Di bawah sinar lampu yang terang benderang, saya berdiri setengah
telanjang di hadapan seorang wanita yang baru saja saya kenal tadi
siang. Wanita mafia pula! Namun entah kenapa, saya menikmati
permainannya, saya menikmati tatapannya yang lekat ke sekujur tubuh
saya. Bola matanya tampak tajam menatap dua buah dada saya. Seharusnya
saya merasa malu, namun saya malah menegakkan tubuh, membusungkan dada,
hingga Jenny bebas menikmati keindahan dua susu saya yang berwarna
lebih terang dibandingkan tubuh saya yang sawomatang, lengkap dengan
dua putingnya yang coklat tua.
Jenny terbaring miring di ranjangnya dengan pose yang amat
merangsang. Garis pinggulnya tampak begitu indah, pahanya yang mulus
dan putih bersih begitu panjang dan menggoda. Kaosnya oblongnya agak
tersingkap ke atas, membuat perutnya yang indah mengintip nakal. Celana
dalam yang dipakainya pun hitam transparan menunjukkan rambut-rambut
halus di selangkangannya. Matanya meredup dan bibir basahnya berbisik
agar saya kembali naik ke ranjang.
"Kamu cantik sekali Von." bisiknya lagi saat saya menelentangkan diri di ranjang.
"Kamu juga, Jen." saya sudah mulai berani menjawab.
Ia lalu mendekatkan wajahnya, lalu mulut-mulut kami berciuman
dengan mesra. Saat itulah saya pertama kali berciuman, merasakan
lidahnya masuk ke mulut saya, menjilat dan menghisap-hisap bibir bawah
saya, mm, nyaman sekali.
Bibirnya lalu melepaskan bibir saya dan beranjak menuruni rahang
dan leher saya. Lidahnya yang hangat berputar-putar di pangkal susu
saya, membuat saya kegelian. Tangan saya membelai-belai rambutnya yang
lurus dan pendek seleher. Entah kenapa, tapi saya merasakan hal yang
berbeda. Saya merasa dikagumi, diperhatikan, dan dicintai. Sebuah
perasaan yang tidak pernah saya dapatkan dari siapapun kecuali orang
tua saya. Namun kali ini rasanya benar-benar lain.
"Von, susu kamu indah sekali." bisiknya dengan suara setengah merintih.
"Ciumin dong Jen." pinta saya tidak sabar.
"Haa, kamu udah pengen ya?" godanya.
"Kok tau sih?" jawab saya kembali menggoda.
"Pentil kamu udah tegang gini." jawabnya cuek sambil menatap ke dua puting susu saya.
Saya mengangkat kepala untuk melihat ke susu saya, dan benar, kedua
puting ini tampak berdiri meruncing. Saya tersipu malu. Namun Jenny
segera menangkap puting susu saya dengan mulutnya.
"Engghh.." saya langsung mengerang sambil menggelinjang ketika puting susu saya dihisapnya.
Saya mendongakkan kepala, merem melek dan mengerang-ngerang. Aduhh,
puting susu saya rasanya begitu nikmat. Saya tidak tahu apa yang Jenny
lakukan, namun kedua puting saya tidak henti merasakan belaian lembut
dan hisapan-hisapan halus. Rasa nikmatnya mengalir ke seluruh badan
sampai rasanya seperti lemas dan pasrah padanya. Ohh, benar-benar mabuk
kepayang. Betapa tidak, rasanya nikmaat sekali. (Mengetikkan cerita ini
saja membuat dua puting susu saya terangsang lagi mengingat rasanya).
Entah berapa lama Jenny memainkan susu saya, tapi rasanya seperti
bertahun-tahun terperangkap dalam rasa nikmat. Sampai-sampai vagina
saya terasa gatal dan mengeluarkan cairannya. Padahal hanya susu saya
saja yang dimainkannya. Aduhh, Jenny benar-benar mengerti bagaimana
menaklukkan seorang wanita innocent seperti saya ini. Ia terus
mengulum, menjilat, dan menghisap, dan entah ngapain lagi di kedua
puting saya ini, yang jelas saya begitu menikmatinya. Sampai saya
mencengkeram tengkuknya agar mulutnya tidak lari dari puting saya. Mata
saya 'kiar-kier' menahan nikmat, mulut saya terus mengerang-ngerang
keenakan.
