Sesuai dengan perkiraanku, suatu hari, pukul
6.30 pagi, di minggu terakhir bulan Mei, kembali aku mendengar ketukan
di pintu yang disusul suara salam yang lembut. Aku yakin itu suar
Anneke, si kembang dari Madiun yang selama hampir 3 minggu terakhir
membuat hatiku demikian menderita, limbung dan sangat merindukannya.
Aku yang saat itu sedang membuat minuman untuk sarapan Mas Adit,
bergegas ke depan membuka pintu. Dan Anneke langsung menghambur dan
memelukku dengan sangat eratnya.
"Mbak Marini, aku kangen banget", diciumnya pipi dan ujung bibirku dengan penuh kegemasan.
Dia juga peluk Mas Adit yang kakak sepupunya. Kami langsung ajak Anneke untuk makan pagi bersama.
Anneke membawa kembali pula keindahan, kecantikkan dan sensualnya.
Rasanya rumahku langsung menjadi cerah. Matahari pagi menerpa
bunga-bunga di tamanku. Kupu-kupu dan kumbang beterbangan riang
mengawinkan kepala putik dengan bunga sarinya untuk mengambil madunya.
Sayap-sayap lembutnya kesana-kemari memotong-motong berkas cahaya
matahari yang jatuh ke rerumputan basah embun pagi. Nampak setangkai
kecil bunga rerumputan liar terjaga memercikkan tetes bening embun
paginya. Anneke langsung menyejukkan hatiku yang duka lara. Kami
ngobrol dan bercanda hingga Mas Adit siap untuk berangkat ke kantornya.
Saat aku di kamar untuk sesuatu hal Anneke masuk dan memberikan sebuah bungkusan indah.
"Oleh-oleh khusus buat Mbak".
Tanpa menunggu ucapan terima kasihku, dia langsung berkelebat
meninggalkan kamar untuk menemani Mas Adit yang sedang membaca koran
pagi di ruang depan. Aku penasaran, kubuka oleh-oleh Anneke itu. Kurang
ajar si Anneke ini. Kutemui dalam bungkusan indah itu celana dalam dan
BH kumal dengan bau kecut dan pesing yang menyengat dengan secarik
kertas bertulisan.
"Mbak Marini yang jelita, Ini celana dalam dan BH baru, lho. Aku
telah memakainya selama 1 minggu tanpa pernah aku lepas hingga pagi
tadi sesaat aku turun dari KA dan langsung ke toilet di Stasiun Gambir.
Menurut mbah dukun, ini sangat manjur untuk mengobati tangan Mbak yang
sakit karena cubitanku tempo hari. Semoga bisa menyembuhkan secara
kilat. Anneke, yang terus menerus merana dalam kerinduan pada Mbak
Marini", Wow..
Cepat kudekapkan gombal-gombal itu ke dadaku, kutengok ke pintu
nggak ada orang, kemudian kubekapkan celana dalam pesing dan BH kecut
itu ke hidungku dan kuhirup dalam-dalam baunya. Oohh, Anneke-ku.
Tepat padap pukul 7.30 Mas Adit meninggalkan rumah menuju
kantornya. Sesudah mobilnya menghilang di belokan gang, Anneke menarik
tanganku untuk segera masuk rumah. Begitu menutup pintu depan kami
langsung berpagutan dalam gairah birahi dan kerinduan yang
menyala-nyala.
Anneke mendorong aku hingga sama-sama rebah ke sofa ruang tamu.
Tangan-tangan kami langsung menggerilya bagian-bagian sensual tubuh
kami. Kerinduan selama 3 minggu ingin kami tebus dan tumpahkan saat itu
pula. Tetapi aku ingat Anneke pasti lelah sesudah perjalanan semalaman.
Aku ajak dia untuk menyimpan sebagian besar kerinduan ini untuk kita
tumpahkan nanti sesudah bugar kembali. Kuraih tangannya menuju ke
dapur. Banyak yang menyenangkan di sana untuk kita kerjakan berdua.
Di dapur Anneke bertanya, apakah sakit akibat cubitan di tanganku sudah sembuh.
"Aku langsung buka hadiah cintamu, aku tengok kanan-kiri nggak ada
orang, aku bekapkan ke hidungku dan kuhirup dalam-dalam aroma parfum
Madiunmu, uh, seketika lenyap seluruh penyakitku".
