ibu, yang sudah lama tidak pernah aku rasakan sejak
orang tuaku meninggalkanku di sebuah panti terkenal di kota ini, tempat
aku pertama kali mengenal Ira.
"Dengar, Sari.. Lakukan yang kamu rasa terbaik. Untuk orang
tertentu, Cobalah untuk melibatkan cinta, melibatkan kasih sayang,
tidak hanya berorientasi kenikmatan, kepuasan, atau karir."
"Hmm.. aku akan coba, Mbak.."
"Tapi, kalau untuk sekedar memberimu rasa senang.. well, I think it'll be OK to do it just for fun! Just like we did just now!"
Kami tersenyum, lalu kembali tertawa, suasana kembali mencair.
"Sari, nothing can change you but yourself. Ikuti aja kemana
pikiranmu membawamu. Selama kamu pikir itu akan memberimu kemajuan,
lakukanlah, kalau tidak, ya.. pikirkanlah lagi."
"OK, Mbak. Aku akan mencari yang terbaik. Tapi kalau lagi pengen..
well.. yaah.. boleh kan kalau kadang-kadang nelfon Mbak Ira lagi?"
Kami tertawa-tawa lagi, meski di dalam kepala ada rasa haru
mengingat kembali betapa para pengasuhku menaruh harapan besar padaku,
untuk menjadi yang terbaik. Cukup lama kami berpelukan sebelum kami
mandi dan berpakaian, sampai akhirnya beberapa sahabat tiba di rumah
Ira, untuk makan malam. Sampai semuanya pulang, aku berpamitan dengan
Ira. Dan dia mengecup bibirku, lalu berkata.
"Sari.. thanks yah. Yang tadi itu.."
Ira mengedipkan mata kirinya, kami tertawa-tawa kembali. Lalu aku
mengemudikan kembali Katana hijauku ke apartemenku, istanaku. Tempat
dimana si pemburu beristirahat dan menggantung senapannya. Sebelum
keesokan hari membidik sasaran baru. Sambil berharap suatu saat akan
menemukan yang terbaik.
TAMAT