"Uhh, Ohh.. Ahh.. Jennyy.. Aduhh.. enaknyaa.. Ohh.."
Jenny seperti tidak perduli, ia terus saja membuat kedua puting ini
merasakan rangsangan luar biasa. Badan saya menggelinjang-gelinjang
hebat, punggung saya terangkat-angkat dari ranjang karena tidak kuat
menahan enaknya permainan ini. Tiba-tiba Jenny berhenti. Saya
terengah-engah lemas, dua susu saya terasa menyesak dan berat.
"Von.. Oi, buka mata kamu, Von..!" ujar Jenny sambil masih memilin-milin puting saya.
Saya membuka mata dan susah payah mengangkat kepala melihat ke arah
dada saya. Astaga! Puting-puting saya yang selama ini coklat tua, kini
jadi berwarna merah daging, dan begitu besar. Tidak pernah saya melihat
puting saya sendiri berdiri begitu tingginya. Dua susu saya pun terasa
agak membengkak.
"Ohh, Jenny.. kamu apain susuku..?" desah saya naif.
"Belum pernah ya?" bisiknya menggoda, "Tapi enak kan?"
Saya mengangguk lemah sambil berusaha tersenyum. Tangan saya meraih susunya dari balik kaos, tapi ia menepiskannya.
"Eits, mau balas dendam ya? Nggak boleh!" godanya nakal.
God, saya merasa jatuh cinta padanya, pada kenakalannya, pada kedewasaannya.
Tanpa banyak bicara, Jenny lalu melucuti celana dan celana dalam
saya. Sudah tidak ada lagi rasa takut, malu, atau risih di hadapannya,
malah saya merasa tidak sabar menanti permainan berikutnya.
Dilemparkannya celana panjang saya jauh-jauh. Lalu ia menciumi paha
saya.
"Wow, paha kamu halus banget! Aku jadi iri!" ujarnya sambil menciumi.
Saya agak malu, karena paha dan kakinya jelas-jelas lebih panjang dan lebih indah.
"Kangkangin dong, aku pengen lihat lebih jauh!" katanya lagi.
Saya mengangkangkan paha saya lebar-lebar, membiarkannya melihat
jelas-jelas kemaluan saya. Saya agak heran melihatnya
menggeleng-gelengkan wajah cantiknya sambil menatap kemaluan saya.
"Kenapa, Jen?" tanya saya ragu.
"Aghh.." saya terhenyak sedikit ketika ia mencolek kemaluan saya.
"Lihat nih!" Jenny menunjukkan jarinya yang dibasahi oleh lendir
kental bening, banyak sekali, "Kamu udah terangsang banget ya, Von?"
"Gimana nggak terangsang?" tanya saya balik, "Abis kamu gituin sih."
Jenny tersenyum sekilas, lalu membenamkan wajahnya di selangkangan
saya. Dan saat itulah saya merasakan hal terindah dalam hidup saya.
"Ngghh.. Jennyy.." saya memekik keras menyebutkan namanya saat Jenny mulai menggerakkan lidah dan bibirnya di kemaluan saya.
Ohh, saya tidak tahu apa yang dilakukannya di bawah sana, tapi
rasanya sungguh nikmat. Saya terhentak-hentak merasakannya, wajah saya
meringis keenakan, menggeliat-geliat untuk menahan rasa nikmat yang
luar biasa ini. Saya seperti bingung, berusaha meraih dan mencengkeram
apapun yang dapat saya raih, sprei, bantal, tiang ranjang, apapun.
Sementara mulut Jenny di bawah sana mengeluarkan bunyi berkecipak.
Kemaluan saya terasa seperti digosok keras-keras oleh benda lunak
dan lembab, enak sekali. Tiap gesekannya terasa nyetrum ke seluruh
badan ini. Kepala saya terangkat-angkat dari ranjang, paha saya
menghimpit kepala Jenny. Tiak lama kemudian, Jenny memasukkan jarinya
ke lubang kemaluan saya. Uhh, pada saat yang sama, saya mencapai
klimaks kenikmatan.
