Kini aku dalam posisi terikat tak berdaya
telentang di ranjang, sungguh pengalaman baru bagiku merasakan
ketidakberdayaan dihadapan laki laki yang belum kukenal lama. Dalam
posisi terikat kembali Hari menjamah seluruh tubuhku, diciuminya pipi
dan bibirku, menjelajahi seluruh tubuhku, lalu dia mengulum dan
menyedot putingku, aku hanya bisa mendesah dan menggeliat nikmat, tak
bisa membalas dengan pelukan atau lainnya, tak terasa dengan tidak
berdaya seperti ini ada sensasi tersendiri, suatu sensasi dan
kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya, antara nikmat dan takut.
Kepala Hari sudah berada di selangkanganku, kunaikkan pinggulku,
dengan liarnya jilatannya menyusuri vaginaku, diselingi dengan kocokan
dua jari, aku makin mendesah dan menggeliat tanpa bisa berbuat apa apa,
tapi anehnya justru aku merasakan sensasi yang lain yang belum pernah
kurasakan. Dia kembali menindihku, dengan sekali dorong masuklah
penisnya menembus vaginaku dan dikocoknya dengan cepat. Tubuhku dipeluk
erat meski aku tak bisa membalas pelukannya, hanya desah kenikmatan
yang bisa kuperbuat.
"Suka?" bisiknya di telingaku, malu menjawab karena memang aku
malai menyukai permainan ini, tapi dia medesakku sambil mengocokku
makin keras.
"Bilang suka apa nggak? atau kulepaskan saja talinya", kocokannya
sudah menyodok rahimku semakin dalam dan semakin cepat. Sesaat aku tak
bisa menjawab ya atau tidak, aku terlalu terhanyut dalam permainan
baru, dia mendesakku terus sambil mempercepat kocokannya.
"Aaahh.. jangan.. jangaan.. jangan dilepas" hampir tak percaya
kuucapkan itu ketika dia menghentikan kocokannya dan hendak melepas
ikatan.
"OK, let's the game begin", katanya lalu dengan kasar dia mencabut
penisnya, meninggalkanku yang terikat terbakar birahi setengah jalan
menuju puncak kenikmatan, dia mengambil sesuatu dari tasnya.
Aku terkaget ketika dia menunjukkan dildo berwarna hitam legam
menyerupai penis dengan accessories di pangkalnya, ukurannya sedikit
lebih besar dari rata rata ukuran sebenarnya, tapi bentuknya
mengerikan.
"Koh, apaan itu, jangan ah" setengah teriak aku mencegahnya
"Nggak apa, toh tidak lebih besar dari yang aslinya" hiburnya sambil mengusap usapkan ke vaginaku.
"Jangan Koh, aahh.. pakai asli ajaa.. aku.. aku.. nggak .. pernah
me.. melakukannyaa.. aahh" protes bercampur desah setelah sebagian
dildo itu memasuki vaginaku, jauh lebih besar dari perkiraanku,
vaginaku terasa penuh.
"Coba dulu deh.. enak nggak", bujuknya sambil perlahan memasukkan
dildo makin dalam, aku menggeliat, ada rasa nikmat yang aneh kurasakan.
"Aaagghh.. sszz.. oouuww", suatu kenikmatan tersendiri, terasa
aneh tapi sungguh nikmat apalagi ketika dia memutar dildo itu, tak
pernah kurasakan sebelumnya, lagian mana ada penis yang bisa berputar,
aku menjerit nikmat, dia mulai mengocokkan dildonya, accessories pada
pangkal dildo mengenai sisi vaginaku yang lain menambah kenikmatan
tersendiri, jeritanku makin keras, tubuhku menggeliat tak karuan dengan
tangan terikat seperti ini.
"Sekarang rasakan kenikmatan yang sesungguhnya" katanya, sedetik
kemudian kurasakan dildo itu bergetar, kontan saja aku menjerit kaget,
kupelototi Hari yang menikmati expresi aneh wajahku, antara kaget,
sakit, nikmat, tidak berdaya bercampur menjadi satu, tubuhku kelojotan
seperti cacing kepanasan ditambah lagi dengan ikatan di kaki dan
tanganku sungguh suatu siksaan kenikmatan tersendiri, tak pernah
kurasakan kegelian pada vaginaku seperti ini.
"Koh, pleaassee.. tolong lepaskan aku.. pleaasessee", desah dan
teriak bercampur permohonan, permohonan untuk melepaskan ikatan bukan
untuk menghentikan dildonya karena memang terasa nikmat yang aneh, aku
menggeliat geliat tak karuan, tak bisa berbuat apa.
