Ruangan itu besarnya sekitar 5X10 meter, seluruhnya tertutup karpet
tebal berwarna biru dan di ruangan itu terdapat beberapa cermin persegi
yang berukuran besar sedangkan temboknya bercat hitam. Kesan pertamaku
setelah memasuki ruangan ini adalah panas dan pengap, entah apa
penyebabnya. Bisa dibilang tidak terdapat apa-apa diruangan itu, hanya
beberapa alat yang tidak kuketahui kegunaannya yang terletak di salah
satu sudut ruangan itu.
Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu
Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan
ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang,
dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam
berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan
bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan
demikian.
"Plak!"
Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.
"Jalan!" katanya dingin.
Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna
di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa
langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan
punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya
lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak
mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak
mau tahu dengan keadaanku.
Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini
tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia
melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna
memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut
sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya.
Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak
sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di
punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah
sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.
Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya
menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat.
Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja
rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua
tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian
mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena
pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak
mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna
kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang
itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau
pingsan, aku tidak tahu.
Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang
tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih
telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat
dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara
perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih
terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas,
sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah
aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku
mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka
pintu yang terkunci.
Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia
sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat
tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
"Saya.. Haus.. Bu" kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.
Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki
kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani
mengulangi permintaanku lagi.
"Seberapa haus?" tanyanya tiba-tiba padaku.
"Sangat haus bu" kataku memelas.
"Apa yang kamu mau?" tanyanya lagi padaku.
"Minum.. S.. Saya mau minum" jawabku lagi.
"Mau minum apa?" kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.
"Apa saja.. Terserah" jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.
"Apa saja boleh?" tanyanya lagi padaku.
"Ya Bu apa aja" jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.
"Baik kamu yang minta" kata ibu Anna kemudian.
Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu
berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat
biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini,
tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara
perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas
mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di
lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga
membuat mulutku membuka paksa.
Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai
menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke
mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah
mendapat perlakuan serupa (kembali baca "my teacher), namun pada saat
itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara
wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak
bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan
biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada
saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku
tadi.
Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan
rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai
pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin
karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air
kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa
rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup
enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali
meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa
jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku
terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari
vagina ibu Anna.
Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum
melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku
sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus
mengeluarkan "minumannya", seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya
sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah
membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya.
Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk
memudahkan jalan semburan air kencingnya.
Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.
"Bersihin" kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.
Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit
mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya
dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air
kencingnya.
"Ok stop" kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.
"Enak ya?" tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.
"Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi" jawabku tanpa malu-malu,
karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai
menikmatinya.
"Kalau begitu kamu harus memohon" katanya lagi padaku.
"Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu" sahutku dengan
cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.
"Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu" katanya.
Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang
mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian
meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian
menelannya.
"Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam"
katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka
ikatan pada tangan dan kakiku.
Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah
kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama
kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak
tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa
saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku
kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang
menendang testisku dengan perlahan.
"Mau tidur sampai kapan hah!" bentaknya garang.
Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak
mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu
Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH
berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana
dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi
siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang
menambah "kegarangannya". Yang paling menonjol adalah pada bagian depan
celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari
bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya
terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.
Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia
membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang
terbuat dari kayu berbentuk huruf "X" yang pada saat itu tidak
kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna
mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat
dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf
"X", terikat di benda itu.
Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah
pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras
dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.
"Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara" kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.
Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena
cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun
karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya
sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja.
Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.
"Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh" jeritku
memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.
Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan
kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu
mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.
"Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma
menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5
pukulan" kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat
pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit.
Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak
henti-hentinya berdengung.
"Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat
20 pukulan mengerti?" lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah
kepalaku untuk mengiyakan.
"Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu
tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu" ibu Anna berkata sambil
membuka ikatan pada kaki dan tanganku.
Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya.
Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah
menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah
tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah
sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.
"Waktu kamu 5 menit" kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.
Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap
makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya
diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam
hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna
benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan
air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.