MENJADI BUDAK
Belakangan ini Surya mulai mencurigai ada yang tidak beres dengan
istrinya, Ratih. Sudah sebulan ini dia selalu menolak setiap kali
diajak bersetubuh. Berbagai alasan dikemukakan Ratih, mulai dari capek,
sedang datang bulan, hingga sedang tidak bernafsu. Pernah beberapa kali
setelah melalui sedikit perdebatan, Ratih bersedia melayaninya. Namun
hubungan itu berlangsung dengan dingin. Dia tidak mengimbangi setiap
gerakannya, melainkan hanya membiarkan saja Surya menggerayangi
tubuhnya tanpa melakukan gerakan balasan. Bahkan sempat-sempatnya Ratih
menguap beberapa kali ketika itu. Bila sudah begini maka gairah Surya
pun langsung lenyap, dan akhirnya dia tertidur dalam kekecewaan.
Pagi ini setelah tiba di kantor, dia meminjam mobil stafnya, dan
kembali ke rumah sambil membawa videocam yang sudah disimpannya
beberapa lama ini di lemari kantornya. Dia ingin mengamati apa saja
yang dilakukan istrinya sepanjang hari, sehingga begitu capek untuk
melayaninya di malam hari.
Di depan rumah dia menjalankan mobilnya dengan sangat lambat agar
dapat memperhatikan. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kesibukan. Pintu
pagar tertutup dan halaman tampak kosong. Diarahkannya mobil ke sebuah
taman yang berada sekitar 50 m dari rumahnya. Disana tampak parkir
sebuah kijang kosong yang belum pernah dilihatnya. Jelas bukan milik
warga sekitar.
Dilewatinya mobil itu mengelilingi taman, lalu memarkirkannya di
sisi lain. Diraihnya tas jinjing berisi videocam yang tergeletak di jok
di samping. Setelah mengunci pintu, dia beranjak menuju ke rumah.
Dengan hati-hati dibukanya pintu samping pekarangan, lalu masuk sambil
mengendap-endap. Dia segera menyusuri celah antara dinding samping
rumah dengan tembok pemisah ke rumah tetangga. Tiba di belakang,
langkahnya makin hati-hati, bahkan dia melepaskan sepatunya agar tidak
menimbulkan bunyi.
Tiba-tiba dia terkesiap kaget. Dia mendengar istrinya bersuara manja.
"Cepetan dong, Ton! Kamu tega deh, dicabut-cabut melulu!" Suara itu begitu mesra dan menggemaskan.
Jantungnya berdetak dengan cepat dan wajahnya langsung merah membara. Beribu pertanyaan memenuhi kepalanya.
"Ton? Siapa si Ton itu? Sedang apa mereka?"
Surya segera mendekatkan dirinya ke dinding di bawah jendela kamarnya.
"Sabar, dong, manis..! Kalau cepat-cepat nanti tidak puas, he, he, he.." terdengar suara lelaki menyahuti istrinya.
"Tidak salah lagi! Pasti! Pasti mereka sedang melakukannya. Kurang ajar!" ujar Surya di dalam batin.
Dia segera menyiapkan videocamnya dengan tergesa-gesa, takut
kehilangan bukti. Diamatinya kondisi jendela mencari posisi teraman
untuk mengintip kejadian di dalam. Surya kemudian berdiri di samping
jendela, lalu mengintip ke dalam melalui videocamnya. Darahnya terasa
mendidih melihat istrinya sedang ditindih dalam oleh seorang pria,
keduanya telanjang bulat. Segera ditekannya tombol record. Pria itu
kini sedang menyodok-nyodokkan penisnya ke dalam vagina istrinya sambil
mulutnya menghisap puting susu sebelah kanan, sementara tangannya
mempermainkan puting susu yang sebelahnya.
Darah Surya serasa sudah sampai di ubun-ubun. Seluruh tubuhnya
bergetar menahan marah. Tanpa sengaja gagang videocam itu membentur
kaca jendela, menimbulkan bunyi yang cukup keras. Surya kaget dan
segera menarik viodeocam-nya. Namun ternyata bunyi tadi itu pun telah
cukup untuk mengagetkan juga kedua orang yang diintainya itu. Mereka
segera mengarahkan pandangan ke jendela. Terdengar suara istrinya
berteriak, "Siapa?"
Setelah mematikan perekam, Surya meletakkannya dengan hati-hati di
lantai. Merasa telah terbongkar pengintaiannya, disertai dorongan
amarah yang telah dipendamnya sejak tadi, Surya menampakkan diri di
jendela.
"Aku..! Kurrang ajar..!" bentak Surya.
Kedua orang itu kaget bukan kepalang dan langsung bangkit
kalang-kabut. Istrinya segera menyilangkan tangan di depan dadanya
sambil merapatkan paha mencoba menutupi ketelanjangannya. Sementara itu
si lelaki telah langsung menyambar dan mengenakan celananya lalu sambil
berusahan memakai kemejanya sambil berlari tergesa-gesa.
Surya berteriak menyuruh berhenti sambil memaki-maki, namun tidak
diperdulikannya. Surya berusaha menyusul melalui gang samping yang
dilaluinya tadi. Mereka tiba di pekarangan depan hampir bersamaan.
Lelaki itu mendadak berputar dan melayangkan sebuah bogem mentah ke
wajah Surya yang langsung kena secara telak, karena tidak menduganya.
Lelaki itu melayangkan tinjunya sekali lagi, sehingga Surya terhuyung
roboh. Melihat itu, dia berbalik dan segera melanjutkan larinya
meninggalkan rumah.
