Salam kenal, beberapa waktu lalu, seorang kawan
mereferensikan pada saya untuk mengunjungi website sumbercerita.com ini, dan
setelah membaca-baca, saya ingin mencoba berbagi cerita. Nama saya,
sebut saja Ivon, saya tinggal dan bekerja di London, Inggris, di bagian
administrasi sebuah perusahaan trading. Waktu itu, saya berusia 28
tahun, tinggi/berat 164 cm/41 kg, dan bentuk badan saya biasa saja,
cenderung agak langsing dan tidak bertonjolan di dada dan pinggul.
Saya ingat, malam itu saya sedang berada di kantor untuk
menyelesaikan sisa-sisa kerjaan. Sebentar lagi akan libur musim panas
selama lebih kurang 2 minggu, jadi saya tidak ingin liburan saya
terganggu oleh pikiran tentang kerjaan yang belum kelar. Beberapa yang
berpamitan dan mengucapkan happy holidays hanya saya jawab dengan
senyum manis dan jawaban pendek "You too!" di sela-sela kesibukan saya
menghadap ke layar monitor.
Semua berlangsung begitu saja, sampai akhirnya di kantor kecil itu
hanya ada saya, beberapa penjaga malam, dan si pemilik kantor, sebut
saja namanya Pak Smith. Agak lama kemudian, saya mendengar ribut-ribut
di lantai bawah, suara orang membentak, suara kegaduhan dan banyak
lagi.
Saya merasa agak takut dan mengintip dari jendela ke arah jalanan
di bawah sana. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam sedang
terparkir di depan kantor. Celaka! Pikir saya. Itu pasti segerombolan
preman kasar pegawai perusahaan Italia yang menagih uang keamanan.
Benar-benar menjengkelkan sekali, karena penyebab ketidakamanan itu
adalah mereka sendiri. Tapi jika kantor-kantor kecil seperti kantor
saya ini telat membayar tagihan, mereka akan melakukan hal-hal yang
diluar perikemanusiaan.
Saya memberanikan diri menuruni tangga untuk mengintip apa yang
terjadi di ruang bawah. Saya lihat boss saya, Pak Smith sedang
menghitung sejumlah uang dengan tangan gemetar. Di hadapannya, tampak
dua orang pria bertubuh tinggi besar. Yang satu berkulit hitam legam
dan berkepala gundul, sementara yang satunya lagi berwajah ganteng khas
Italia, namun tampangnya juga tampak seram saat itu, dengan memasukkan
tangan ke kantong, yang mungkin saja ada pistolnya. Namun ada seseorang
lagi bersama dua orang centeng itu. Seorang wanita berkebangsaan Asia
yang kurus tinggi berpakaian mahal. Sebenarnya ia cantik di balik kaca
mata biru yang dipakainya, namun gayanya berdiri di depan Pak Smith
sambil berkacak pinggang itu benar-benar menyebalkan dan menakutkan.
"Ivon! Tolong ambilkan dua puluh pound dari ruanganmu!" tiba-tiba
Pak Smith memekik karena uang yang harus dibayarnya agak kurang.
Dengan tergopoh-gopoh saya berlari ke kantor saya, mengambil dua puluh pound dari laci, lalu berlari kembali menuruni tangga.
"Berikan langsung pada mereka!" ujar Pak Smith yang masih berdiri dengan gemetaran.
Saya menyodorkan dua lembar sepuluh pound itu ke arah mereka, dan si wanita Asia langsung menyambarnya dari tangan saya.
Entah kenapa, tapi wanita itu tidak segera mengalihkan
pandangannya, ia menatap saya dari balik kaca mata birunya. Mungkin
karena kurang puas, ia melepaskan kacamatanya, dan terus menatap saya.
Sepasang mata paling mengerikan dan paling tajam yang pernah saya lihat
sepanjang hidup saya. Saya hanya diam terpaku sambil melangkah mundur
perlahan.
