Malam semakin larut saat Mei sedang menunggu
angkutan umum sepulang kerjanya. Telah lebih seminggu Mei bekerja di
sebuah pasar swalayan, dimana karyawan dan karyawatinya pulang kerja
jam sepuluh malam. Mei berwajah cantik dengan bentuk muka oval, mata
yang indah, hidung mancung, dan bibir yang menawan.
Rambutnya yang ikal tergerai menambah kecantikannya. Siapapun yang
melihat wajah Mei pasti akan kagum. Apalagi ditunjang oleh tubuhnya
yang tinggi semampai dan proporsional. Lehernya yang jenjang indah,
pinggangnya yang ramping, dadanya yang padat berisi, serta kakinya yang
mulus menambah daya pikatnya. Apalagi dengan gerak-geriknya yang
anggun, pastilah suka hati seseorang yang melihatnya.
Tidak jauh dari tempat Mei menunggu, tiga orang lelaki bersembunyi
mengamat-amati. Mereka adalah Johan, Wijaya, dan Steven. Sudah tiga
hari mereka melakukan pengamatan terhadap Mei. Mereka bertiga memang
berniat tidak baik terhadap gadis itu. Maka pada hari keempat tersebut
mereka telah mengenal daerah tersebut, dan mengetahui bahwa tempat Mei
menunggu tersebut adalah tempat yang paling cocok untuk menyergap dan
menculik Mei.
Saat yang dinanti tiba. Sewaktu keadaan benar-benar sepi dan tidak
terdapat orang lain, mereka bertiga langsung mendekati serta mengepung
Mei. Johan yang menjadi pimpinan mereka mengeluarkan sebuah pisau lipat
dari sakunya dan cepat menodongkannya ke arah peruh Mei. Tentu saja Mei
ketakutan dibuatnya. Apalagi diiringi oleh Wijaya dan Steven yang
menyeringai buas sambil memegangi tangan Mei. Dibawah ancaman, Mei
terpaksa menuruti kemauan ketiga lelaki tersebut untuk menculiknya dan
membawanya ke mobil mereka.
Di dalam mobil, mereka mengikat kaki dan tangan Mei serta menyumpal
mulutnya dengan plester. Mata Mei ditutup dengan saputangan hitam.
Setelah itu mereka membawa Mei ke luar kota dan ke sebuah rumah kosong
yang menjadi sarang ketiga lelaki tersebut. Mei mereka ikat dengan
posisi kedua tangan di belakang.
Setelah itu Steven melepaskan ikatan pada kaki Mei. Steven juga
membuka plester pada mulut dan saputangan yang menutup mata Mei. Wijaya
menyalakan sebuah lampu baterai yang menerangi tempat itu dengan cukup
terang, karena lampu baterai itu bercahaya putih terang. Mata Mei silau
dibuatnya akibat perubahan mendadak dari gelap menjadi terang. Johan
langsung mengeluarkan pisau lipatnya dan mulai menyobek baju seragam
yang dikenakan Mei. Mei hanya meratap meminta belas kasihan, tetapi Joe
membentaknya serta terus menyobek baju dan rok Mei. Akhirnya Mei hanya
tinggal mengenakan bra dan celana dalam.
Tubuhnya yang putih menggiurkan terlihat jelas. Ketiga lelaki
tersebut menatap tidak berkedip dengan buasnya. Apalagi melihat
payudara Mei yang membayang di balik bra-nya.
"Gilee.. putih banget..!" Wijaya berdecak. "Teteknya besar, Coy..!"
"Kita pesta malam ini." Steven menimpali dengan seringainya.
"Ampun Bang.. jangan perkosa saya Bang.. ampun Baang..," Mei meratap sambil terisak-isak ketakutan.
"Heh..! Lo perempuan jangan banyak cing-cong!" Johan kembali membentak.
Lalu ia dengan kasar merenggut bra yang dikenakan Mei, sehingga
tali bra tersebut putus, sedangkan kedua payudara Mei membusai dan
berguncang-guncang akibat lepasnya bra tersebut secara paksa. Payudara
Mei yang indah terekspos dengan jelas.
