Mbak Lia menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas
berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya
sehingga roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal
paha.
"Suka Theo?"
"Hmm.. Hmm..!" jawabku bergumam sambil memindahkan ciuman ke betis dan lutut kirinya.
Lalu kuraih pergelangan kaki kanannya, dan meletakkan telapaknya di
pundakku. Kucium lipatan di belakang lututnya. Mbak Lia menggelinjang
sambil menarik rambutku dengan manja. Lalu ketika ciuman-ciumanku
merambat ke paha bagian dalam dan semakin lama semakin mendekati
pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku semakin keras. Dan ketika
bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yang menyembul dari balik
G-stringnya, tiba-tiba Mbak Lia mendorong kepalaku.
Aku tertegun. Menengadah. Kami saling menatap. Tak lama kemudian,
sambil tersenyum menggoda, Mbak Lia menarik telapak kakinya dari
pundakku. Ia lalu menekuk dan meletakkan telapak kaki kanannya di
permukaan kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk dan
terbuka lebar di atas kursi, dan yang sebelah lagi menjuntai ke karpet.
"Suka Theo?"
"Hmm.. Hmm..!"
"Jawab!"
"Suka sekali!"
Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Tia merapatkan kedua pahanya sambil menarik rambutku.
"Nanti ada yang melihat bayangan kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Theo," katanya sambil menunjuk kolong mejanya.
Aku terkesima. Mbak Tia merenggut bagian belakang kepalaku, dan
menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan perlahan itu tak mampu
kutolak. Lalu Mbak Lia tiba-tiba membuka ke dua pahanya dan mendaratkan
mulut dan hidungku di pangkal paha itu. Kebasahan yang terselip di
antara kedua bibir kewanitaan terlihat semakin jelas. Semakin basah.
Dan di situlah hidungku mendarat. Aku menarik nafas untuk menghirup
aroma yang sangat menyegarkan. Aroma yang sedikit seperti daun pandan
tetapi mampu membius saraf-saraf di rongga kepala.
"Suka Theo?"
"Hmm.. Hmm..!"
"Sekarang masuk ke dalam!" ulangnya sambil menunjuk kolong mejanya.
Aku merangkak ke kolong mejanya. Aku sudah tak dapat berpikir
waras. Tak peduli dengan segala kegilaan yang sedang terjadi. Tak
peduli dengan etika, dengan norma-norma bercinta, dengan sakral dalam
percintaan. Aku hanya peduli dengan kedua belah paha mulus yang akan
menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan menjambak rambutku,
telapak tangan yang akan menekan bagian belakang kepalaku, aroma
semerbak yang akan menerobos hidung dan memenuhi rongga dadaku,
kelembutan dan kehangatan dua buah bibir kewanitaan yang menjepit
lidahku, dan tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang harus
kujilat berulang kali agar akhirnya dihadiahi segumpal lendir orgasme
yang sudah sangat ingin kucucipi.
Di kolong meja, Mbak Lia membuka kedua belah pahanya lebar-lebar.
Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah basah di antara pahanya. Tapi
ia menepis tanganku.
"Hanya lidah, Theo! OK?"
Aku mengangguk. Dan dengan cepat membenamkan wajahku di G-string
yang menutupi pangkal pahanya. Menggosok-gosokkan hidungku sambil
menghirup aroma pandan itu sedalam-dalamnya. Mbak Lia terkejut sejenak,
lalu ia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.
"Rupanya kau sudah tidak sabar ya, Theo?" katanya sambil melingkarkan pahanya di leherku.
"Hm..!"
"Haus?"
"Hm!"
"Jawab, Theo!" katanya sambil menyelipkan tangannya untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.
"Haus!" jawabku singkat.
Tangan Mbak Lia bergerak melepaskan tali G-string yang terikat di
kiri dan kanan pinggulnya. Aku terpana menatap keindahan dua buah bibir
berwarna merah yang basah mengkilap. Sepasang bibir yang di bagian
atasnya dihiasi tonjolan daging pembungkus clit yang berwarna pink. Aku
termangu menatap keindahan yang terpampang persis di depan mataku.
"Jangan diam saja. Theo!" kata Mbak Lia sambil menekan bagian belakang kepalaku.
"Hirup aromanya!" sambungnya sambil menekan kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya.
Pahanya menjepit leherku sehingga aku tak dapat bergerak. Bibirku
terjepit dan tertekan di antara dubur dan bagian bawah vaginanya.
Karena harus bernafas, aku tak mempunyai pilihan kecuali menghirup
udara dari celah bibir kewanitaannya. Hanya sedikit udara yang dapat
kuhirup, sesak tetapi menyenangkan. Aku menghunjamkan hidungku lebih
dalam lagi. Mbak Lia terpekik. Pinggulnya diangkat dan
digosok-gosokkannya dengan liar hingga hidungku basah berlumuran
tetes-tetes birahi yang mulai mengalir dari sumbernya. Aku mendengus.
Mbak Lia menggelinjang dan kembali mengangkat pinggulnya. Kuhirup aroma
kewanitaannya dalam-dalam, seolah vaginanya adalah nafas kehidupannku.