Surya berusaha bangkit, namun gerakannya terlalu lambat. Ketika dia
mencapai pintu gerbang, ternyata pria itu telah berada di dalam
mobilnya. Segera terdengar deru mesin, dan baru beberapa langkah yang
sempat dilakukan Surya, mobil itu sudah kabur meninggalkan taman. Surya
menghempaskan tangan dengan kesal. Kemudian dia bergegas kembali ke
dalam rumah.
Begitu memauki kamar, Ratih yang belum sempat mengenakan pakaian
luar segera menjatuhkan diri berlutut menyembahnya sambil menangis
terisak-isak memohon ampun. Surya menghampiri dengan cepat, dan,
"PAR..! PAR..!" telapak tangan Surya mendarat keras di wajah Ratih yang
secara reflek segera mengangkat kedua tangan menutupi wajahnya.
Tangisnya kian menjadi-jadi. Namun Surya tidak memberi ampun.
Dijambaknya rambut Ratih sambil melontarkan makian.
"Lonte kamu! Kurang ajar! PAR..!" kembali Surya mengayunkan tangannya.
"Amm.. puun.., Mas.., ampuunn..!"
"Ternyata benar dugaanku selama ini! Pantas saja kamu selalu
menolakku, rupanya sepeninggalku kamu melonte! Berapa kau dibayarnya,
Lonte..?"
Ratih tidak mampu menjawab apapun. Dia hanya terus menangis dan
meratap meminta pengampunan dari suaminya. Surya tidak perduli dan
terus mengumbar kemarahannya. Direngutnya BH Ratih hingga tali bahunya
putus dan kaitan di belakangnya robek, kemudian dicampakkannya ke
lantai. Dijambaknya rambut Ratih dengan keras, sehingga dia terpaksa
berdiri. Tangannya segera menyambar celana dalam Ratih dan
menurunkannya dengan paksa.
"Munafik kamu! Buat apa kamu pakai pakaian? Toh kamu membiarkan
lelaki lain melihatmu telanjang. Ayo keluar, sekalian saja biar semua
orang melihatmu telanjang..!"
"Ampuun Mas, ampun..! Jangan, Mas..! Ampuni saya, Aduh! Ampunn..!"
Surya menyeret Ratih pada rambutnya ke arah pintu. Ratih menjerit
kesakitan, dan memegang tangan Surya yang mencengkeram rambutnya.
"Ayo!" paksa Surya.
Ratih terus menahan tarikannya. Surya makin tidak sabar dan
mengayunkan kakinya. Tendangannya telak mengenai perut Ratih. Ratih
mengaduh memegangi perutnya dengan sempoyongan. Melihat itu Surya
melepaskan jambakannya. Pandangan Ratih berkunang-kunang lalu roboh di
lantai. Surya hanya melotot membiarkannya. Diamatinya wanita itu untuk
melihat perkembangannya. Ternyata Ratih tidak pingsan. Dia hanya
megap-megap meringkuk di lantai mendekap perutnya.
"Lonte! Kamu harus menerima pembalasan yang sesuai untuk
kebejatanmu ini!" lanjut Surya sambil berkacak pinggang di hadapannya.
Suaranya sudah tidak sekeras tadi, namun penuh ancaman.
"Ampu.. ni.. sa.. ya, Mas..!" kata Ratih terbata-bata. "Saya to.. bat, sung.. guh.., ampun, Mas..!"
"Tobat? Ampun..? Kamu pikir segampang itu?"
"Hukum saya, Mas, apa saja! Akan saya terima..!"
"Tentu, kamu memang harus dihukum!"
Surya diam sejenak. Keningnya berkerut, lalu lanjutnya, "Hukumanmu
harus sangat berat..! He, Lonte, kamu siap menerima hukumanmu?"
"Iya, Mas. Saya mengaku salah! Saya siap dihukum apa saja!" sahut Ratih bersungguh-sungguh.
"Jadi kamu sudah mengaku salah, ya?" ulang Surya.
Mendadak dia teringat sesuatu.
"Hmm.., sebaiknya pengakuanmu ini kurekam, supaya ada bukti kalau
kamu macam-macam lagi!" tandasnya sambil bergegas keluar menuju
belakang dan kembali dengan membawa videocam.
"Baik, jadi kamu mengakui semua kesalahanmu?"
Ratih mengangguk pelan.
"Jawab!" bentak Surya.
"I.. iya, Mas. Saya salah! Saya siap menerima hukumanmu!"
"Hmm..! Sekarang ambil lipstik dan tuliskan di badanmu, LONTE!" perintah Surya.
Ratih terperanjat. Surya menatapnya dengan dingin. Ratih paham, bahwa hanya itulah cara untuk mendapatkan pengampunannya.
Maka dia beranjak ke meja rias, mengambil lipstik dan menuliskan
kata LONTE di badannya, persis di bawah payudaranya. Sementara itu
Surya telah menyalakan videocamnya dan merekam perbuatan Ratih. Setelah
selesai, dimatikannya alat itu. Surya pergi ke brankas di sudut kamar
dan segera kembali membawa sebuah kertas segel beserta pen dan
disodorkan kepada Ratih. Tanpa pikir panjang maupun perdebatan, Ratih
menulis semua kalimat yang didiktekan suaminya. Setelah Ratih selesai
menandatangani surat itu, Surya menyalakan kembali alat perekamnya dan
memerintahkan Ratih membacanya.