"Jangan mundur!" bentak wanita itu dengan dialek British yang kental.
Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah saya, membuat saya menundukkan pandangan karena gemetar.
"Lihat ke arah saya!" bentaknya lagi, masih dengan bahasa Inggris beraksen British yang sangat kental.
Saya melihat ke arah matanya, dan sepasang mata itu tidak lagi setajam tadi.
Ia menunjuk name-tag di dada saya dan berkata, "Ivon. Hmm, Indonesian name, isn't it?" tanyanya lagi, dengan nada datar.
"Y-Yes, It is." jawab saya agak terbata-bata, khawatir kalau-kalau ia menyakiti saya.
Pak Smith juga tak kuasa melakukan apa-apa untuk menolong saya, karena dua orang preman tinggi besar itu memperhatikannya terus.
"Kalau gitu, diskon sepuluh pound deh!" ujar wanita Asia itu, benar-benar dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Ia menyodorkan pada saya lembaran sepuluh pound yang tadi saya berikan padanya, dengan agak gemetar saya menerimanya.
Wanita itu tersenyum dingin, dan berkata lirih, "Maaf Ivon, aku cuma mengerjakan tugas, demi keselamatanku sendiri."
Lalu ia berpaling ke arah dua rekannya sambil memberi kode mengajak
pergi. Pak Smith dan saya hanya diam terpaku melihat ketiga manusia
sangar itu meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan keras.
Sejenak sebelum menutup pintu, si wanita sempat melirik ke arah saya
dan mengerdipkan mata kanannya, seolah memberikan satu isyarat yang
saya tidak pernah mengerti.
Setelah malam yang menegangkan itu usai, liburan tiba, dan semuanya
berjalan biasa-biasa saja. Saya pergi ke Paris bersama keluarga saya
selama seminggu, lalu kembali ke London untuk menghabiskan sisa liburan
di sini. Rasanya, saya sudah lupa akan kejadian dengan para debt
collector seminggu sebelumnya. Namun apa yang terjadi siang ini seperti
membuat saya tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.
Saat itu saya sedang menemani tante dan om saya dari Indonesia
mengunjungi museum Madame Tussaud. Usai melihat-lihat patung lilin di
museum itu, tante dan om saya naik kereta kembali ke hotel mereka,
sementara saya masih berjalan-jalan di Bakerstreet (tempat museum tadi
berada), karena banyak teman asal Indoneisa yang menginap di
apartemen-apartemen sekitar situ.
Waktu saya sedang berjalan cepat di trotoar, saya merasa ada yang
berjalan di sebelah kiri saya dengan kecepatan yang sama. Saya tidak
terlalu memperdulikan, dan mempercepat jalan saya, namun ia juga
mempercepat jalannya hingga terus sejajar dengan saya.
Tiba-tiba ia mencolek bahu saya, "Hi Ivon, lupa sama saya ya?" sapanya dengan bahasa Indonesia.
Saya menengok ke arahnya dan kaget setengah mati. Wanita Asia yang
kerja untuk Mafia itu! Saya sempat berniat kabur, namun ia memegangi
lengan saya.
"Hey, jangan kabur dong!" ujarnya ramah, meski mengenggam kuat lengan saya.
Akhirnya saya pasrah saja diajaknya minum di sebuah kafe pinggir jalan.
Saya waswas melihat ke kiri kanan, kalau-kalau dia ditemani dua
orang centengnya tempo hari. Tapi ia tampak tenang saja sambil
tertawa-tawa mengatakan bahwa dia sedang diluar jam kerja.
Singkat cerita, kami mengobrol panjang lebar di kafe itu. Lambat
laun, rasa takut saya mulai hilang, berubah jadi rasa persahabatan.
Maklum, di negeri orang, siapapun yang sebangsa dengan kita akan
menjadi sahabat yang sangat baik, siapapun dia.
