Sudah hampir pukul 16:00 dan Gatot belum
kembali dengan komputer Bu Rina. Asti tahu ia tak akan pulang tepat
waktu karena ia yang selalu menyusun presentasi Bu Rina dalam file Powerpoint selama 2 tahun terakhir ini. Bu Rina sendiri seperti tak mau mempelajari Powerpoint, karena mengetahui sekretaris andalannya menguasai software ini. Dan komputer Bu Rina juga memilih saat yang tepat untuk rusak,
tepat sehari sebelum presentasi, padahal semua data presentasi hanya
ada di hard disk komputer itu.
"Hhh.." Asti hanya bisa menghela napas, menyadari bahwa ini sudah
menjadi tugasnya sebagai sekretaris sang manajer keuangan. Ia
membayangkan rencananya malam ini yang kini berantakan. Berendam di air
hangat di kamar mandinya sambil menonton VCD erotik yang telah ia sewa
sejak 2 hari lalu. Meraba-raba puting payudara dan klitorisnya yang
telah lama mendambakan sentuhan. Ia lalu teringat pada Adi yang telah
setahun lebih meninggalkannya. Bagaimana hebatnya Adi membuatnya
orgasme setiap berhubungan seks. Ternyata Adi lebih memilih bekerja di
Kalimantan daripada menikahinya. Untung mereka sama-sama meyakini seks
aman dan Adi selalu memakai kondom setiap bercinta dengannya. Jika
tidak, ia bisa saja hamil, dan pilihan akan menjadi semakin sulit.
Asti bukan wanita yang mudah menyerah pada gairah. Selama tak punya
pacar, ia hanya dua kali melakukan masturbasi. Namun malam ini sudah ia
rencanakan dengan matang dan memang sudah lama sekali sejak terakhir
kali ia melakukan masturbasi. Dering telepon menyentakkan Asti dari
lamunannya.
"Finance, selamat sore," jawab Asti secara otomatis.
"As.. sorry kamu terpaksa lembur, tapi komputernya baru jadi sekarang sih," kata Bu Rina di telepon.
"Uh.. ah.. iya, Bu. Nggak papa, Bu," jawab Asti tergagap-gagap.
Ia benar-benar tenggelam dalam lamunannya hingga tak menyadari Gatot lewat di depannya membawa komputer Bu Rina.
"Ya udah, kamu ke sini aja sekarang," kata Bu Rina.
Asti masuk ke ruangan Bu Rina, berpapasan dengan Gatot yang baru
keluar. "Yuk, kita mulai aja, biar pulangnya nggak terlalu malem," kata
Bu Rina sambil membuka beberapa file Word dan Excel tempat ia menyimpan datanya. Lalu mereka pun mulai bekerja bersama
selama beberapa jam, hingga tampak beberapa karyawan lewat di depan
pintu kantor Bu Rina. Beberapa manajer bahkan menyempatkan diri
menyapa, "Mbak Rina, pulang dulu."
Jam menunjukkan pukul 18:15 saat Bu Rina akhirnya berdiri dari sisi
Asti. "Aduuh, AC-nya udah dimatiin deh. Bentar lagi pasti panas banget
nih." Ia melangkah keluar ruangan mendapatkan kantornya telah kosong,
tak ada siapa pun lagi di sana. Satpam pun hanya ada di lantai bawah.
Ia mengambil dua kaleng Sprite dari kulkas di depan ruangannya, lalu masuk kembali. Setelah meletakkan
kedua kaleng itu di meja, ia melepas blazernya dan melemparnya ke atas
sofa panjang yang ada di ruangannya. "Minum dulu, As. Kamu kan belum
istirahat dari tadi," kata Bu Rina sambil duduk bersilang kaki di kursi
sofa yang lebih kecil.
Asti mengangkat kepalanya dari layar komputer dan melihat Bu Rina hanya memakai blus you can see dan rok mini. Pada usia hampir 40 tahun, manajer yang dikenal belum
pernah menikah ini masih tampak sangat menakjubkan. Dada berukuran 36D
menonjol dari balik blus-nya yang tipis itu, sementara perutnya tampak
kecil dan sintal. Pahanya menampilkan kulit yang mulus dan bersih
walaupun tidak putih, dengan ukuran yang sedang, namun pantatnya jelas
berukuran besar, sangat kontras dengan pinggangnya yang kecil itu. Asti
mendapatkan perasaan aneh melihat atasannya yang bertubuh seksi itu,
bukan hanya mengagumi, tapi lebih ke arah menyukainya. Ada rasa
berdesir dalam hatinya.