"Kenceng banget nih tetek! Bikin makin napsu aja. Gue enggak sabar
ngeliat gimana muka ini perempuan kalo itu tetek gue potong pake ini."
kata Wijaya sambil mengeluarkan sebuah pisau dapur yang besar dan
mengkilat.
Mei hampir saja tidak percaya bahwa yang dibicarakan oleh Wijaya
adalah payudara miliknya. Sementara Steven dan Joe hanya tertawa kejam.
"Jangan Bang.. saya mohon Bang..!" Mei hanya dapat menangis.
Johan menamparnya dengan keras. "Jangan nangis lo perempuan. Ikut
aja apa yang gue kerjain! Kalo lo berani macem-macem, gue cincang lo
pake pisau ini!"
Mei terdiam, walaupun masih terisak-isak. Hatinya ciut bukan main.
Sementara Johan sudah merobek celana dalamnya sehingga Mei benar-benar
telanjang bulat.
Lalu Johan memberi komando, "Stev, lo mulai duluan..!"
Steven langsung menyerbu. Kedua payudara Mei dia remas dengan ganas
dan dengan sekuat tenaganya. Mei berteriak kesakitan dibuatnya. Tapi
tamparan dari Johan membuat Mei langsung bungkam, dan akhirnya Mei
hanya merintih-rintih menahan sakit dan derita pada payudaranya.
"Ah! Lembut banget nih tetek. Tetek perawan emang hebat!" Steven terkekeh.
Lalu ia melumat payudara Mei dengan menggunakan mulutnya. Puting
susu Mei digigit dan ditarik dengan giginya, sehingga Mei megap-megap
menahan kesakitan. Wijaya yang sudah tidak tahan langsung membuka
celananya. Batang kejantanannya yang sudah tegang diarahkan ke mulut
Mei. Mei merasa jijik.
"Ayo isep kontol gue! Kalo macem-macem nanti gue bakar tetek lo!" bentak Wijaya.
Tentu saja Mei tidak punya pilihan lain kecuali menerima penis Wijaya yang berbau amis itu di dalam mulutnya.
Karena Mei tidak berpengalaman, tentu saja Wijaya marah. Dia menjambak rambut Mei dan membentak, "Isep, goblok! Pake lidah lo!"
Mei terpekik, dan karena demikian takutnya, langsung menuruti perintah Wijaya.
"Nah.. gitu.. enak.. teruus..!" Wijaya mengerang keenakan.
Mei terus menyedot dan menghisap betang kemaluan Wijaya dengan
perasaan jijik dan muak. Sementara Steven sedang meremas payudara Mei
dari belakang dengan kasar. Bahkan sesekali ditariknya payudara Mei
dengan kuat, sehingga Mei tersedak dan kelojotan menahan sakit, mengira
bahwa payudaranya hendak dicopot oleh Steven.
Setelah puas, Steven menyuruh Mei mengambil posisi menungging
dengan tetap mengemut batang penis Wijaya. Steven membuka celananya dan
dengan kasar didobraknya vagina Mei dengan kejantanannya. Mei menjerit
sesaat, merasakan perih pada vaginanya. Darah keperawanan mengalir dari
lubang vagina Mei. Steven dengan kasar menggoyang batang penisnya di
dalam vagina Mei.
"Ah.. enak banget memek perawan. Legit dan sempit."
Wijaya melepaskan batang penisnya dari mulut Mei, dan menyusup di
bawah Mei tepat di bawah kedua payudara Mei yang bergelantungan dan
bergoyang-goyang. Lalu Wijaya melahap payudara Mei dengan mulutnya,
sementara tangannya beroperasi pada payudara lainnya.
Johan yang sudah sangat bernafsu langsung membuka celananya dan
memerintahkan Mei menghisap penisnya. Jadilah Mei saran pemuas nafsu
ketiga lelaki tersebut. Payudaranya diperas, dicubit, diremas, digigit,
dan dipermainkan dengan kasar oleh ketiganya. Sementara bergantian
Johan, Wijaya, dan Steven menjebol lubang vagina dan anusnya. Tanpa
belas kasihan mereka menampar, memukul, bahkan menohok vagina Mei
dengan sebuah besi batangan seukuran pergelangan tangan orang dewasa,
membuat Mei hampir pingsan tidak sadarkan diri. Namun setiap kali
kesadaran Mei memudar, Johan langsung menyadarkannya dengan tamparan ke
wajah, renggutan pada payudara, dan jambakan pada rambut, sehingga Mei
benar-benar merasakan siksaan yang luar biasa pada sekujur tubuhnya
terutama alat-alat seksualnya. Vagina Mei menerima semburan sperma dari
Wijaya dan Steven.