Namanya, sebut saja Jenny. Ia menceritakan sejarah kedatangannya ke
Inggris untuk menyelesaikan S2-nya, juga tentang keterlibatannya dengan
para Mafia itu, yang disebabkan karena ia sedang kesulitan ekonomi. Ia
berencana untuk mengumpulkan uang dulu sebelum meninggalkan Inggris. Ia
bercita-cita untuk pulang ke Indonesia, dan bekerja memanfaatkan gelar
MBA-nya selama beberapa tahun, lalu membuka usaha sendiri berbekal
pengalaman dan manajemen Italia yang dipelajarinya di lingkungan Mafia
ini. Saya bersimpati padanya, sekaligus mengagumi keberaniannya
menceburkan diri ke lingkaran yang begitu 'hitam' dan berbahaya itu.
"Kamu nggak punya boyfriend kan?" tebak Jenny di sela obrolan.
"Kok kamu tahu?" tanya saya balik.
"Old Fashioned dan pendiam, kalau nggak dijodohin mana mungkin dapat pacar?" katanya sambil tertawa kecil.
Saya tersipu malu, menyadari bahwa 'tongkrongan' saya memang
terkesan tertutup, saya juga pendiam dan tidak banyak bicara. Beda
dengan Jenny yang tampaknya ceplas-ceplos dan tidak kenal takut atau
malu. Dia dapat berkelakar dalam bahasa Indonesia maupun Inggris dengan
sangat lancar, bahkan dengan para waiter di kafe itu, yang baru saja
dikenalnya. Diam-diam, saya bersyukur dapat berkenalan dengan seorang
'putri mafia' (nama ejekan saya untuknya) seperti dia ini.
Tanpa terasa hari mulai malam, dan Jenny mengajak saya meninggalkan
kafe. Karena apartemen saya agak jauh, ia menyarankan saya untuk
tinggal di apartemennya. Saya menurut saja karena sudah terlanjur
percaya. Ia mengajak saya berjalan kaki melewati jalan-jalan yang saya
belum pernah lewati, daerah-daerah lampu merah, daerah kumuh, dan
daerah pusat hiburan malam. Benar-benar sisi lain dari London yang
tidak pernah saya lihat, meski saya sudah menetap disini selama 3
tahun.
"Nggak usah takut, Von." katanya sambil melangkah cepat, "Kita aman di daerah sini."
Saya berusaha untuk tetap tenang, meski di kiri kanan saya melihat
pria-pria bertubuh besar sedang mabuk atau teler karena narkoba.
Wanita-wanita jalang juga tampak berkeliaran di daerah yang saya tidak
tahu namanya itu. Namun Jenny berjalan dengan cuek, sambil sesekali
menyapa orang di sekitar situ dengan akrab. Saya sempat heran, orang
macam apa sebenarnya teman saya ini.
Akhirnya kami sampai di apartemennya. Sebuah apartemen yang dari
luar tampak kumuh dan jelek. Namun begitu saya masuk ke kamarnya,
semuanya terasa berbeda. Meski tidak besar, ruangannya tertata rapih
dan dipenuhi perabotan kelas menengah, penghangat listrik, seperangkat
laptop, juga ponsel (yang pada tahun itu belum begitu populer). Satu
hal yang membuat saya bergidik adalah sepucuk pistol kecil berwarna
perak tergeletak di samping ponselnya.
Ia mempersilakan saya duduk di ranjang, lalu membuatkan saya
segelas teh hangat. Darjeeling tea, teh yang tergolong mahal. Ketika
saya bertanya tentang teh itu, Jenny menjawab bahwa teh itu diambilnya
dari sebuah hotel kecil tempat ia menagih hutang. Tanpa rasa risih,
Jenny menanggalkan celana panjang dan raincoat-nya. Sambil hanya
mengenakan kaos oblong dan celana dalam, ia mondar mandir di situ.