Sepertinya Hari menikmati geliat tak berdayaku, kulihat sambil
mengocok dildo getarnya dia meremas remas sendiri penisnya, sebenarnya
bisa aja aku teriak keras minta tolong agar orang diluar kamar dengar,
tapi ini sekedar permainan, permainan yang aku sendiri tak tahu harus
menerima, menikmati atau menolak. Aku tidak disakiti secara fisik, tapi
penyiksaan dalam bentuk lain, suatu penyiksaan sexual, tak tahu harus
bagaimana aku menyikapinya, dan tak sempat aku berpikir bagaimana
menyikapinya karena dildo itu begitu liar bergerak nikmat di vaginaku.
Ditinggalkannya dildo itu bergetar di vaginaku, dia berdiri
mengangkangiku sambil mengocok penisnya dengan tangannya, wajahnya
tajam menatapku yang sedang kelocotan merasakan dildo yang bergetar
mengaduk vaginaku.
Desahanku sudah berubah menjadi jeritan yang aku sendiri tak bisa mengartikan apakah jeritan protes, marah atau nikmat.
Sepertinya dia menikmati ekspresi wajahku yang tidak berdaya,
cairan penisnya mulai menetes di dadaku, geliatku makin tak beraturan,
makin cepat dia mengocok penisnya dan.. dan.. menyemburlah spermanya
mengenai muka, rambut dan tubuhku, aku teriak marah, merasa terhina,
tapi dia hanya tersenyum sambil mengusapkan penisnya ke wajahku,
memaksaku membuka mulut mengulumnya, terus menyusuri dada, lalu kakiku,
tak kuasa aku menghindarinya sebelum meninggalkanku ke kamar mandi,
dildo masih menancap di vaginaku, geli kenikmatan berubah menjadi
kemuakan tapi tanganku tetap terikat tanpa daya, anehnya tak ada niatan
untuk teriak minta tolong atas "pemerkosaan" ini.
Sungguh aku merasa terhina diperlakukan seperti ini, tetesan
tetesan sperma membasahi hampir seluruh tubuhku, aromanya begitu
menyengat, tak dapat kuhindari beberapa mengalir ke mulutku, aku
mencoba menghindar tapi tak ayal lagi kurasakan juga gurihnya
spermanya, kuludahkan sperma yang sempat masuk mulutku, perasaan jijik
menyelimutiku, kalau saja dia memintaku baik baik untuk mengeluarkan
sperma ke tubuhku seperti ini mungkin aku tak keberatan mengingat
bagaimana aku tadi terpesona akan penampilannya.
Hari duduk di sebelahku, diambilnya dildo dari vaginaku tanpa ada tanda tanda melepas ikatanku.
Aku menghiba memelas untuk dilepaskan, tapi tak dipedulikan,
malahan mengancam akan membungkam mulutku apabila aku teriak sampai
terdengar dari luar.
Dia mengambil kain lain dari tasnya lalu ditutupkan ke mataku,
semua kini menjadi gelap, aku merasa benar benar tak berdaya, kupikir
ini sudah bukan lagi permainan yang menyenangkan, dengan mata tertutup
aku tak tahu dia akan berbuat apa lagi terhadapku dan aku tak bisa
menduga selanjutnya.
Sesaat tak kurasakan sentuhan atau gerakannya di atas ranjang,
entah apa yang dilakukan dikamar ini. Tiba tiba kurasakan sentuhan
dingin di putingku, aku terkaget, ternyata dia meletakkan es batu
diputingku lalu dikulumnya, dinginnya es menyusur ke perut dan berhenti
di vaginaku, aku menjerit tapi ada sensasi erotis tersendiri kurasakan,
sedikit kenikmatan, kusesali kenapa dia melakukan dengan cara paksaan
seperti ini, padahal belum tentu aku menolak permainan permainannya
yang penuh kejutan.
Aku menjerit kaget bercampur nikmat saat kurasakan permainan
lidahnya di sela dinginnya es pada klitoris dan vaginaku, kembali
kurasakan dildo itu melesak masuk penisku bersamaan dengan jilatannya
pada klitoris.
Dia sudah tidak mempedulikan permohonanku meski dengan menghiba
minta ampun, sepertinya dia menikmati seperti kucing yang mempermainkan
cecak, perlahan kenikmatan mulai menjalar, tanpa kusasari aku mulai
menggoyangkan pantatku, tak dapat kuhindari meski aku benci
melakukannya tapi aku juga tak ada cara untuk menghindar, asal tidak
menyakiti secara fisik maka kubiarkan dia menghina dan mempermainkanku,
toh aku sudah biasa diperlakukan secara hina oleh tamuku, meski tidak
sekasar ini.
Pinggulku sudah turun naik tanpa bisa kukendalikan lagi, bahkan
desahankupun sudah meluncur dengan sendirinya, aku seperti tak bisa
lagi mengontrol emosi dan tubuhku, semua seakan berjalan sendiri
sendiri mengikuti naluri sexual yang mulai terlatih.