"Aduhh Jennyy.. Oughh.." serasa ada yang menyembur keluar dari kemaluan saya, begitu deras dan nikmat.
Saya sampai meremas sendiri dua susu saya untuk menambah
kenikmatan, hingga semuanya sempurna. Lalu saya merasa lemas sekali.
Terkulai dan terengah-engah kelelahan. Saya memejamkan mata, menikmati
sisa-sisa orgasme pertama yang saya rasakan. Terasa Jenny meninggalkan
ranjang, mengecup kening saya, lalu saya tertidur di tengah kenikmatan
maha dahsyat ini.
Pagi berikutnya, saya baru terbangun dari tidur panjang saya yang
begitu nikmat. Badan terasa segar dan nyaman, meski kedua kaki saya
terasa agak pegal. Saya bangkit duduk, dan cepat-cepat menarik selimut
untuk menutupi badan telanjang saya. Betapa tidak, di ruangan itu,
Jenny tidak sendiri bersama saya. Wanita itu tampak sedang berbicara
dengan seorang pria berwajah Italia. Bukan salah satu dari centengnya
kemarin, tapi seorang pemuda ganteng berkaca mata, dengan dandanan yang
rapih.
"Wah, pacarmu sudah bangun rupanya." ujar si pria Italia saat melihat saya terjaga.
"Ya, dan itu berarti waktumu untuk pergi." jawab Jenny dengan dialek British yang amat sempurna.
"Oke, aku pergi." jawab pria Italia itu sambil tersenyum.
"Hey, suatu saat aku ingin bertukar tempat denganmu!" seru pria itu sambil menatap ke arah saya dengan senyuman ramah.
"Kalau aku mau, nanti malam juga bisa!" canda Jenny sambil menepuk bahu pria itu, mengantarkannya keluar kamar.
Aku agak tertegun setengah marah mengetahui Jenny membiarkan orang
lain masuk ruangan saat aku masih tertidur dalam kondisi telanjang
bulat. Namun aku seperti tidak tega mengutarakan perasaan itu. Aku
melihat Jenny membawa nampan berisi sarapan pagi ke dekat ranjang dan
mempersilakanku makan. Aku menurut saja, karena memang permainan
semalam membuatku kelaparan pagi ini. Jenny berdiri bersandar di
dinding sambil melihatku makan.
Pagi itu ia tampak segar dan cantik. Rambutnya yang pendek seleher
diikat ke belakang hingga tengkuknya yang jenjang terlihat begitu
indah. Ia mengenakan kaos T-Shirt hijau tua dan celana pendek putih,
memamerkan kaki-kakinya yang bagus itu. Ia melihatku makan dengan
tatapan bahagia. Sejujurnya, aku amat terharu dengan sikap manisnya
padaku.
"Von.." ujarnya lirih.
"Kenapa, Jen?"
"Maaf ya, semalam aku kurang ajar sama kamu." sambungnya, "Maaf juga soalnya aku biarin temanku tadi masuk."
"Nggak apa-apa Jen." jawab saya berusaha maklum, "Semalam itu.. indah sekali."
Jenny tersenyum. Senyum yang ramah, hangat, dan bersahabat.
Namun.., hanya itu. Senyuman seorang sahabat, bukannya senyuman mesra
seorang kekasih. Melihat senyumnya, saya merasa agak patah hati juga,
karena sudah merasa jatuh cinta kepadanya. Saya terdiam, dan tanpa
sadar air mata mengalir di pipi saya.
"Aku tahu apa yang ada di hati kamu, Von." ujar Jenny membaca situasi.
"Tapi aku juga ngerti, kamu nggak mungkin bisa hidup bareng aku." lanjutnya lagi.
Ia lalu melangkah menghampiri saya dan mengangkat nampan sarapan
pagi dari pangkuan saya. Setelah meletakkan nampan itu di meja, ia
kembali naik ke ranjang di sisi saya.
"Aku sayang sama kamu, kok!" ujarnya sambil mengecup kening saya, "Itu sebabnya aku nggak ingin kamu terlibat jauh di hidupku."