Mencuci muka, sikat gigi, dan menyisir rambut, seolah-olah sudah sangat
akrab dengan saya. Diam-diam saya iri melihat tubuhnya yang ramping dan
cukup jangkung untuk ukuran Indo, sangat menarik. Saya kira tidak akan
ada pria ataupun wanita yang tidak mencuri pandang ke arahnya saat
berada di tempat umum.
"Ngeliatin apa, Von?" tanyanya membuat saya tersipu.
"Ngeliatin badan kamu." jawab saya mencoba untuk tidak malu, "Bagus banget."
"Hihihi." ia tertawa kecil, "Kamu juga sexy kok."
Terus terang, saya kege-eran juga mendengar pujiannya. Apalagi
setelah ia mengatakan itu, ia menatap saya dalam-dalam sambil
menyunggingkan senyum aneh.
Ia lalu melangkah mendekati saya. Saya terpaku di bibir ranjang
sambil memegangi cangkir teh yang sudah kosong, seolah tidak tahu harus
berbuat apa. Dengan was-was saya melirik ke arah buffet tempat
pistolnya berada, dan merasa agak tenang karena pistol itu masih ada di
situ. Tiba-tiba dia sudah ada di hadapan saya.
"Mana gelasnya?" bisiknya sambil meraih cangkir dari tangan saya dan meletakkannya di karpet.
"Kamu manis sekali, Von." bisiknya lagi, sambil melepaskan kacamata saya yang minus tujuh.
Lalu ia naik ke ranjang dan memeluk saya dari belakang.
Mula-mula saya gemetar dan takut mengingat bahwa Jenny adalah
seorang anggota mafia, ditambah juga perasaan rikuh karena dipeluk
sesama wanita. Saya mencoba untuk berontak secara halus.
Namun ia tetap memeluk pinggang saya dan berbisik di kuping kiri, "Jangan takut, Von. Nikmati saja."
Saya hanya bisa diam dan mencoba menikmati.
Ia lalu membuka satu persatu kancing baju saya yang terletak di
bagian belakang, sampai punggung saya benar-benar terbuka di
hadapannya. Dengan lembut juga ia melepaskan kaitan BH di punggung
saya. Lalu terasa tangannya yang halus memijat dan mengelus punggung
saya. Hangat dan lembut.
"Punggung kamu halus sekali, Von." bisiknya, "Pasti kamu rawat dengan baik, ya? Hmm?"
Ia lalu membelai rambut saya yang lurus dan panjang sebahu,
disibakkannya ke samping, lalu lagi-lagi ia memuji saya, "Tengkuk kamu
bagus, aku terangsang banget ngeliatnya, boleh aku cium?"
Tanpa menunggu jawaban saya, ia langsung menciumi leher dan
tengkuk saya. Saya memejamkan mata merasakan kehangatan itu. Kehangatan
yang belum pernah saya rasakan selama hidup, karena saya belum pernah
sekalipun berpacaran.
Ciumannya menjalar kemana-mana, ke dagu saya, rahang, telinga, aahh
rasanya geli sekali, namun membuat saya jadi lupa daratan, dan
menyerahkan diri padanya. Tangannya mulai meraba-raba ke balik baju
saya, mengelus-elus perut saya, sambil mulutnya terus membisikkan
kata-kata indah memuji keindahan tubuh saya. Kata-katanya membuat
perasaan saya jadi PD (percaya diri), karena selama ini saya minder
dengan tubuh saya yang kurus.
Lidahnya menjilat-jilat punggung saya, tengkuk saya, dan bahu saya.
Kulit saya terasa merinding dan badan saya menggelinjang kecil. Hal itu
membuat Jenny makin bersemangat. Ia melucuti baju dan BH saya hingga
tubuh bagian atas saya benar-benar telanjang. Ia menyuruh saya berdiri
dan menjauh dari ranjang. Saya menurut saja, meski merasa agak gila.
Bersambung...