Dia mencabut dildonya, aku menunggu kejutan lainnya dengan harap
harap cemas, lama tak ada suara atau gerakan, akhirnya kurasakan dia
menindihku dan menyapukan penisnya ke vaginaku, kembali terkaget aku
dibuatnya ketika penisnya memasuki vaginaku, terasa begitu besar,
panjang, dan kasar menggesek dinding vaginaku, tak mungkin itu
penisnya, pasti dia sedang berbuat sesuatu terhadapku. Dengan ganas
menciumi leher dan buah dadaku disertai gigitan gigitan ringan pada
puting, aku hanya berharap dia tidak meninggalkan bekas memerah di
leher dan dada, kalau itu terjadi tentu akan menurunkan "harga jualku".
"Penisnya" makin cepat mengocokku, rasa aneh yang kurasakan di
vagina ternyata membuatku makin tinggi melayang nikmat, dan tak dapat
kuhindari ketika aku menjerit orgasme, sungguh memalukan orgasme tapi
dalam keadaan marah, napasku tersengal turun naik, antara marah dan
nikmat sehabis orgasme. Hari masih tetap mencium dan mengocokku, justru
makin ganas, vaginaku sudah terasa memar dan sedikit perih, mungkin
lecet.
Hari menukar posisi ikatan tanganku setelah melepas ikatan di kaki,
posisiku kini tengkurap tanpa ikatan kaki tapi mata tetap tertutup.
Terlalu lemas aku untuk melakukan perlawanan, dia menarik pantatku naik
hingga posisi nungging, kurasakan lidahnya menjilati vaginaku bersamaan
dengan jari tangannya mempermainkan lubang anus, aku bertekad akan
teriak apabila dia memaksakan untuk memasukkan penisnya ke dubur, itu
sudah menjadi prinsipku bahwa tak akan pernah melakukan anal seks.
Sesaat kemudian dia langsung melesakkan kembali "penisnya" yang
aneh itu, kembali rasa nyeri bercampur nikmat menyelimutiku, desahan
demi desahan mengiringi kocokannya. Sepuluh menit kemuian kudengar
jeritan orgasme darinya, tapi aku terheran karena tidak ada denyutan
dari "penis" yang masih meluncur di vaginaku, justru pantatku terasa
hangat terkena cairan, dan "penis" itu masih tetap keras tegang
bersemayam di vaginaku, aku tak tahu apa yang terjadi.
Suasana sunyi kecuali desah napas kami berdua, dia melepaskan tutup
mata dan ikatanku. Aku masih tetap telungkup telanjang, diam saja
menahan marah, beberapa pertanyaannya hanya kujawab ya dan tidak. Baru
kusadari ternyata saat dogie tadi dia mengocokku dengan dildo yang lain
lagi yang diikatkan di pinggangnya, mungkin sambil mengocokkan dildonya
dia bermasturbasi di atas pantatku sehingga kurasakan cairan hangat
saat dia orgasme. Berkali kali dia minta maaf atas perbuatannya, aku
diminta mengerti akan kelainan sexualnya. Tak ada jawaban dariku, tetap
diam membisu, aku tak peduli apakah dia marah, tersinggung atau tidak
puas.
Dalam hati aku berjanji tak akan menerima dia lagi meski dengan
imbalan berupa apapun, cukup sekali aku diperlakukan seperti ini, kali
ini mungkin dia hanya mengikat dan mempermainkan dildonya, namun siapa
tahu lain waktu dia berbuat lebih jauh lagi saat ada kesempatan dan
dengan terikat begitu tentu aku tak bisa berbuat apa apa, hanya pasrah
menerima perlakuannya.
Kutinggalkan Hari saat membereskan "mainannya", sengaja berlama
lama di kamar mandi yang pintunya kukunci, padahal tak pernah aku
menutup apalagi mengunci saat mandi. Aku keluar setelah dia hendak
berpamitan pulang, biasanya kuantar tamuku hingga keluar pintu kamar
sambil masih telanjang atau berbalut handuk di dada, tapi kali ini aku
sudah kembali rapi berpakaian lengkap melepas kepergiannya, masih tetap
membisu, tak ada bujuk rayu untuk kembali lagi seperti terhadap tamu
lain yang telah mempesonaku.
Segera kuhubungi Om Lok, memprotes tamu itu, tapi dia hanya tertawa
saja, akhirnya dia adalah orang pertama yang masuk "black list" dalam
daftar tamuku, meskipun tip yang diberikan sebesar apa yang kudapat
dari Om Lok, tapi resiko dan pengorbanannya terlalu besar.
Cerita sesungguhnya aku potong banyak karena jauh lebih sadis dan
mengerikan, ada permainan lilin yang diteteskan ke tubuhku, pisau yang
ujungnya dijalankan ke seluruh tubuhku, meski tidak sampai melukai tapi
cukup menakutkan. Mungkin pembaca tidak tertarik, jadi tak perlu
kuceritakan karena aku sendiri masih trauma dan ngeri saat menulis
kisah ini.
TAMAT