Anneke tertawa tergelak-gelak. Sampai saatnya makan siang kami di
dapur dan membenahi rumah sambil terus melempar bermacam humor dan
tawa. Sesekali bibirnya mendarat di bibirku dan bibirku mendarat di
bibirnya. Sambil membersihkan isi lemari esku Anneke membanggakan
masakan Koreanya, sisa daging has-ku dia buat "bulgogi", fillet kakapku
dirubah jadi "modum unthang" atau sayur kakap merah untuk penyegarnya
dia buat "kimchee", acar sawi putih. Dia memang senang masak. Siang itu
kami kembali pesta kecil. Kuhabiskan berbagai juice buah yang tersisa.
Anneke segar kembali, tak nampak sisa-sisa perjalanannya.
Usai makan siang sambil memberikan kesempatan makanan turun ke
lambung kami ngobrol di ruang keluarga. Kami duduk berhimpit saling
merangkul pinggul. Kuamati wajah manis Anneke, aku mempertanyakan
kenapa sih, wajah manisnya selalu saja membayang di mataku. Kuraba
tulang pipinya yang meninggi kemudian lekuk pertemuan antara hidung
dengan bibirnya yang sangat sensual, kemudian pinggiran bibirnya yang
mencuat seksi banget. Saat ujung jariku sampai di tepian bibirnya itu
tiba-tiba mulutnya cepat mencaplok jariku dan menggigitnya, aku
berteriak kesakitan sambil mencubit geregetan pada paha Anneke. Ganti
dia yang berteriak kesakitan dan lari menghindar. Aku bangkit
menyusulnya. Anneke lari menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya ke
ranjang. Aku menyusulnya dengan menindihnya serta langsung memagut
lehernya. Dia mendongak kegelian. Tangannya menahan tubuhku tetapi
kemudian berlanjut untuk memelukku. Kami bergumul. Pagutan di lehernya
tak kulepaskan hingga dia mendesah dan merintih penuh kenikmatan
birahi.
"Mbak Marini ngangenin banget, sih".
Sambil mengangkat sedikit tubuhku untuk menggeser lumatan bibirku
dari lehernya ke bibirnya. Dan arus birahi kami mulai saling mengalir.
Kami mulai melumat bibir-bibir kami. Kami saling bertukar lidah dan
ludah. Erangan dan desahan menggiring nafsu birahi kami mengalir lembut
seirama kecupan-kecupan antar mulut kami. Dan aku merasakan kini
saatnya untuk melepas semua dendam dan luka rindu yang telah menumpuk
sepanjang 3 minggu sejak kepulangannya ke Madiun. Kulepasi
kancing-kancing dan kulucuti blus dan BH-nya, kulepasi kancing dan
resluiting jeans-nya kemudian kuperosotkan sekaligus berikut celana
dalamnya dan kutarik lepas dari tungkai kakinya. Dia juga melucuti
pakaianku hingga kami sama telanjang bulat.
Walaupun aku sudah sering mengamatinya saat mengintip di pintu
kamar mandinya tetapi kini saat aku langsung bisa menyentuhnya aku amat
terpesona dengan pahanya yang sangat sensual. Guratan besar yang seakan
muncul hanya dengan sekali tarik dari kuas pelukis membentuk kontras
kontur paha Anneke diatas lembaran sprei ranjangnya yang ungu tua yang
kupasang sebelumnya. Keindahannya melaju tanpa putus hingga ke lututnya
dan terus melaju ke betisnya. Aku sebut saja pesona tungkai perawan
Anneke.
Kemudian aku kembali melumat lehernya dengan sedikt kudorong agar
memiringkan tubuhnya. Aku menciumi kuduknya kemudian menggeser ke
belakang telinganya.
Aku membisikkan kerinduanku, "Anneke, ijinkan aku melumati setiap pori tubuhmu.., aku sangat merindukan kamu..".
Dia tahu aku demikian menderita merindukan dia. Dan dia tahu saat
ini aku ingin bertindak dominan atas dia. Dia hanya mengangguk. Dia
menyimpan suaranya untuk lebih memusatkan rasa nikmat jilatan dan
kecupan bibirku pada belakang telinganya yang kemudian menyisir kembali
ke kuduknya.
Kecupan dan jilatanku turun ke bawah hingga punggungnya dan
belikatnya. Aku rasakan gelinjang Anneke yang meggeliat menahan
kegelian yang menderanya. Aku ingin benar-benar melumat setiap pori di
tubuhnya tanpa ada yang kelewatan. Untuk sementara aku hentikan
eksplorasi bagian atas tubuhnya. Aku melata turun dari ranjangnya. Aku
merosot ke lantai sambil meraih sebelah tungkai kakinya yang jangkung
panjang itu. Aku ingin memberikan kenikmatan tertinggi untuk Anneke..