"Fantastis!" kata Mbak Lia sambil mendorong kepalaku dengan lembut.
Aku menengadah. Ia tersenyum menatap hidungku yang telah licin dan
basah.
"Enak 'kan?" sambungnya sambil membelai ujung hidungku.
"Segar!" Mbak Lia tertawa kecil.
"Kau pandai memanjakanku, Theo. Sekarang, kecup, jilat, dan hisap
sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kau memuja ini," katanya sambil
menyibakkan rambut-rambut ikal yang sebagian menutupi bibir
kewanitaannya.
"Jilat dan hisap dengan rakus. Tunjukkan bahwa kau memujanya.
Tunjukkan rasa hausmu! Jangan ada setetes pun yang tersisa! Tunjukkan
dengan rakus seolah ini adalah kesempatan pertama dan yang terakhir
bagimu!"
Aku terpengaruh dengan kata-katanya. Aku tak peduli walaupun ada
nada perintah di setiap kalimat yang diucapkannya. Aku memang merasa
sangat lapar dan haus untuk mereguk kelembutan dan kehangatan
vaginanya. Kerongkonganku terasa panas dan kering. Aku merasa
benar-benar haus dan ingin segera mendapatkan segumpal lendir yang akan
dihadiahkannya untuk membasahi kerongkongannku. Lalu bibir
kewanitaannya kukulum dan kuhisap agar semua kebasahan yang melekat di
situ mengalir ke kerongkonganku. Kedua bibir kewanitaannya
kuhisap-hisap bergantian.
Kepala Mbak Lia terkulai di sandaran kursinya. Kaki kanannya
melingkar menjepit leherku. Telapak kaki kirinya menginjak bahuku.
Pinggulnya terangkat dan terhempas di kursi berulang kali. Sesekali
pinggul itu berputar mengejar lidahku yang bergerak liar di dinding
kewanitaannya. Ia merintih setiap kali lidahku menjilat clitnya.
Nafasnya mengebu. Kadang-kadang ia memekik sambil menjambak rambutku.
"Ooh, ooh, Theo! Theoo!" Dan ketika clitnya kujepit di antara
bibirku, lalu kuhisap dan permainkan dengan ujung lidahku, Mbak Lia
merintih menyebut-nyebut namaku..
"Theo, nikmat sekali sayang.. Theoo! Ooh.. Theoo!"
Ia menjadi liar. Telapak kakinya menghentak-hentak di bahu dan
kepalaku. Paha kanannya sudah tidak melilit leherku. Kaki itu sekarang
diangkat dan tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya menginjak
kursi. Sebagai gantinya, kedua tangan Mbak Lia menjambak rambutku.
Menekan dan menggerak-gerakkan kepalaku sekehendak hatinya.
"Theo, julurkan lidahmuu! Hisap! Hisaap!"
Aku menjulurkan lidah sedalam-dalamnya. Membenamkan wajahku di
vaginanya. Dan mulai kurasakan kedutan-kedutan di bibir vaginanya,
kedutan yang menghisap lidahku, mengundang agar masuk lebih dalam.
Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung lidahku. Kuhisap
seluruh vaginanya. Aku tak ingin ada setetes pun yang terbuang. Inilah
hadiah yang kutunggu-tunggu. Hadiah yang dapat menyejukkan
kerongkonganku yang kering. Kedua bibirku kubenamkan sedalam-dalamnya
agar dapat langsung menghisap dari bibir vaginanya yang mungil.
"Theoo! Hisap Theoo!"
Aku tak tahu apakah rintihan Mbak Lia dapat terdengar dari luar
ruang kerjanya. Seandainya rintihan itu terdengar pun, aku tak peduli.
Aku hanya peduli dengan lendir yang dapat kuhisap dan kutelan. Lendir
yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, yang mengalir membasahi
kerongkonganku. Lendir yang langsung ditumpahkan dari vagina Mbak Lia,
dari pinggul yang terangkat agar lidahku terhunjam dalam.
"Oh, fantastis," gumam Mbak Lia sambil menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursinya.
Ia menunduk dan mengusap-usap kedua belah pipiku. Tak lama
kemudian, jari tangannya menengadahkan daguku. Sejenak aku berhenti
menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.
"Aku puas sekali, Theo," katanya. Kami saling menatap. Matanya
berbinar-binar. Sayu. Ada kelembutan yang memancar dari bola matanya
yang menatap sendu.
"Theo."
"Hm.."
"Tatap mataku, Theo." Aku menatap bola matanya.
"Jilat cairan yang tersisa sampai bersih"
"Hm.." jawabku sambil mulai menjilati vaginanya.
"Jangan menunduk, Theo. Jilat sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu ketika menjilat-jilat vaginaku."
Aku menengadah untuk menatap matanya. Sambil melingkarkan kedua
lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat dan menghisap kembali cairan
lendir yang tersisa di lipatan-lipatan bibir kewanitaannya.
"Kau memujaku, Theo?"
"Ya, aku memuja betismu, pahamu, dan di atas segalanya, yang ini..,
muuah!" jawabku sambil mencium kewanitaannya dengan mesra sepenuh hati.
Mbak Lia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.
E N D