Terakhir kali, dengan sadisnya Johan menyetubuhi Mei tanpa ampun
dan tidak kenal belas kasihan. Penisnya yang besar dan keras bagaikan
batang kayu menerobos vagina Mei. Mei yang sudah letih dan lelah
merasakan siksaan berbaring telentang dengan paha mengangkang,
sedangkan kedua tangannya masih terikat ke belakang. Sambil menyetubuhi
Mei, Johan menarik-narik kedua puting susu Mei yang sudah membengkak
akibat siksaan. Sesekali tangannya menampar payudara Mei, membuat
payudara tersebut memerah. Mei meregang-regang diperlakukan seperti
itu.
Beberapa menit kemudian, Johan mencapai puncak kepuasannya,
menyemburkan spermanya ke dalam vagina Mei sehingga vagina tersebut
benar-benar menerima benih dari ketiga lelaki tersebut. Mei hanya
menangis lemah dan membayangkan bahwa dia pasti akan hamil karena masa
itu adalah masa subur baginya.
Setelah nafsu seks mereka terpuaskan, ketiga lelaki tersebut
beristirahat selama lima belas menit. Setelah itu Johan mengambil
batangan besi yang tadi digunakan untuk menohok vagina Mei, dan
memasukkan benda tersebut sedalam mungkin ke vagina Mei. Sebagai akibat
rasa sakit yang dideritanya, Mei menjerit kuat sambil meratap minta
dikasihani. Johan tertawa sinis. Wijaya tidak mau ketinggalan ikut
memasukkan sebuah tongkat pendek yang diameternya sekitar 5 cm ke dalam
vagina Mei, sehingga vagina tersebut dimasuki oleh dua buah benda yang
membuat rasa sakit Mei semakin menjadi-jadi. Luar biasa sekali
penderitaan Mei dengan batangan besi dan tongkat yang dimasukkan ke
vaginanya yang semula masih perawan. Dengan lebih gila, Steven menaburi
vagina Mei dengan bubuk merica dan bubuk cabai sehingga Mei
berkelojotan dibuatnya. Johan, Steven, dan Wijaya menonton penderitaan
Mei dengan perasaan puas.
"Sekarang babak akhir permainan kita." Johan menyeringai kejam.
Lalu ia mengambil pisau dapur milik Wijaya yang tergeletak di lantai.
"Gue pengen tau gimana suara dan muka lo perempuan, kalo gue potong tetek lo!"
Mei menjerit-jerit ngeri dan berusaha menjauh dari Johan dengan
menggunakan kedua kakinya. Tentu saja Johan lebih cepat, dan dengan
sigap tangan kirinya meraih payudara Mei yang sebelah kanan. Lututnya
ditekan ke perut Mei sehingga Mei terbaring di lantai. Payudara Mei
ditarik, dan pisau di tangan kanan Johan ditempelkan ke pangkal
payudara tersebut.
Johan berteriak kepada Wijaya dan Steven, "Gimana menurut lo berdua?"
"Udah! Babat aja sampe putus itu tetek..!" Wijaya berteriak dengan bernafsu.
"Gue udah nggak sabar pengen ngeliat perempuan itu berpisah dengan kedua teteknya!" timpal Steven tanpa perasaan.
"Lo dengar, perempuan? Mereka mau gue potong tetek lo..!" Johan terkekeh dengan dingin.
Mei menggeleng-geleng tanpa mampu berkata-kata. Bayangan ketakutan
akan pemotongan terhadap payudaranya menyebabkan ia tidak dapat
bersuara.
Tidak lama kemudian, Johan mengerakkan tangan kanannya dengan tanpa
ampun dan.., terdengarlah jeritan memilukan menyayat hati dari gadis
tersebut.
TAMAT.