"Ayo sini!" Kembali Asti tersentak karena telah ketahuan Bu Rina
sedang menatap tubuhnya. Menutupi rasa malu dan terkejutnya, sekretaris
cantik ini segera menyibukkan diri sesaat di komputernya, lalu berdiri
menghampiri sofa. Ia mengambil blazer Bu Rina dan meletakkannya dengan
rapi di sandaran kursi sofa kecil yang tak terpakai, lalu ia sendiri
duduk di sofa panjang dan meraih minumannya.
"Kenapa? Kamu suka sama badan saya?" tanya Bu Rina tak peduli pada rasa malu Asti.
"Uhm, Bu Rina seksi, ya? Sering aerobik ya, Bu?" kata Asti dengan telinga agak memerah.
"Iya dong, tapi saya merasa pantat saya masih kegedean nih," jawab Bu Rina.
"Enggak, Bu. Segitu bagus, seksi. Saya saja merasa kurang," kata Asti sambil melirik pantatnya sendiri.
"Umur kamu berapa, As? Udah 30?" tanya Bu Rina.
"28, Bu," jawab Asti singkat.
"Kok belum kawin? Pasti terlalu milih-milih deh. Cewek secantik kamu pasti banyak yang ngejar."
Wajah Asti memerah, setengah malu setengah senang pada pujian atasannya itu.
"Yuk, kita terusin lagi," kata Bu Rina, "kalo enggak, bisa nggak selesai malem ini."
Mereka pun melanjutkan pembuatan presentasi dengan serius, hingga
Asti melupakan perasaannya yang aneh tadi. Tak terasa jam telah
menunjukkan pukul 20:35 saat Bu Rina berdiri merentangkan kedua
lengannya dan meregangkan ototnya yang terasa kaku. Dadanya tampak
semakin menonjol di samping wajah Asti, namun Asti menahan diri untuk
tak menengok.
"Ahh.. akhirnya beres juga," kata Bu Rina, "Tinggal kamu beresin penampilannya dikit lagi, selesai deh."
Ia keluar mengambil dua kaleng Sprite lagi, lalu kembali dan kali ini duduk di sofa panjang.
"Sini dulu, As. Dikit lagi selesai 'kan?"
"Tanggung, Bu. Tinggal finishing touch-nya saja. Paling 15 menit lagi," jawab Asti.
"Udah, sini dulu. Kamu juga pasti pegel 'kan?" kata Bu Rina setengah memaksa.
"Lagian kamu apa nggak panas dari tadi pakai blazer itu terus?"
Asti yang memang merasa gerah dan pegal, men-save filenya, lalu berdiri menghampiri Bu Rina di sofa. Ia melepas blazernya. Blus you-can-see yang dipakai Asti menampilkan lengannya yang putih dan sepasang dada
berukuran sedang, menonjol di balik blusnya. Ia lalu duduk di kursi
sofa kecil. "Mmm, sini duduk di sebelah saya sini," kata Bu Rina sambil
menepuk-nepuk sofa di sisi pahanya. Tanpa banyak tanya, Asti duduk di
sisi atasannya sambil meneguk minumannya. Ia tersentak saat merasakan
Bu Rina merapatkan duduknya di sisinya dan lengan Bu Rina melingkari
pundaknya."Tuh, bener kan, pundak kamu terasa kaku gitu, pasti pegel,"
kata Bu Rina yang ternyata hanya bermaksud memijat pundaknya. Rina
merasa lega dan berkata, "Iya, Bu. Tapi nggak papa kok, nggak usah
dipijetin."
Bu Rina pindah posisi berlutut di atas sofa, "Kamu duduknya miring
sedikit, terus rebahin badan kamu ke badan saya," katanya tanpa
mempedulikan kata-kata Asti. Mematuhi atasannya, Asti merasakan
pundaknya dipijat dengan lembut, yang ternyata terasa sangat enak dan
membuatnya santai. Asti sangat menikmatinya. Setelah sekitar 3 menit
memijat Bu Rina mengajukan pertanyaan yang agak mengejutkan bagi Asti.
"Kamu lagi horny ya, As?"
"Hhh.." Asti tergagap tak bisa menjawab.
"Pentil kamu ngaceng," kata Bu Rina tanpa basa-basi.
Asti menatap dadanya. Benar saja, kedua puting dadanya tampak
mencuat dari balik blusnya. Tanpa ia sadari, ternyata ia memang tak
mampu mengendalikan gairahnya, dan kini ia baru menyadari bahwa remasan
Bu Rina di punggungnya dan parfum lembut Bu Rina yang begitu dekat
dengannya telah membangkitkan gairahnya.
Tanpa jawaban dari Asti, remasan tangan Bu Rina terasa semakin
lembut, lalu mulai berpindah ke lengan Asti dengan gerakan membelai.