Saya memeluknya erat-erat, tanpa tahu harus berkata apa pada seorang yang baru saja 'memerawani' saya ini.
"Kamu ngerti maksudku kan?" tanyanya lagi dengan penuh harap.
Semula saya merasa sedih. Saya benar-benar ingin melewatkan hidup
saya bersamanya terus. Tidak pernah ada orang yang membuat saya merasa
begitu aman, tenang, nyaman, dan membuat saya merasa begitu dicintai
dan dikagumi. Hanya dia, Jenny, yang memberikan semuanya pada saya.
Namun saya melihat sekeliling, lemari pakaiannya kebetulan terbuka,
memamerkan gaun-gaunnya yang mahal dan berwarna warni, sederet sepatu
yang menjadi impian tiap wanita, laptop dan ponsel yang menunjukkan
tingkat kemapanan hidupnya, lalu.. ah.. pistol keperakan itu.
Bagaimana saya dapat hidup damai dan bermesraan dengan seorang yang
berkeliaran di lorong-lorong gelap London dengan menenteng pistol
kemana-mana? Yang bergaul dengan preman-preman dan penjahat? Yang
dengan entengnya mengobrak-abrik kantor atau toko seseorang karena
telat membayar tagihan? Semuanya berkecamuk dalam otak saya.
Namun, hey. Ivon sekarang sudah dewasa! Pikir saya. Sekarang saya
lebih percaya diri, dan sadar bahwa hidup ini indah dan tidak
menakutkan. Mungkin saya bisa setegar Jenny, atau lebih dari dia?
Mungkin juga saya dapat menemukan peluang lain yang membuat hidup saya
lebih berarti daripada sekedar karyawan admin di sebuah perusahaan
kecil? Rasa cinta dan kagum bercampur dengan haru dan terimakasih
berkecamuk di dada saya. Namun saya juga sadar, jika saya harus
melanjutkan kehidupan saya tanpa Jenny.
"Hey, cool dong!" hiburnya, "Kita bisa ketemu lagi kapan-kapan kalau kamu mau. Saat liburan kayak gini kan bisa juga?"
Saya mencoba tersenyum nakal. Ia membalas senyuman saya dengan
nakal juga. Iseng-iseng saya meraih dan meremas susunya yang kanan,
sambil menjentik-jentik putingnya dari balik bajunya. Jenny menatap
saya. Pelan-pelan matanya meredup, lalu setengah memejam. Saya
melepaskan susunya dari tangan saya.
"Kok berhenti?" tanyanya sambil kembali membuka mata.
"Emang boleh?" tanya saya.
"Kenapa enggak?" tanya Jenny balik sambil melucuti pakaiannya sendiri.
Jenny segera telanjang bulat berdiri di samping ranjang. Indah
sekali tubuhnya, kulitnya halus mulus dan putih bersih. Kakinya panjang
indah, begitupula lehernya. Wajahnya amat cantik, berkesan cerdas namun
dingin. Kedua buah susunya tidak besar, namun kencang dan indah.
Puting-putingnya berwarna merah jambu kecoklatan, dan tampak agak
terangsang oleh sentuhan saya tadi. Saya duduk di sisi ranjang, wajah
saya tepat menghadap ke dua putingnya. Tanpa banyak basa-basi, saya
mendekap pinggangnya, dan mengisap puting susunya. Mmm.., puting susu
hangat itu terasa lucu dalam mulut saya. Saya jilati, saya hisap-hisap.
Terdengar rintih erangan Jenny setiap kali lidah saya menyentuh
puting itu. Terasa sekali puting itu mengencang, membengkak dalam mulut
saya. Kami berbagi kehangatan dengan sangat mesra pagi itu, dan
kejadian itu sempat terulang beberapa kali lagi di hari-hari
setelahnya, sampai kemudian saya mendapati apartemennya kosong dan
teleponnya tidak diangkat. Ia benar-benar telah pergi jauh dari
kehidupan saya. Mungkinkah ia telah mencapai cita-citanya? Mungkinkah
ia sudah berada 2 meter di bawah tanah? Saya tidak tahu. Saya tetap
akan mengenangnya, karena dia adalah yang pertama bagi saya.
TAMAT