Bibirku melahap jari-jari kakinya yang sangat lembut itu. Kulumati
satu-satu, lidahku menari-nari di celah-celahnya. Anneke langsung
menjerit tertahan sambil menarik kuat-kuat kakinya. Namun segala upaya
menyingkirkan lumatan bibirku pada jari-jari kakinya takkan kupenuhi.
Dekapan kuat tanganku pada tungkainya membuat Anneke harus menyerah
walaupun gelinjangnya terus menerus memberontak untuk melepas kegelian
yang melanda kakinya itu. Apalagi saat lidah dan bibirku menyisir
tumitnya, pinggiran dan permukaan telapak kakinya, tendangan kaki
mayoret dan anggota Paskibraka ini nyaris membuatku terpental ke
lantai. Dia menggelinjang hebat. Dengan nafasnya yang memburu dia juga
bangkit dari tidurnya untuk membebaskan kakinya dari pagutanku.
Kepalaku diraihnya untuk dilepaskan dari kakinya tetapi tidak berhasil.
Rintihan yang menyayat minta ampun atas nikmat birahi yang melandanya
membuat aku sendiri terbawa arus dan tenggelam hanyut oleh gelombang
nafsu seksualku.
Kini aku merambat ke betisnya yang sangat aku kagumi indah dan
sensualnya. Aku perlakukan betis Anneke bak porselin China. Aku
menyentuhkan bibirku dengan lembut kepermukaannya. Saat aku mulai
mengecupnya aku perlakukan bak anggur tua dari Chevilla. Saat aku
sedikit menggigitnya aku perlakukan bak kulit telor chenderawasih
burung dari surga itu. Saat lidahku mulai menjilatinya kuperlakukan bak
salju yang turun ke pucuk-pucuk cemara di pegunungan Austria. Pokoknya
aku serasa keliling dunia dengan betis Anneke ini. Jangan tanya lagi
tentang tingkah dan perlawanan Anneke. Dia benar-benar dihantam badai
dahsyat dengan gelombang nikmat birahinya yang tak bertara. Kembali dia
bangkit dan merangsek dengan tenaga besarnya untuk menjambak
keras-keras rambutku agar kepalaku copot dari pagutan di betisnya ini.
Aku tidak menyerah. Rasa sakit dan pedih pada kulit kepalaku tidak
mempengaruhi belitan tanganku pada tungkainya. Akan benar-benar
kupertahankan dominasiku atasnya agar tak lepas sedikitpun. Aku tahu
dia akan menggoreskan torehan luka indah pada kenangan birahinya. Aku
tahu kenikmatan yang melanda dia sekarang ini tak pernah dia raih
sebelumnya.
Pada gilirannya gigitan, kecupan dan jilatan lidahku merambah ke
lututnya. Di sini pori dan kulitnya yang bertumpu pada tulang lutut
penuh dengan saraf-saraf peka yang tak boleh begitu saja disentuh
sapuan lidah. Dan saat lidahku tak mau tahu, Anneke berguling memutar
tubuhnya tanpa mau kompromi lagi. Aku ikut terguling. Kali ini kaki
sebelah lainnya benar-benar menendang dan menekan kepalaku. Untung aku
bisa mengelak. Dengan sigap kutangkap kaki-kaki mayoret ini. Tubuhku
mulai kugunakan untuk menindihnya dan jilatan lidahku kunaikkan ke
ujung pahanya. Aku sedikit tambahkan tenaga pada kecupan dan gigitan di
ujung pahanya. Aku mau tinggalkan cupang-cupang yang menandai
kehadiranku di sana. Dan kali ini Anneke yang sudah putus asa
melawanku, tingkahnya melemah.
Ah, Anneke. Kini dia menangis minta agar aku menghentikan
perlakuanku padanya. Dia mohon aku sudi melepaskan pagutan-pagutanku.
Dia minta agar aku menjauh darinya. Tapi dari tingkah tangannya yang
tengah menjambaki dengan penuh gemas rambutku aku pastikan dia sedang
memasuki keadaan trans, semacam keadaan setengah sadar yang disebabkan
telah hanyut tenggelam jauh dalam ke lubuk nikmat yang paling dalam.
Dia bukan ingin aku melepaskan semuanya, tetapi ingin agar aku lebih
lebih mengketatkan jeratan dan pagutan-pagutanku. Dia terus menangis
dengan tangannya yang terus meremasi dengan gemas rambutku. Situasiku
kini lebih tenang.
Bersambung...