"Kamu mulus sekali, As. Putih banget lagi. Coba saya seputih kamu,"
kata Bu Rina sambil terus meraba-raba lengan Asti. Asti terdiam tak
bisa menjawab, namun ia sangat menikmati belaian Bu Rina. Bungkamnya
Asti sudah cukup menjadi jawaban bagi Bu Rina. Tangannya menyelusup ke
balik blus Asti dan meraba-raba dadanya.
"Uhh.." desah Asti sambil memejamkan matanya.
Ia merasakan getaran hebat dalam tubuhnya dan seketika celana dalamnya terasa basah.
"Bu Rinaa.." desah Asti hampir tak terdengar.
"Ssst.." Bu Rina meremas dada Asti dan memilin putingnya dari luar BH-nya.
"Ohh, Bu.." Asti mencengkeram sofa berusaha tanpa daya mengendalikan gairahnya.
Bu Rina melepas dada Asti dan duduk ke sisinya. Tanpa berkata-kata
lagi, ia menarik dagu Asti dan mengecup bibirnya dengan lembut. Asti
menyukai itu. Bu Rina memahami reaksi Asti dan mengulum bibir Asti.
Gairahnya semakin terpancing, Asti membalas ciuman atasannya. Tanpa
disangka, Bu Rina langsung memasukkan lidahnya di antara bibir Asti.
Terkejut karena belum pernah bercinta dengan wanita, Asti mendapatkan
bahwa lidah Bu Rina yang basah dan lembut memberikan kenikmatan luar
biasa saat menjilati lidahnya. Ciuman lembut mereka segera berkembang
menjadi ciuman bernafsu. Mereka saling menghisap lidah dan bibir,
tangan Bu Rina menarik kepala Asti seirama dengan gerakan ciuman
mereka, sementara tangan Asti memeluk tubuh Bu Rina sambil meraba-raba
punggungnya dan akhirnya sebelah tangannya pindah ke depan untuk
meremas-remas dada Bu Rina yang besar dan merangsang, sementara tangan
satunya meremas-remas pantatnya yang juga besar. Mereka berciuman
hampir selama 15 menit hanya diselingi beberapa detik berhenti untuk
mengambil napas.
Akhirnya Bu Rina melepas wajah Asti, segaris air liur masih
menghubungkan kedua bibir mereka hingga akhirnya terputus dan menetes
ke dagu Asti saat wajah mereka cukup jauh. Mereka saling bertatapan
dengan terengah-engah.
"Buka baju kamu, Sayang!" kata Bu Rina sambil melepas blusnya
sendiri. Asti ragu, namun gairahnya mendorongnya untuk tak menolak
permintaan atasannya. Bu Rina melepas BH-nya dan melemparnya ke lantai.
Duduk bertelanjang dada, ia menatap Asti yang sedang melepas blusnya.
Tangan Bu Rina menyelusup ke balik rok mini Asti dan meraba-raba
pahanya yang putih mulus itu."Hhh.. Buuhh.." erang Asti saat tangan Bu
Rina mencapai selangkangannya yang kini telah dibanjiri lendir gairah
itu. Bu Rina menyelipkan jarinya ke balik celana dalam Asti lalu
meraba-raba bibir kemaluan Asti. "Ahh! Gaahh!" Asti terpekik saat
merasakan sekujur tubuhnya tersetrum rangsangan hebat. "Tangan wanita
lain lebih nikmat daripada tangan kamu sendiri 'kan?" kata Bu Rina
sambil tersenyum, "Buka BH kamu, Sayang," tambahnya melihat bola mata
Asti telah terputar ke belakang akibat kenikmatan sentuhannya, karena
ia sendiri menjadi semakin terangsang melihat pemandangan di depannya
itu, dan ingin segera menikmati puting payudara sekretarisnya yang
cantik ini.
Sambil melepas kait BH yang terletak di depan itu, Asti mulai
menggerak-gerakkan pantatnya berputar dan maju-mundur, mengikuti
gerakan jari Bu Rina. Payudaranya seakan terlontar keluar saat akhirnya
kait BH-nya lepas. Tanpa menanti ajakan, Bu Rina langsung menancapkan
puting kiri Asti ke dalam mulutnya dan menghisapnya dengan bernafsu,
sambil mulai memasukkan satu jari ke dalam lubang kemaluan Asti. Asti
tampak semakin melayang dalam dunianya sendiri, apalagi saat Bu Rina
menggigit putingnya yang telah mengeras dan membengkak itu di sela-sela
jilatan dan hisapannya, sambil meraba klitoris Asti dengan jempolnya,
sementara jari tengahnya masih menggeseki kemaluan Asti dengan
bernafsu. Asti tak pernah merasakan kenikmatan seksual sehebat ini
sepanjang hidupnya.
Bersambung...